Pasak kayu berdiri tegap di tengah antah-berantah, lelautan biru.
Sekuncup bunga menari kupu-kupu, kelopak-kelopaknya menyebar dan melebar;
ujung-ujungnya meniti pelit pada permukaan air, mereka berkaca-kaca pada riak.
Ah! Tersayang, bunga itu tak mampu meminum dengan kelopak-kelopaknya.
Pasak kayu berdiri tegap di bawah langit nan jingga, firdaus tanpa ular.
Sekuncup daun semburat sembunyi di balik kelopak-kelopak persona, minim;
menemani desahan urat nadi kelopak, menemani dan bersembunyi di ketiak bunga.
Tertidur, daun itu menjadi bunga, bahkan jika ia membusuk, ia tetap bunga!
Di sana, di lautan itu, Engkau tidak sendiri. Mereka hanya bersembunyi!
Tukang kebun, penjual bunga, bahkan pembasmi hama. Semua hadir untukmu.
Semua adalah milikmu. Engkau adalah siren mereka, yang melantunkan lagu sedih.
Lagu sedih melirih. Dan mereka semua berjanji bisa bernyanyi bersamamu.
Ah, sembunyikanlah kelopak-kelopakmu itu. Sayang teramat, kau pun juga
tidak bisa menelan mereka, bukan? Buat apa Engkau pedulikan mereka?
Engkau itu murni bunga, bukan Rafflesia. Kamu itu pusat getaran air.
Kamu itu gelombang tektonik. Sedang apa menyembunyikan daun itu lagi?
Sini, berikan padaku, akan kuberi warna biar seindah warna aslimu.
Sekarang... Apa aku masih seorang pekerja ataukah pelaut sejati bagimu?
Sayang, tak perlu membasahi tilas bibirmu. Diamlah di sana, dan akan
kulukiskan mentari senja sebagai latarmu, lautan sebagai pijakanmu,
pasak sebagai apapunmu, dan daun sebagai kelopakmu. Engkau adalah..
Bunga terindah yang pernah kulihat.
18 Mei 2009
ALEX JHON - PROSA LYRIK