GHOST 02: The Liutenant

“Sial! Aku tidak suka ini, Neil…” gerutu Samuel saat ia memasuki belokan pertama. Lantai kayu berderit pelan seperti memohon ampun dibunuh secara perlahan.

Bau anyir bangkai menyeruak, mengerubungi mereka tanpa ampun.

Penglihatan Samuel sedikit tertolong dengan sedikit bias senter yang ia arahkan lurus ke depan sementara degup jantungnya berdetak, menahan sensasi menarik pelatuk Colton ia yang genggam di tangan satunya lagi. Ia benci kejutan.



“Kau gemetaran, man! Jangan salah tembak, ya?” gurau MacGrub. Samuel mendengus mencoba tertawa tetapi malah terlihat terganggu dengan lelucon MacGrub.

“Oke, ini sudah ruangan ketiga yang kita periksa. Kau… (memberikan sinyal ke MacGrub untuk memutarinya dan bersiaga di sisi pintu lain yang Samuel sudah aba-abakan) siap?” Samuel mencengkram senter semakin keras alih-alih senjatanya, ia tidak mau salah menembak. Ia tidak mau menembak apapun jika perlu.

“(dengan suara lirih) Satu… dua… “ Samuel mengganguk.

“Sekarang!” MacGrub menendang pintu dengan super kencang. “BRAAKKK!”

“De-demi Tuhan…” kesiagaan MacGrub meregang, ia melepas pasif cengkraman pistolnya namun senternya masih mengarah pada satu sudut kamar.

Samuel ikut terperangah walau tetap siaga. Pupil matanya membesar, namun sinar senternya seperti semakin meredup.

“Ini…” Ada gejolak rasa mual di perut Samuel. Walaupun ia berpangkat letnan tetapi perutnya tidak menyetujui hal yang berada di hadapannya, topeng angkuh dan maskulinitas retak dan menyiarkan mentalitas seorang gadis perawan. Terlalu gamblang. Terlalu baru…

Sepasang mata biru pucat memudar membelalak di hadapan mereka berdua, tidak bergerak namun perempuan tersebut masih menghembuskan nafas—pelan dan tak beraturan. Ada potongan memanjang, hampir memisah tubuh, di antara bawah dada dan lingkaran pusar, sebuah celah kosong berkisar enam sentimeter—ruas-ruas syaraf, daging dan urat masih mengaitkan dua bagian tersebut.

Kucuran-kucuran darah segar menetes perlahan antara darah-darah kering di tubuh mungil kecokelatannya. Rambut hitam bergelombang nan lepek membuatnya nampak seperti wanita murahan yang biasa mereka tangkap setiap jumat malam di persimpangan jembatan Willsburry dan pingiran blok penuh gairah birahi. Payudaranya melorot turun, ada beberapa guratan di bongkahan daging dan lemak tersebut.

Nafasnya semakin terengal-engal, perempuan tersebut berusaha mengucapkan sesuatu namun yang keluar justru muntahan darah. Mengucur deras.

Sedikit namun jelas, nampak untaian daging, syaraf dan urat di celah tubuhnya perlahan-lahan terputus, utas demi utas. Samuel tahu bahwa perempuan tersebut tidak akan selamat, ia tahu benar bahwa ia ingin mati.

Klak!” Samuel melepas pengaman Colton-nya.

“!!! Man! A-apa yang mau kau lakukan?” ujar MacGrub cemas. “Hentikan itu… Kita harus menolong…”

“MAC… Kau lihat kondisi perempuan itu? Ia sudah separuh…tidak…ia sudah mau mati… aku tidak sanggup…”

“Sadarlah, man! Dia bukan Maddie! Dia bukan mendiang isterimu! Dia prioritas kita! Ka-kapten meminta kita… ” MacGrub semakin cemas.

“Maafkan aku, Mac…”

“DOORR!!!”

Seketika itu pula sebuah lubang berdiameter dua sentimeter mengucurkan darah dari dahi perempuan berkulit cokelat itu.

“BANGSAT! Bebedah tengkik!!! Tolol!!!” gerutu MacGrub sembari menurunkan senter dan senjatanya.

Ia menendang kursi kayu yang ada di sampingnya, lalu mengalihkan amarahnya ke dinding reot berwarna krem kusam, dan akhirnya mendorong Samuel sekeras tenaga ke arah dinding.

BRAKKK!” MacGrub melepas pengaman senjatanya. “Kita bukan dokter, sialan! Kita tidak tahu apakah wanita itu sudah siap mati atau tidak. K-kita bukan Tuhan! BANGSAT! Wanita itu bukan Maddie, tolol!”

Sekilas saja ada kilatan amarah yang membuat Samuel percaya MacGrub mampu menembakkan peluru tersebut namun ia tahu, partner gembul separuh botaknya itu tidak segegabah dirinya. Samuel tahu MacGrub, di balik dasinya yang selalu terlihat miring dan noda-noda kopi di jaket panjangnya, ia lebih mengenal kode etik dan norma ketimbang dirinya yang berpangkat letnan.

“Maafkan aku…” hanya itu yang mampu Samuel ucapkan sembari melengos keluar ruangan.

“Tolol! Bodoh! Bagaimana ini, ah kalau begini, kan…” MacGrub masih terdengar mengoceh dan mewarnai tutur katanya dengan untaian-untaian kutukan dan cercaan.

Perlahan-lahan, suara MacGrub mengambang, meredup dan akhirnya menghilang seraya Samuel melangkahkan kakinya satu demi satu menuju ke sebuah lorong panjang.

Huh? Lorong ini tidak ada sebelumnya? Samuel keheranan namun ia tetap melangkah pelan. Ia sudah melupakan MacGrub di ujung kamar sana. Ia bahkan tidak ingat atau tidak peduli bahwa ia datang dengan partnernya yang sudah lima tahun bersamanya.

“Ma-maddie?”
Samuel berhenti seketika. Bayangan putih meredup mati nyala muncul melayang di hadapannya. Ia merasakan nostalgia terindah dengan wanita berambut ikal cokelat tersebut. Ia ingat gaun putih yang ia kenakan saat ia mati terbunuh—dua tembakan di kepala dan satu di dada kiri.

“Maddie… kaukah itu?” langkah demi langkah pelan Samuel padukan dengan hembusan nafas pelan. Sepertinya setiap jengkal ia melaju, udara di lorong tersebut semakin dingin, dan dingin, dan dingin.

“Maddie… jangan pergi…” lirih Samuel.

Wanita tersebut masih memunggungi Samuel. Rambut ikal cokelatnya melambai pelan, bagai berenang-renang dalam gelombang pasang pelan.

Kertas dinding mulai membeku, koyak mengering. Lantai kayu mulai bergetar pelan dan menyiarkan suara-suara riuh bagai diinjak-injak hingga hampir runtuh. Lampu meredup, berubah biru dan pekat, semakin gelap… semakin dingin.

“T-tunggu, sayangku…” betapa girangnya saat Samuel berhasil meraih pundak isterinya.

Tubuhnya sangat dingin.
Dalam hitungan detik, saat Maddie membalikkan tubuhnya. Samuel membelalakkan matanya, ia tidak percaya apa yang ia lihat. Dan kedua mata merah bernanah isterinya-lah yang ia terakhir kali ia lihat.

“Aku melihat mimpi burukmu, letnan…”
bisikan parau seorang pria mendengung sayup saat

Samuel terkapar jatuh di lantai lorong rumah tua itu.


***


“Oh Tuhan! Sialan! Sam! Kenapa kau… Sam…” MacGrub terkejut setengah mati saat mendengar suara senapan ditembakkan lalu disusul dengan debuman keras ke lantai kayu.

Ia bergegas keluar dan terkesiap melihat jasad Samuel berlumuran darah. Samuel menembakkan Colton ke kepalanya sendiri.

“Sam! SAAAAAAAAAAAAAM!” teriakan MacGrub menggema dan menghilang.

Saat kembali ke dunia nyata, Samuel sudah tidak lagi dapat melihat ataupun merasakan apapun.

(dan kematian itu pun menjadi permulaan sebuah kisah)