KSATRIA MANTRA - BAB 2 - MISI GUSTAF


MISI GUSTAF
Sang pemenang perang akbar di kawasan Hillgrande adalah seorang panglima perang Rosencrantz berdarah campuran Gyldenstjerne. Darah campuran yang membuatnya tidak diterima di kedua sisi sebagai prajurit yang sempurna. Darah yang menyebabkan dia membuang jauh-jauh masa lalunya, lalu membunuh ibu yang melahirkannya dan memilih untuk menghancurkan kedua kerajaan dalam satu timpukan batu. Semua karena ia benci hidup dan orang-orang yang meremehkan kemampuannya selama ini. Dendamnya sudah mengeras bagaikan batu karang Aegis.

Nama dari pengkhianat brilian itu, sang panglima Rosencrantz yang telah berhasil membumi hanguskan Kerajaan Gyldenstjern dalam satu malam dan juga, yang berhasil memprovokasi peperangan di kedua kastil laskar kerajaan yang hancur lebur sekarang adalah dirinya, Sang Panglima Perang, Sang Gustaf dari Kalmar.

Ia pulalah yang berhasil memojokkan kedua raja dan membuat mereka saling bunuh. Ia juga yang sengaja memajang kedua kepala sang raja di masing-masing bendera lawan untuk memprovokasi peperangan semakin memanas dan membabi buta.

Gustaflah sendiri yang berhasil menghancurkan dua kerajaan besar di benua barat Bhumiraga dalam waktu tujuh hari dan tujuh malam! Ia telah menjadi legenda sebagai iblis penghancur kerajaan sejak saat itu…

Tanpa Gustaf sadari, malam ini sang panglima perang Rosencrantz akan berhadapan dengan sesuatu dibatas nalar pedang dan ototnya selama ini. Hidupnya yang nanti akan menentukan nasib seluruh makhluk di muka Bhumiraga ini.

Semuanya bukan bermula di medan perang berdarah Hillgrande yang kini penuh dengan gelimangan mayat berzirah putih tersebut namun, semuanya dimulai ketika Gustaf baru saja berhasil membunuh korban terakhir yang tersisa di kastil Rosencrantz, seorang oracle tua dari laskarnya sendiri…

XXX

Tepat sebelum Gustaf menancapkan pedangnya yang sudah penuh dengan darah ratusan prajurit tersebut, sang oracle tua nampak mengucapkan sebuah mantra dengan bahasa yang belum pernah ia dengar.

Jujur, Gustaf cukup percaya takhyul, dan dengan marah ia semakin menghempaskan pedang yang ia tancapkan tersebut sembari berteriak, “Peramal bodoh! Mencoba mengutukku, hah? Jangan harap kau sempat! Matilah kau!”

Dengan ucapan tersebut, Gustaf berhasil menancapkan habis hingga menembus punggung sang oracle malang.

Sang oracle nampaknya belum sempat membacakan mantra aneh tersebut hingga habis. Telunjuk kanannya menunjuk ke arah Gustaf. Perlahan-lahan hingga akhirnya jatuh terkulai.

Gustaf terdiam. Sempat merasa bimbang, tetapi ia mengendus sombong dan menelan ketakutannya sembari tersenyum bangga.

“Ah! Aku tidak merasakan ada perubahan. Kau gagal, orang tua!” ucapnya dengan nada agak letih.

Gustaf akhirnya pergi meninggalkan semua mayat-mayat dan limbah darah tersebut di belakangnya.

Misinya berhasil.

Ia sudah membalaskan kebenciannya terhadap orang-orang yang mencemooh hidupnya selama ini. Nama besar kerajaan Rosencrantz dan Gyldenstjerne semenjak saat itu sudahlah binasa dan tak pernah lagi tersebut dalam sejarah Bhumiraga.

XXX

Dua jam kemudian…

Gustaf sedang berjalan kembali ke kediamannya, Kastil Kalmar. Tetapi sebelum ia sampai disana, tepat ketika tengah malam telah tiba, Gustaf merasakah dadanya sebegitu sakit seperti ditusuk-tusuk dan diremas kencang dari dalam.

Ia tersungkur, bersandarlah tubuhnya pada sebuah pohoh tak jauh dari ia berjalan. Nafasnya terengah-engah. “Si-sial! Apakah ini kutukan si oracle brengsek itu?” lirihnya sembari menahan sakit.

XXX

Semakin lama, bukannya semakin membaik, tetapi semakin menjadilah perih dada sang jendral. Ia tidak bisa bergerak, menahan rasa sakit, ia takut pergerakan akan membuatnya semakin dekat dengan kematian. Ia khawatir dengan dadanya… jantungnya… ia meremas dadanya dan berucap kecil; berulang-ulang, “Sial! Sial! Sial!”

Sungguh luar biasa cengkraman yang ia rasakain dalam jantung tersebut, seperti tertarik keluar, sepertinya hendak keluar. Bukan secara metafor tetapi alangkah mengerikannya.

Tak beberapa lama, ia segera ingin melepaskan baju zirahnya yang tebal. Menariknya kasar. Ia berteriak kesakitan, meraung sembari terengah-engah. Hampir menangis. Tetapi ia tidak mau menangis. Keringat bercucuran di hembusan angin malam.

Apa yang ia kemudian sadari dari tubuhnya benar-benar membuatnya tiba-tiba melupakan rasa sakitnya, bahkan sebenarnya… rasa sakitnya tiba-tiba hilang sesaat ia sadar bahwa dadanya robek dan ia sadar bahwa jantungnya telah hilang!

Setelah ia sadar jantungnya telah hilang Gustaf menyadari satu hal; ia masih bisa bernafas. Tubuhnya tiba-tiba dapat kembali berdiri dengan tegap. Rasa sakit itu benar-benar hilang. Seakan-akan jantung itulah masalahnya.

“Apakah aku sudah mati atau…” lirihnya.

Gustaf tidak bisa berkata-kata lagi. Ia masih tidak percaya dengan kondisi dadanya yang berlubang besar dan sama sekali ia tidak merasakan perih di antara robekan halus kulitnya yang terbakar tersebut.

Tak beberapa lama kemudian, munculah di hadapannya seberkas cahaya putih. Begitu silau hingga nampak malam bagaikan siang.

Gustaf tidak bisa melihat apa-apa, tangan kanannya masih menutupi lubang di dadanya. Tangan kirinya melakukan pergerakan untuk menutupi kedua kelopak matanya dari hamparan sinar terang tersebut.

Di saat ia hendak berucap, tiba-tiba muncul suara bergema, seperti suara yang amat besar dan kuat, “Hei kau anak dari dua kerajaan! Sunggulah engkau teramat keji. Sanak saudara bahkan induk pun kau bantai tanpa prihatin. Layaklah engaku sejajar dengan iblis yang kubuang!”

“Si-siapa kau?” balas Gustaf sembari masih menutupi mata dan jantungnya. Ia mencoba melihat tetapi percuma, semua adalah putih. Warna yang tidak bisa Gustaf lihat selama ini.

Semua panca inderanya diserang dengan putih dan terang.

“Namaku adalah Prodigium Aire. Dan akulah yang mengambil jantung kebiadabanmu, wahai jendral perang tak berhati!” ucap cahaya tersebut.

“Apa? Wahai iblis jahanam! Jangan permainkan sang Gustaf yang hebat! Aku sudah membunuh dua kerajaan dalam satu minggu, adalah merupakan kehormatan untuk bisa menaklukan satu jiwa lagi walaupun engkau adalah seorang iblis yang berani-beraninya mencuri jantungku!” balas Gustaf marah. Perlahan-lahan ia mencoba melihat cahaya di depannya. Dibiarkannya kedua mata dan lubang dada itu terekspos cahaya terang. Merasuk dengan kehangantan yang tidak bisa terdefinisikan.

Ada jeda ketenangan, sepertinya sang cahaya menarik nafas.

“Aku memberikan kau satu kesempatan lagi!” ucap sang cahaya sabar.

“Kau? Apalah dayamu, wahai makhluk pengecut? Dirimu pun masih berbalut dalam cahaya, kemunafikanmu dalam terang membuat dada tanpa jantungku terasa hangat akan gurauan! Gurauan untuk seorang pengecut seperti engkau!”

“Dan kau akan merasakan gurauan itu adalah kesempatan terakhir bagimu untuk menjadi apa yang kau inginkan.”

“Hah! Sungguhlah kiranya engkau tahu, Wahai segala Maha Tahu?” Gustaf berjalan sedikit ke samping. “Sekiranya engkau tahu, apakah yang lebih aku inginkan ketimbang kehancuran dua kerajaan tak berguna itu?”

Cahaya itu kembali terdiam sejenak.

Beberapa saat kemudian, disaat Gustaf hendak mencibir, merespon dengan hinaan, sang cahaya membawakan kehadapannya, jantung Gustaf yang masih bergerak. Jantungnya begitu hitam dan detaknya sangat cepat. Jantung tersebut melayang tepat di antara Gustaf dan cahaya terang tersebut.

“Inikah yang kau cari?” tanya sang cahaya.

“KURANG AJAR!” –kutuk Gustaf dalam hati.

“Hah! Kau memerasku?” balas Gustaf dengan nada marah.

“Aku menawarkan kehidupanmu kembali.”

“Tetapi tanpa benda itu (menunjuk ke jantungnya) aku masih bisa berdiri sekarang. Aku tidak butuh benda i…”

Tiba-tiba Gustaf berteriak kesakitan, “Aaaaaaaaaaargh!” Rasa sakit itu kembali datang, lebih perih daripada sebelumnya. Dadanya berdenyut seakan-akan memiliki jantung yang terbakar.

“Sial! Kau! Kau… apakan diriku, wahai ‘iblis’!”

“Sunggulah engkau yang layak menyandang gelar tersebut, anakku. Aku hanya mengembalikan milikmu, termasuk rasa sakit yang memang milikmu.”
“Kau…”

Dengan erangan perih dari Gustaf, Cahaya tersebut berucap kembali seraya perlahan menghilang “Jikalau keras kepalamu tetap seperti demikian, maka akan kubawa kau ke alam Ruparaga dalam lelapmu dan di sana, iblis yang bernama Hadoth, akan menjelaskan misimu nanti jika kau menginginkan jantungmu kembali, wahai panglima perang yang tidak kenal takut!”

Cahaya itu pun menghilang beserta kesadaran dan rasa sakit Gustaf..

Tubuh Gustaf tak lama kemudian tervaporasi ke dalam pusaran hitam yang muncul secara tiba-tiba dan kemudian  menghilang layaknya asap tertiup angin ribut.

Gustaf kini sudah tidak berada di Kalmar, dunia Bhumiraga. Ia sekarang sedang tertidur lelap seperti bayi, telengkup di tanah kering dunia bayangan Ruparaga.

to be continued