DUPA

Ia berasal dari menggerigi buliran pasir, terbentuk meninggi, ngeriap ganjil.
Tinggal mengelotok di dataran padi dan kapas, kakinya macam satu, menancap
di wadah besi bermuara banyak--Takhlik asap cerutu oriental, bumbu paritta.
Terbagi dari klan kuku macan dan naga; masing-masing bersisik sengat pualam,
setiap kesalahan menghantui telur-telur emas mereka--sampai digodok matang
di kuali, memasaknya hingga melepuh merah karena malu dan lantang.

Sang Mungkin Peninggi menghujat dan merobek dadanya. Sinis evaluasi kompeni.
Di dalam daripadanya hanya sebatang lidi putih, lahir dari pelepah-pelepah kelapa,
sama-sama satu bidang, macam padi dan kapas--sama-sama tananam cucuk kerbau!
Lalu terlempar dirinya ke tanah kembali, apinya terus membakar hidup-hidup!
Masih percaya akan kembali ke wadah besi itu, masih senang dengan canda-gurau
penguasa bidang tanah merah, di dataran otoritas samudra hindia belantara kata.

Kembalilah ia mengungkap kilatan dejavu hitam-putih, dibelainya perlahan-lahan,
membuai kenangan macam melakukan masturbasi. Berdiri kokoh masih terbakar
dengan sorot mata pemberani, seakan-akan ia bukanlah paduan pasir lagi tetapi,
bijih tembaga dan rubi permata, bangsawan angkuh dari aristokrat berabad-abad.

Sekali lagi ia memaparkan bulan di antara himpitan asap yang ia ciptakan,
membuyarkan bayangan di sekitar, semua orang menangis karena menatapinya.
Masih berdiri kokoh macam pagoda, masih membakar macam merapi. Abadi!
Tidak ada yang bisa membunuh apinya kecuali kalau memang ia mau mati sendiri!
Jangan sia-siakan waktumu, kawan. Yakin mau membunuhnya?
”Kamu punya api?”

25 Februari 2009
ALEX JHON - PROSA LYRIK