BHUMIRAGA DAN RUPARAGA
Belum pernah ada yang pernah mengalahkan seorang dewa. Itu adalah konsep lahiriah dari manusia dan kepercayaannya. Namun di sebuah dunia yang berseberangan tipis dengan dunia manusia, istilah dewa telah bergeser menjadi sekedar penguasa dengan kekuatan maha dahsyat. Di dunia seberang inilah para dewa, mahkluk-mahkluk yang dipuja dan disembah mati-matian di dunia manusia Bumi, dapat ditaklukkan oleh dewa-dewa lain ataupun manusia-manusia yang lebih kuat, yang memiliki kekuatan astral maupun psikis luar biasa hebat.
Di dunia seberang ini, yang disebut sebagai ‘Ruparaga’, merupakan dunia yang tidak bersentuhan dengan ciptaan manusia seperti mesin-mesin ataupun kecanggihan komunikasi mobile yang ada di dunia manusia Bumi. Untuk peralatan bertahan hidup, para penghuni Ruparaga mungkin terlihat barbar alih-alih eksotis, mereka masih menggunakan ceret, kendi ataupun peralatan dari tanah liat, bebatuan dan tembaga tipis. Sebagian besar dari para penghuni Ruparaga mengusung corak kebudayaan Asia yang terbentang dari Timur hingga Barat dalam setiap jengkal geografis dan antropologis mereka.
Adaptasi gedung-gedung pagoda dan kuil-kuil merah menyala seperti jilatan api mengkilat tersaput dengan buih-buih emas bergelimpangan di antara jembatan-jembatan berkeok-keok bagai tubuh naga di Ruparaga. Rumah-rumah bermotifkan oriental zaman tiga kerajaan Tiongkok dan Meiji sebelum restorasi dimulai; campuran antara kuil-kuil di Kyoto, candi-candi batu di Borobudur dan kuil-kuil emas di Angkor Wat berbaur kuat di sini; atap-atap mereka bagai stupa bebatuan kecil yang lebih mirip seperti arse di dunia manusia Bumi.
Tanah-tanah berumput terhampar jarang dan kadang bergerombong seperti penyakit kusta jika di lihat dari langit. Kulit bumi Ruparaga akan terlihat bopeng di sana-sini namun masih memberikan nuanasa hijau yang menyejukkan di antara tanah kekuningan pucat yang tandus dan berbatu kerikil-kerikil halus.
Lampu-lampu jalan yang biasanya terhampar secara sejajar di bumi manusia tergantikan oleh tiang-tiang cokelat yang tinggi menjulang seperti hendak mencabik langit keunguan (kadang merah di perbatasan selatan) yang berarak-arak pelan. Ada pula lentera-lentera kotak panjang persegi keemasan yang dihiasi dengan nyala api kekuningan—di beberapa kawasan tertentu dari Ruparaga, nyala api tersebut berwarna hijau ataupun ungu.
Hal terakhir yang menguatkan perbedaan antara Ruparaga dan bumi manusia, atau dalam bahasa Ruparaga disebut sebagai dunia ‘Bhumiraga’, adalah, jika para penguni Bhumiraga menggunakan mesin, teknologi dan sains sebagai alur kehidupan dan sebagai peralatan bertahan hidup maka; para penghuni Ruparaga yang terkesan sederhana dan eksotis ini masih amat percaya dan menggunakan sihir yang berasal dari dalam tubuh, pikiran dan alam sekitar mereka.
Sihir Ruparaga tidak seperti dalam bayangan kisah-kisah para penghuni Bhumiraga. Sihir ini, yang lebih tepat dinamakan daya magis merupakan, kekuatan dari dalam psikis seseorang yang bisa jadi antara menggunakan kekuatan talenta diri secara individual ataupun menarik kekuatan dari alam. Tidak semua penghuni Ruparaga mampu menggunakan ‘sihir’ namun, jika dibandingkan kuantitas para pengguna sihir di Bhumiraga dengan Ruparaga, jika saja suatu saat nanti memang harus terjadi pertikaian antara kedua dunia tersebut dan sihir menjadi andalan maka, sudah jelaslah akil balik pertarungan tersebut; Bhumiraga mungkin akan binasa.
Para pengguna sihir ini, menurut kepercayaan para penghuni Ruparaga, terbagi menjadi dua jenis; yang pertama adalah yang memiliki kekuatan yang diberkati dewa-dewa mereka yang jumlahnya cukup banyak dan bervariasi, yang kedua adalah yang meminjam atau mengalokasikan kekuatan alam dalam strukur daya magis mereka sehingga mereka mampu mengendalikan ataupun memanipulasi alam sekehendak mereka (dalam batasan-batasan tertentu).
Walaupun Ruparaga dan Bhumiraga merupakan dunia yang saling bertentangan dan berbeda namun, selama beribu-ribu abad, keseimbangan antara dua dunia ini selalu tidak terusik karena adanya pemisah gerbang astral yang diciptakan ribuan tahun sebelum Ruparaga ataupun Bhumiraga terbentuk.
Gerbang astral diciptakan oleh tiga Dewa Primordial yang berkuasa atas nama langit, bumi dan lautan. Mereka menciptakan gerbang dari dunia Bhumiraga dan Ruparaga agar terjadi keseimbangan jumlah roh dan kekuatan yang bergulir, berputar dalam roda waktu dan nasib yang mereka bentuk dalam sistem tumimbal lahiriah.
Gerbang-gerbang ini diciptakan bukan hanya untuk Bhumiraga dan Ruparaga namun juga diperuntukkan bagi dunia-dunia lain yang memang ada bertebaran seperti hamparan benang kusut di alam semesta.
Para tiga Dewa Primordial ini konon menciptakan gerbang berukuran majestik bahkan untuk ukuran Bhumiraga. Jika dapat dibandingkan ukurannya secara sistematis maka, ratusan pulau dapat tertelan oleh luasnya Gerbang Astral ini yang secara naluriahnya akan selalu tertutup dan tidak pernah terbuka kecuali bagi para dewa.
Gerbang ini dijaga oleh ratusan pendeta-pendeta tak bernama dan tak berwajah yang tercipta atas daya magis dari intisari kekuatan ketiga Dewa Primordial. Para pendeta ini, yang dinamakan sebagai Para Pendeta Gerbang Astral mendedikasikan hidup mereka yang kekal dan bebas dari penderitaan sebagai entitas yang mengunci masuk dan keluar antara Bhumiraga dan Ruparaga.
Itulah yang membedakan dunia Bhumiraga dan Ruparaga.