GRAVITASI

Kegelapan sudah meliputi kita berdua, sudah telat untuk terbang bersama.
Di dalam bayangan dua anak kecil, di dalam warna-warni yang tak terlihat,
di mana engkau pernah turun memangku tangan dan berujar kuat,
”Datanglah padaku, telanjangi dan warnailah tubuh polosku ini...”
Ya, aku mengingatnya di dalam rintik hujan seperti sekarang, sesayup deras.

Sekarang jangan lagi engkau bernafas ketika memasuki kerajaanku karena,
udara di sini amat tipis, gravitasi di sini amat rapuh. Sekali hembusan
kita bisa mati bersama, apa engkau mau itu, teman? Aku tidak mau... lagi.
Sudah cukup aku merangkul bayanganmu di atas kapal angin.
Sekarang aku yang butuh ditelanjangi, diwarnai warna Sang Kosmos;
semuanya hitam tetapilah kuat. Setiap helai dari uratku adalah matahari,
setiap hembusan nafasku adalah bukan dirimu, melainkan penguasa gravitasi!

Sudah cukup, sudah! Aku tidak mau lagi engkau hasut dalam tata surya percuma!
Aku adalah Dewa jagad raya, sekali berucap, sebuah bintang dapat hancur
berkeping-keping bak kehilangan muka dan lebih baik mampus.
Kamu juga dewa jagad raya, kita berdua memang dewa... aku tahu itu...
Tetapi, aku sudah tidak bisa melihat mataharimu, aku hanya bisa menatap
satu buah lubang hitam yang tepat berada di pusat galaksimu, di sana,
di tempat engkau bermain pedang dan kembang api. Aku sudah tidak lagi peduli—

Kegelapan sudah meliputi kita berdua, sudah telat untuk turun bersama.
Di dalam bayangan dua orang dewasa, di dalam warna-warni yang sudah terlihat,
engkau memangku terang yang gelap sedangkan aku memeluk gelap yang terang.
Ya, di sinilah aku meninggalkanmu, di sinilah perbedaan kita sekarang;
”Karena engkau sudah kehilangan kekuatan untuk mengontrol gravitasimu sendiri”.
Maafkan aku, aku sudah tidak bisa menangisi dewa mati.

23 Februari 2009
ALEX JHON - PROSA LYRIK