KSATRIA MANTRA - BAB 1 - MISI RAGLAN


MISI RAGLAN

Matahari dan langit nampak terpadu dalam simfoni merah dan panas. Langit berarak-arak, bergerak cepat, ditemani dengan segelintir awan-awan hitam menggulung. Mataharipun hampir menghitam, lebih hitam daripada warna darah manusia, sepertinya sudah mati, tidak bersinar. Panas ini bukan daripadanya, tetapi daripada udara.  Seperti uap kasat mata menusuk-nusuk pelan mencoba masuk ke ari-ari Raglan.

Tubuhnya yang ramping dan separuh atletis masih belum terbiasa.

Raglan berjalan sendiri, awalnya ia kebingungan. Ia hanya tahu misinya adalah untuk menemui seorang raja iblis bernama Samael di negeri Cruor, dunia Ruparaga, namun ia tidak tahu bagaimana dan apa yang harus ia lakukan sebegitu ia di’pindah’kan ke alam ini oleh sang Pendeta Gerbang.

Di hadapannya, sebuah menara tinggi dari bebatuan nampak menjulang seketika, menara batu kemerahan, berbentuk spiral, seperti pagoda kaum Asia, tetapi berjendela sana dan sini tanpa tahu aturan. Tidak ada lentera, yang ada adalah obor-obor berkarat yang menyiarkan api berwarna kehijauan, bukan hijau dunia, hijau ini mengiris, kadang sekilas akan nampak wajah-wajah manusia seakan meminta ampun. Mereka, para api dalam obor, nampak hidup menari-nari menyiksa para roh di dalamnya itu.

Raglan masih menatap kosong menara spiral tersebut. Entah bagaimana namun ia tahu bahwa menara aneh tersebut adalah tujuannya di Negeri Cruor ini. Sepertinya ia terpanggil. Langkahnya serentak berjalan dengan tubuhnya yang secara pasif perlahan-lahan menerima kondisi dan atmosfir panas yang menusuk-nusuk pelan, seperti merasuk.

Seperti kerasukan.

Di sekeliling daripadanya adalah bebatuan yang terkadang menyemburkan asap atau api kehijauan yang sama dengan warna api di obor menara spiral tersebut. Ada suara-suara ambigu yang tidak dapat ia definisikan. Seperti erangan kesakitan berpuluh-puluh orang tetapi kadang seperti sebuah rentetan doa dalam bahasa kuno.

“Suara apa ini? Membuat nyaliku menciut! Membuat buluku bergidik ngeri…”

Seiring dua tiga langkah ia berjalan, tiba-tiba Raglan dikejutkan dengan munculnya dua manusia berparas pucat. Mereka tiba-tiba datang dari atas, seperti mereka baru saja terbang dan mendarat tepat di hadapan Raglan.

Raglan memperhatikan secara spontan fitur fisik mereka yang beda. Wajah mereka berdua kurus kering, hampir menyerupai tengkorak, hampir berdaging, hampir mayat. Yang satu adalah wanita dengan rambut hitam turun ke bawah, memakai gaun serba hitam, menutupi seluruh aurat tubuhnya. Satu lagi seorang pria, memiliki rambut hitam ke bawah yang sama dengan sang wanita, hanya lebih pendek sekitar sebahu. Semacam gaun hitam mengkilat juga sang pria pucat itu gunakan. Mereka berdua seperti sepasang makhluk setengah mayat, lengkap dengan jubah hitam dan retina mata kehitaman.

Nhajr Kour Narrban?” ucap sang wanita pucat tersebut, bahasanya tidak dapat dimengerti oleh Raglan.

Ja, Kour bies Samael ka njir, sarva…” nampaknya sang pria membalas sembari mendekati Raglan. Raglan sendiri tidak bergerak. Ia tidak tahu harus bicara atau harus diam ataupun lari.

Koun humana glen Samael ka bikka humana, anon daemon! Nhajr…” sembari pria pucat itu mendekati Raglan, tangan putihnya yang lebar mencengkram bahu kiri Raglan dengan kencang, nampaknya ia marah untuk sebuah alasan.

“Arrrgh…” Raglan mencoba menahan sakit--

Nouga! Madoc, Nouga… en Samael fain mut, Kour bucrate et Koer, sarva…” sang wanita pucat nampak gelisah dan menarik tangan sang pria pucat tersebut.

Raglan bernafas terengah-engah. Ia ketakutan. Ia tidak bisa bergerak karena ia tidak tahu harus bagaimana. Yang ia tahu hanyalah sekarang ia sedang berhadapan dengan makhluk-makhluk Ruparaga yang kemungkinan besar berbahaya.

Raglan masih terdiam, ia tidak tahu sama sekali apa yang mereka bicarakan.

“Katrina! Sarva Koen en… Ah! Koer bacchin an?” Sang pria nampak marah dan mencengkram kedua lengan sang wanita pucat tersebut. “Koer bacchin an, Katrina? Argh!...” tiba-tiba sang pria pucat tersebut lansung melepaskan cengkramannya dan menunjuk ke wajah Raglan.

“Kau! Kau hanya manusia, mengapa kaulah yang harus mengikuti misi ini, mengapa bukan kami! Legion-nya? Kami adalah suku vampir yang bernaung dalam nama Samael, Sang Abadi penakluk darah dan matahari! Kami adalah penghuni Ruparaga yang sesungguhnya! Bukan kau!”

“Sayangku! Oh Madoc, hentikan… Nouga ank. Nouga anka…” lirih wanita pucat tersebut.

Lalu pria bernama Madoc tersebut melihat ke arah wanita yang memanggilnya dengan sebutan sayang itu, “Katrina! Makhluk ini (sembari menunjuk Raglan tanpa melihatnya) adalah seorang manusia, lebih rendah daripada kita para kaum vampir! Kau akan memberi kesempatan pada seorang asing! Aku bisa saja membunuhnya sekarang! Disini!”

Tiba-tiba Madoc segera mengarahkan tangannya yang panjang dan mengeluarkan kuku-kuku bercat hitam. Hampir saja ia menyerang, tetapi ia terhenti sesaat sang wanita tersebut, Katrina berucap pelan, nampak berucap satir kepada sayangnya itu, “Dan, Samael akan membinasakan daripadamu, dan aku akan membangkitkan “makhluk” ini dalam baptis darah Ruparaga, dan ia… akan menjadi penggantimu…”

“A-apa!” Madoc terhenyak.

Nhajr Kour Narrban?” ucap sang wanita pucat tersebut, bahasanya tidak dapat dimengerti oleh Raglan.
Ja, Kour bies Samael ka njir, sarva…” nampaknya sang pria membalas sembari mendekati Raglan. Raglan sendiri tidak bergerak. Ia tidak tahu harus bicara atau harus diam ataupun lari.
Koun humana glen Samael ka bikka humana, anon daemon! Nhajr…” sembari pria pucat itu mendekati Raglan, tangan putihnya yang lebar mencengkram bahu kiri Raglan dengan kencang, nampaknya ia marah untuk sebuah alasan.
“Arrrgh…” Raglan mencoba menahan sakit--
Nouga! Madoc, Nouga… en Samael fain mut, Kour bucrate et Koer, sarva…” sang wanita pucat nampak gelisah dan menarik tangan sang pria pucat tersebut.
Raglan bernafas terengah-engah. Ia ketakutan. Ia tidak bisa bergerak karena ia tidak tahu harus bagaimana. Yang ia tahu hanyalah sekarang ia sedang berhadapan dengan makhluk-makhluk Ruparaga yang kemungkinan besar berbahaya.
Raglan masih terdiam, ia tidak tahu sama sekali apa yang mereka bicarakan.
“Katrina! Sarva Koen en… Ah! Koer bacchin an?” Sang pria nampak marah dan mencengkram kedua lengan sang wanita pucat tersebut. “Koer bacchin an, Katrina? Argh!...” tiba-tiba sang pria pucat tersebut lansung melepaskan cengkramannya dan menunjuk ke wajah Raglan.
“Kau! Kau hanya manusia, mengapa kaulah yang harus mengikuti misi ini, mengapa bukan kami! Legion-nya? Kami adalah suku vampir yang bernaung dalam nama Samael, Sang Abadi penakluk darah dan matahari! Kami adalah penghuni Ruparaga yang sesungguhnya! Bukan kau!”
“Sayangku! Oh Madoc, hentikan… Nouga ank. Nouga anka…” lirih wanita pucat tersebut.
Lalu pria bernama Madoc tersebut melihat ke arah wanita yang memanggilnya dengan sebutan sayang itu, “Katrina! Makhluk ini (sembari menunjuk Raglan tanpa melihatnya) adalah seorang manusia, lebih rendah daripada kita para kaum vampir! Kau akan memberi kesempatan pada seorang asing! Aku bisa saja membunuhnya sekarang! Disini!”
Tiba-tiba Madoc segera mengarahkan tangannya yang panjang dan mengeluarkan kuku-kuku bercat hitam. Hampir saja ia menyerang, tetapi ia terhenti sesaat sang wanita tersebut, Katrina berucap pelan, nampak berucap satir kepada sayangnya itu, “Dan, Samael akan membinasakan daripadamu, dan aku akan membangkitkan “makhluk” ini dalam baptis darah Ruparaga, dan ia… akan menjadi penggantimu…”
“A-apa!” Madoc terhenyak.

“Pikir baik-baik sayangku…” mengacuhkan mereka berdua dan menatap kepada menara spiral di belakang mereka, “Tuan Samael hanya meminta kita mengantarkan benda itu ke tangannya, misinya ini… belum tentu pula ia bertahan hidup… seperti katamu…” ada keheningan sejenak sejenak. Katrina nampak menunggu momen yang tepat.

Tak lama kemudian ia berucap pelan, sembari melirik, berjalan mendekati dan menggoda sayangnya, “Ia adalah makhluk tidak sempurna, tidak seperti kita… seperti katamu, benar?” Katrina tersenyum kecil.

Ada sedikit keraguan awalnya dalam diri Madoc dan ia nampak ingin menyerang Raglan lagi tetapi, ia segera berhenti. Nampaknya ucapan sang vampir Katrina merasuk ke dalam pemikirannya. Mungkin saja ia berpikir bahwa tindakan heroik yang ia percaya bisa saya membuatnya gagal menjadi seorang Ruparaga sejati, mungkin…

Dengan sedikit menggerutu, ia segera mengeluarkan sebuah benda dari dalam jubah hitamnya yang mengkilat. Sebuah belati. Belati tersebut terbuat dari emas seluruhnya kecuali mata belati yang berhiaskan rubi merah.

“Ini! Ambilah!” tegas Madoc.

Raglan masih tidak mampu berbicara, ia nampak gemetar, baru kali ini ia melihat makhluk-makhluk seperti Madoc dan Katrina, dan  baru kali ini pula nyawanya terancam.

“Kau bisu, manusia? Ambilah!” Kedua kalinya ia berucap, Madoc nampak marah, “Ah! Makhluk bodoh! Ambil sendiri, ini!” Ia langsung menancapkannya di tanah tepat di hadapan Raglan. “Tuan kami, Samael hanya meminta kami mengantarkanmu belati ini. Jaga baik-baik! Apapun pemberian dari Tuanku Samael, adalah sama dengan nyawamu, mengerti!?”

Raglan secara spontan mengangguk. Ia tidak mampu menatap mata mereka. Semakin terlihat menusuk, penuh dengan kemarahan dan kedengkian. Retina mereka semakin menghitam, membesar seperti kelereng safir berkilau.

Setelah beberapa lama, Madoc dan Katrina segera terbang melayang, menuju ke menara spiral tersebut.

Sebelum pergi meninggalkan Raglan yang masih gemetaran, Katrina berucap sebuah kalimat yang membuat Raglan dengan segera mengambil belati yang tertancap di hadapannya tersebut…

Katrina berucap seraya menatap Raglan dengan pandangan sensualnya, “Jika aku jadi kau, Raglan… Aku akan mempersenjatai diriku sendiri di Ruparaga. Kaum kami… sangat suka sekali darah, kami adalah kaum vampir, kau tahu? Dan… tidak semua daripada kami memiliki akal sehat seperti penghuni dari menara Samael, mengerti?”…

Raglan dengan segera mengambil belati yang tertancap itu dan dengan kencang merapatkan belati emas Samael di kedua tangannya.
Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan benda tersebut. Yang ia tahu hanyalah ia sekarang harus menuju ke menara tersebut dan menyelesaikan misi yang sang cahaya, Prodigium Aire katakan.

XXX

Setalah Madoc dan Katrina hilang dari pandangan, Raglan kembali melanjukan perjalanan.Untuk keamanan, ia meyakini perkataan sang vampir wanita, dipegangnya erat-erat belati Samael di tangan kanannya.

bersambung...