KSATRIA MANTRA - BAB 3 - MISI ALMA


MISI ALMA

Alma melepaskan kerudung khasnya yang berwarna hitam, kerudung katun yang selama hampir enam tahun mengukuhkan identitasnya sebagai biarawati Ordo Ishtar.

Hanya ada dua lilin yang masih berpendar; satu di samping ranjang busanya yang reot, satu lagi di hadapannya, tepat bersebelahan dengan sebuah cermin yang biasa ia gunakan untuk berdandan sebelum ia kembali ke biara utama setiap paginya.

“Silakan… siapapun dirimu…” Alma menyunggingkan senyuman tipis di bibirnya yang terang. Senyuman tersebut sangat terlihat terpaksa, ada getaran tidak nyaman namun Alma sudah nampak bertahun-tahun terbiasa menyamarkan senyuman tersebut sehingga hampir terlihat seperti benar-benar tulus datang dari hatinya.

Dengan gerakan lambat, ia gunakan tangan putihnya yang masih terbalut piyama putih, dalaman seragam biarawatinya, untuk mengeser pelan sebuah buku saku berkulit tebal.

Buku tersebut terbuka lebar. Kertasnya seperti kertas daur ulang dan terlihat kaku.

“Jangan khawatir, aku tidak akan menjebak jiwamu dalam buku ini. Tidak ada hal seperti itu dalam kamusku.” ujar Alma. Kali ini ia tidak tersenyum karena ia mencoba menahan uapan kantuk yang sungguh, membuat ia semakin sadar bahwa sekarang sudah hampir tengah malam dan seharusnya sudah tergolek nyenyak. Misa pagi di hari Sabtu merupakan hal wajib bagi seorang biarawati Ishtar, apalagi bila biarawati tersebut adalah kepala divisi doa, seperti Alma.

“Kumohon cepatlah… “ Alma memperhatikan dengan seksama kertas di hadapannya akhirnya secara perlahan-lahan mulai memunculkan corak bercak-bercak merah. Terlihat abstrak dan liar namun lama-kelamaan mencuat bentuk tulisan yang dapat terbaca.

Akhirnya ditulis juga… Demi Rosiera, roh kali ini terlalu berprasangka… keluh Alma.

Setelah lembaran di buku saku tersebut berhenti mengurat dengan tulisan merah darah, dengan segera Alma membalik buku saku tersebut kembali ke arah wajahnya.

Diresapinya tulisan aneh tersebut seraya mencoba kembali mengucapkan kata-kata yang ditulis oleh roh barusan.

“To…long… bawa…kan a…ku…” Alma berhenti.

Ia membelalakan mata dan seketika itu pula menaruh buku tersebut di bawah bantalnya dan segera meniup lilin di samping ranjangnya.

Ada erangan tipis yang terdengar memilukan.

Jika ada orang lain yang mendengarnya mungkin orang tersebut akan menyalakan lilin atau segera lari ke ruangan terdekat yang masih terang benderang tetapi, orang yang dapat mendengar erangan lirih itu sekarang hanyalah Alma dan, sang biarawati Ishtar tersebut sudah terlampau biasa dengan suara erangan lirih macam apapun jikalau seorang roh manusia tidak dituruti kehendaknya.

Alma sebenarnya sudah terbiasa dengan kegiatan ‘mencoba’ membantu roh-roh yang terjebak di dunia; yang tidak dapat reinkarnasi karena masih terikat sesuatu ‘janji’ di dunia fana. Dengan buku sakunya yang selalu nampak kosong, para roh diberikan kesempatan untuk menuliskan beberapa kata keinginan apa yang mereka inginkan agar ia bebas dari ikatan fana.

Biasanya setelah para roh tersebut mendapatkan keinginan mereka, tulisan di buku tersebut akan sirna, menandakan bahwa sang roh telah terbebas dan dapat bereinkarnasi atau setidaknya, akan dapat berpindah menuju ke alam surga ataupun neraka.

Namun tentu tidak selamanya Alma dapat menolong semua roh, ada beberapa roh yang terlalu berat permintaannya seperti menggunakan tubuh Alma untuk memakan makanan berdaging (hal yang tidak mungkin, mengingat Alma adalah biarawati pemuja Rosiera, sang dewi alam), lalu ada pula yang ingin melakukan balas dendam terhadap orang lain, dan yang paling simpel dan memalukan adalah seperti yang baru saja ia alami.

“Dasar, kalau tahu begitu tadi aku tidak usah beri kau kesempatan. Sekarang tulisan tersebut mungkin tidak akan hilang sampai dia benar-benar tidak berminat lagi.” gerutu Alma sembari berusaha menutup matanya yang berwarna biru terang.

Erangan lirih tersebut semakin menggema, seperti meminta Alma untuk mengabulkan keinginannya saat itu juga.

Suara angin tertiup tipis dari sisi jendela kecil tanpa kaca sekitar dua kaki dari tempat tidur Alma.

Oh… kapan dia akan berhenti, sih…

Erangan tersebut semakin menjadi. Alma masih berusia 22 tahun, wajar kalau ia masih mudah marah karena beberapa hal kecil namun hal yang sang roh minta hari ini benar-benar membuatnya naik pitam sampai ke ubun-ubun.

Alma membelakangi jendela kecilnya, membiarkan kuping kirinya tertekan bantal kemudian, dengan tangan kanannya ia menutup kuping satunya lagi.

Pergilah…ayolah… besok aku harus bangun pagi… kumohon Demi Rosiera…

Selang beberapa menit, nampaknya sang roh mulai bosan memohon dan akhirnya meninggalkan Alma.

“Apa dia sudah pergi?” bisiknya hampir mengantuk.

Alma melepaskan kuping-kupingnya dari segala sumbatan alami yang ia ciptakan.

Ah… dia pergi.

Ia tersenyum dan kembali berbaring lega. Dirogohnya bantal tipis yang menopang rambut pirangnya. Dibuka kembali buku saku tersebut.

“Ah…” seru Alma perlahan.

Tulisannya ternyata menghilang. Nampaknya sang roh membatalkan niatnya.

“Syukurlah. Kukira dia tidak akan pergi.” Alma menyengir sembari merapikan rambut pirangnya kembali, “Dasar hantu sinting! Aku ini biarawati Ishtar, mana mungkin aku membawakanmu wanita penghibur ke biaraku. Apa aku mau dikutuk Rosiera seumur hidup?”

Ditaruhnya kembali buku saku kecil tersebut di bawah bantalnya, tempat favoritnya.

Alma terkekeh pelan sembari ia mulai dengan nyaman merasuki alam mimpi, alam dimana ia dapat terbang, melompat melewati atap-atap rumah dan berteriak girang sesuka hati.

Namun, malam itu sesungguhnya adalah malam terakhir dimana Alma dapat menikmati bakatnya melihat roh ataupun hantu manusia Bhumiraga dengan pandangan yang menyenangkan.

XXX

Dentingan bel menara biara mulai membangunkan Alma dari tidur lelapnya.

Ia mengangkat tubuhnya lemas sembari menguap. Sempat tubuh langsingnya terduduk diam di tepi ranjang.

Sinar mentari yang muncul malu-malu, sedikit menyinari rambut pirang Alma yang nampak berantakan dan mengkilat bagaikan emas.

Suara bel pun mulai semakin menggema luas.

Beberapa menit kemudian, dengan segera Alma bersiap-siap karena, sebentar lagi ia akan melakukan misa doa mingguan di aula besar, doa bagi sang Dewi Alam, Rosiera.

XXX

Setelah beberapa menit meluruskan lipatan-lipatan di seragam biarawati ordonya, dengan segera Alma beralih ke ranjang reotnya dan segera merogoh kembali buku saku yang ia simpan semalam.

Ia tahu benar bahwa kemampuannya akan dianggap sesat bagi anggota biara lainnya. Ia tidak mau orang-orang menanggapnya orang aneh ataupun menyeramkan, apalagi di bagian 'sesat' tersebut.

Sihir di dunia Bhumiraga merupakan hal yang tabu dan tidak sesuai dengan ajaran Rosiera.

Buku saku berkulit tersebut akhirnya ia masukkan ke dalam saku kain di sebelah kanan seragamnya. Tidak ketinggalan ia mengambil tasbih putih besar berlambangkan empat daun seperti kincir angin, lambang dari ajaran kepercayaan Dewi Alam.

“Tumben…” sindirnya kepada ketenangan di pagi hari.

Biasanya ia akan melihat satu atau beberapa roh menunggui ia bangun atau selesai membasuh diri di pojokan kamar. Mereka yang biasanya menunggui Alma untuk membiarkan kepedihan mereka tertulis di buku saku Alma tersebut.

Saat Alma mengunci pintu kayu setinggi tubuhnya tersebut, seorang biarwati lainnya memanggilnya dari kejauhan, nampak tergesa-gesa “Se-selamat pagi, Suster Alma…(terengah-engah) ada be-berita yang harus aku sampaikan, a-apa kau sudah dengar?”

Veronica.

Rambutnya yang sebenarnya panjang tergerai hitam dan mengkilat kini ia kuncir ekor kuda di belakang kerudung biarawatinya. Tinggi Veronica yang nampak gelagapan itu tidak jauh beda dengan Alma namun bibirnya lebih terlihat tebal dan warna matanya seperti warna tembaga.

“Salam, Veronica. Tenanglah kau… Mendengar apa?” balas Alma setelah yakin benar bahwa kamarnya telah terkunci.

“Magister Utama… di-dia meninggal tadi jam empat pagi,” nada Veronica terdengar lirih namun ia nampak terlalu tegar dengan imaji lekukan cekung pipinya dan mata tembaganya yang tipis tersebut.

“K-kau becanda? Mengapa tidak ada yang membangunkanku tadi pagi? Oh tidak! Di mana sekarang jasad Magister Ulaf berada?” Alma segera bergegas melewati lorong bebatuan biara bersama dengan Veronica yang menyusul tak jauh di belakang.

“Di-di hall utama tetapi, Suster Alma… dengar…” Veronica segera memberhentikan langkahnya seraya menarik lengan Alma.
Alma sontak berhenti seketika.

“Ouch… apa yang kau lakukan, Veronica? Ada apa? Kita harus bergegas. Oh betapa tidak bertanggung jawabnya aku sebagai kepala divisi pendoaan jika Magister Ulaf belum diurapi oleh kuasa Rosiera sebelum ia dikremasi. Kuharap mereka menungguku atau…”

Belum selesai Alma berceloteh, Veronica segera memotong ucapan sang biarawati kalap tersebut, “Dengar… Magister Ulaf… d-dia… uhm…” ia berhenti seraya mendekatkan bibirnya yang tebal ke telinga kiri Alma, seakan-akan mencoba menjaga sebuah rahasia agar tidak ada yang mendengarnya,

“Ku-kurasa ia dibunuh…”

A-apa? Kau becanda…pikir Alma.

“Kamu ini ngomong apa sih, Veronica? Jangan becanda.” balas Alma tegas. Posisi Alma memang lebih tinggi dibanding dengan Veronica yang baru menjadi biarawati muda dua tahun silam, beda dengan Alma yang sudah makan garam di biara ini selama kurang lebih enam tahun semenjak ia masih remaja.

“Aku tidak becanda, dengar aku…” mata Veronica nampak berkaca-kaca.

Dengan tatapan itu, entah mengapa, Alma merasa harus mendengar ucapan biarawati muda tersebut. Ia merasa bahwa Veronica mungkin berkata jujur.
“Oh baiklah… (menghela nafas)… katakan apa maksudmu…” tanya Alma.

Veronica kemudian menarik nafas dalam-dalam dan membiarkan bunyi bel yang mulai kembali berdentang memanggil para biarawati di depan sana acuh terintimidasi.

“Suster Alma… tadi pagi aku yang langsung mencoba mengetuk pintumu begitu Magister Ulaf telah tiada namun, a-aku melihat sosok Magister Ulaf memasuki pintumu! A-aku tidak berani mengetuk karena sebelum ia masuk, Magister Ulaf melihatku…maksudku, arwah sang Magister MELIHATKU, Suster Alma! Ia melihatku dan memberikan sinyal tanda silang di dadanya kemudian ia menggerakkan bibirnya yang biru, aku ingat sekali, aku tidak mengira-gira…sungguh! D-dia berucap kalimat begini, “Katakan pada Alma, aku dibunuh, katakan pada Alma, aku dibunuh…” setelah i-itu sang Magister melesap masuk ke kamarmu…”

Alma mematung.

Ia tahu apa yang harus ia perbuat. Tangan kanannya ia masukkan ke kantong kain seragamnya seraya meremas buku saku tersebut.

“Veronica… ada yang harus aku lakukan… aku mohon kabari para suster lain untuk memulai doa tanpaku…”

Veronica kebingungan, tidak seperti biasanya seorang biarawati berdedikasi tinggi seperti Alma bolos dari upacara semacam ini.

“Te-tetapi, apa yang mau, Suster Alma lakukan?” tanyanya.

Alma melirik ke menara sebelah di pelipis matanya. Sebuah menara batu kecoklatan dengan atap biru kerucut, hampir serupa dengan menara-menara lain tetapi menara yang ada di tatapan Alma merupakan menara kerucut terbesar yang ada di biara ini—menara khusus bagi Magister Utama biara Ordo Ishtar, kamar Magister Ulaf.

“Ada yang harus aku lakukan segera…”

Alma segera melesat pergi meninggalkan Veronica yang masih khawatir jika arwah sang Magister muncul kembali dari pintu kamar sang Suster divisi doa tersebut.

to be continued..