GHOST 01: The Nurse

Suzie Allen sekali lagi menelusuri urutan file di hadapannya. Ia benci harus berada di luar jam kerjanya namun si tua Pam sedang mengalami gangguan kronis di punggungnya (lagi).

“Aku tidak bisa berjalan terlalu cepat, encokku kambuh, Suzie. Bisa tolong kau gantikan shift aku hari ini saja?” ujar parau Pamela beberapa jam lalu, si suster jaga senior di Rumah Sakit Willsburry.

“Dasar perempuan tengkik! Kalau tidak mau kerja ya berhenti lah! Brengsek!” celotehannya redam saat jarinya berhenti menelisik. Suzie berhenti di di berkas ‘M”, MacGrub, Neil.
Hm… pasien baru minggu lalu… kenapa banyak guratan crayon di sini?” bau crayon pastel menguar pelan seraya Suzie membuka berkas cokelat tersebut. Ada sekitar empat lembar, dan dua di antaranya membuat dirinya gusar. Coretan-coretan crayon hitam dengan gambar mata dan lingkaran hitam berpadu liar di sana.

Pasti keponakan Pamela, deh! Ah anak sialan itu – pikirnya.

Dengan segera ia menaruh berkas penuh coretan tersebut ke dalam lokernya. Dan ia perlu membuat pengingat untuk ini. Ia harus melapor ke Tuan Walsh, sang pengarsip esok pagi buta.

Diliriknya jam dinding di atas kabinet abu-abu samping kanannya, “Jam 2 pagi…” ia tidak berusaha menjelaskan tetapi ia mengutuk pelan sebegitu lamanya hingga pukul lima pagi. Ia mau pulang, mandi air hangat, minum secangkir teh melati dan sedikit es krim, mungkin, jika masih ada—ia tidak ingat. Lalu tidur hanya dengan menggunakan piyama putih mantan kekasihnya yang kebesaran itu.

“Permisi?” satu helaan nafas menuju ke helaan berikutnya, Suzie berhenti dan berdehem pelan. Ia melirik ke sekitar koridor. Tidak ada siapa-siapa. Lampu di koridor kiri sudah dipadamkan, sedangkan suster jaga lain sedang berada di lantai bawah.

Hanya ada dia sendiri

“Permisi? Suzie Allen?” layaknya tercekik karena hampir menelan permen mint, ia berdiri dari duduknya. “Si-siapa disana?” Mata hijaunya masih mencoba menelurusi tiap jengkal rumah sakit. Semuanya putih, abu-abu dan berbau steril. Tidak ada yang aneh. Pot-pot putih dengan tanaman plastik, label-label pintu hitam dan kursi-kursi panjang dari besi dan pegangan karet. Semuanya diam, tidak bergeming.

Di koridor tersebut hanya ada dia dan benda-benda mati tersebut.

“Per…mi…si… Su…zie… A…llen… he he he…” kali ini suara tersebut terdengar lebih keras, seperti getaran yang berada persis di samping tengkuk lehernya. Rambut pirang yang ia sisipkan di dalam topi perawatnya tergerai jatuh saat ia menyadari seseorang, atau sesuatu menarik lepas pengait rambutnya.

“Aaaa… Si-siapa di sana… h-hei!” Suzie mundur beberapa langkah, ia hampir terjengkal jatuh saat tumitnya terkena roda kursinya.

Tubuhnya linglung dan menabrak kabinet besi.

“BRAK!!” Suzie mengernyitkan dahi.

"A-aduh..." Sikunya robek tergores ujung kabinet yang tajam.

Setetes darah jatuh ke ubin marmer granit.

Dalam seketika itu pula, seluruh ruangan mulai bergetar, udara steril berangsur berubah... berbau besi berkarat dan air hujan yang bercampur dengan tanah kering. Warna putih memudar, berganti hitam, lalu perlahan lunak menjadi karat dan akhirnya merah benderang dengan percikan-percikan darah kering.

“A-ada apa ini?” Suzie tidak bisa bernafas.

“H-hhghhh!” Sepayah apapun ia berusaha untuk berteriak namun tidak ada suara apapun yang keluar.

Ia sadar betul bahwa pintu keluar tepat berada beberapa langkah disana. Namun ia tidak dapat bergerak.

Di saat itu pula ia melihat lantai di bawahnya memudar gelap dan mulai beriak, menimbulkan gelombang-gelombang darah yang perlahan mencuat.

“!!!!” dan di dalam satu luapan tersebut, perlahan keluar sesosok suster perawat yang sama persis seperti dirinya. Wajah, rambut, tubuh, dan bahkan mata hijaunya itu…hanya saja…bayangan bersimbah darah itu bukan Suzie.

“S… Sally…?” ia bergetar saat sosok tersebut mulai mendekatinya dengan gerakan-gerakan kejang, hampir tidak manusiawi. Tidak…ini bukan manusia…ini bukan Sally… ini…

Begitu tiba cukup dekat, sosok tersebut melumerkan darah ke dua pipi Suzie. Ia membelai kedua pipinya dengan pelan dan syahdu.

Suzie bersumpah melihat air mata keluar dari kedua pipi makhluk berlumuran darah itu. Namun segala iba tidak dapat berkontemplasi lebih jauh. Suzie tidak dapat melihat hal lain selain merahnya darah dan mencium bebauan baja bekarat.

Ia tersungkur ke lantai… megap-megap… jarinya berusaha menggapai mejanya namun ia malah menarik kumpulan berkas pasien yang baru saja ia rapikan…

Keith Dallas, Maria Schultz, Neil MacGrub, Damian Fuller, Orson Callahan,…
Nama-nama asing itu adalah hal terakhir yang menemaninya hingga ia merasuk penuh dalam kegelapan.

“Aku melihat mimpi burukmu, suster…”
bisikan parau seorang pria mendengung sayup saat

Suzie terkapar jatuh di lantai koridor rumah sakit itu.

***

Kedua suster jaga tersebut, Annie dan Maya baru saja kembali dari kamar mandi. Mereka baru saja kelar bergosip tentang pasien sinting bernama Damian yang konon membunuh kekasihnya sendiri dengan bercinta dengan darah. Bagi mereka berdua itu termasuk seksi dan mengerikan di saat yang bersamaan.

Namun ketika mereka hendak mengajak Suzie untuk ikutan memberikan pendapat, mereka sudah lupa tentang apa yang hendak mereka mau bicarakan.

Annie segera menelpon dokter jaga di lantai atas sedangkan Maya terdiam melihat betapa tenangnya wajah Suzie walau tubuhnya sudah tertimpa kabinet besar di ruangan mereka tersebut.

Wajah tersenyum Suzie akan selalu Maya ingat sepanjang hidupnya.

(dan kematian itu pun menjadi permulaan sebuah kisah)