KSATRIA MANTRA - BAB 4 - ALMA & SANG HANTU BIJAK


ALMA DAN SANG HANTU BIJAK

Tangga batu berpundak-pundak memutar membuat Alma hampir kehabisan nafas. Menara Magister Ulaf memang yang terbilang paling besar dan cukup tinggi, sekitar kurang lebih delapan lantai biara.

Hampir kehabisan nafas, Alma berpijak pada pegangan kayu apuk di dekat dinding berbatu tersebut. Cahaya mentari pagi samar-samar terbias namun suara lonceng biara masih mampu terdengar riang sehingga efek horor sama sekali tersisihkan di menara sang Magister Utama.

“Sedikit… lagi…(terengah-engah)” lirihnya menarik nafas.

“Ah…” Alma nampak separuh girang karena sudah melihat sekilas pintu kemerahan milik sang Magister Utama.

Dengan segera ia mempercepat langkahnya.

KREKK!!— pintu tersebut terbuka dengan sendirinya saat Alma hendak memutar kenob bundar keemasan di pintu bercat merah tersebut.

“Magister? Apa kau disini?” tanya Alma seraya memasuki ruangan.

Tidak ada jawaban.

Ruangan Magister dihiasi dengan karpet bangsa Timur Tengah yang menawan, dengan bordiran emas yang timbul di beberapa jahitan berbentuk sulur melingkar. Tempat lilin berwarna emas yang dapat menahan empat lilin tergeletak tinggi memesona di sebuah meja besar bundar di samping jendela berterali layang-layang. Jendela yang jauh lebih besar ketimbang milik Alma. Sebuah lukisan Magister Ulaf yang sedang berdiri dengan jubah putih keemasannya sembari memegang buku panduan kepercayaan Dewi Rosiera terpampang jelas di atas sebuah perapian berbatu.

Sang Magister selalu menggunakan seragam jubah putih panjang yang dilapisi bordiran sulur emas. Rambut putihnya yang tersisir rapi ke belakang sangat dominan terlihat berpadu dengan kumis dan jenggot keabu-abuannya yang tebal. Wajahnya terlihat tampang walau di usia 56 tahun. Alma mengagumi sosok agung dan berwibawa di lukisan tersebut… sesuai dengan sosok aslinya.

“Magister Ulaf?” bisik Alma. Ia masih celingukan karena ia sadar ia memasuki kamar sang Magister tanpa izin.

Saat Alma sadar tidak ada respon sama sekali, ia hanya menghela nafas.

Di dudukinya pinggiran kasur berlapiskan seprai beludru tebal berwarna merah. Menepuk pelan seprai tersebut sembari menggerutu, “Oh… apa Veronica berbohong? Ugh… awas saja nanti… kukira roh sang Magister akan tidak tenang… kurasa sang Magister memang meninggal secara wajar…”

Belum selesai Alma berkonklusi atas kesenyapan di kamar sang Magister, tiba-tiba pintu merah kamar terbanting keras.

BRAKKK!

A-apa? Kejut Alma.

Ada kesenyapan yang merasuk.

Alma tahu perasaan apa ini…

Ada roh yang sedang berada di kamar ini…

“Magister?” ujar Alma ragu.

Seruan angin berbisik membahana pelan namun berputar bagai arus topan di penjuru ruangan. Alma merasakan sensasi dingin namun sejuk menusuk ari-ari kulitnya.

Beginilah keadaan kurang lebih kekuatan roh seseorang yang baru meninggal, aura semangatnya masih membawa nuansa bergidik. Semakin lemah nuansa tersebut maka semakin lama pula sang pemilik roh telah terangkat dari jasad fisiknya.

“Alma… kau datang… padaku… tolong…” lirih pelan mulai mencuat.

Alma tahu benar bahwa roh yang baru keluar dari jasadnya biasanya masih dapat berkata-kata namun lambat laun, karena energi kehidupan mulai menipis maka roh tersebut akan mulai kehilangan kata-kata… nampaknya Magister Ulaf sudah mulai melupakan sedikit cara berujar yang wajar.

“Magister? Oh tidak…” lirih Alma sedih.

Dengan segara Alma berdiri dan merogoh kantung saku kanannya. Dikeluarkannya buku saku tersebut dan dibukanya lebar-lebar kemudian, diletakannya di meja di mana tempat lilin menawan tersebut berada.

“Magister… aku tidak tahu apa yang terjadi tetapi… jika roh-mu ada di sini (tepat seperti dugaanku) maka kemungkinan benar apa yang Veronica katakan… kematianmu tidak wajar, seseorang atau sesuatu pasti telah membuatmu kehilangan nyawa.”

Suara lirih roh tersebut tersiar kembali. Wajah sang Magister pucat dan bibirnya yang segar berubah biru. “Alma… jantungku…”

Alma melihat lubang besar di pakaian megah sang Magister. Jantung-nya lenyap tidak berbekas.

“Magister Ulaf… jangan berlama-lama lagi, kau mulai kehilangan kemampuan berbicara… bicaralah melalui buku ini. Dengan energi kehidupanmu, tuliskan keinginanmu sekarang. Tuliskan pula apa yang menyebabkan kematianmu. Biar aku selesaikan ‘masalah duniawi’-mu.”

Alma bergerak menjauh dan kembali duduk di tepi ranjang sembari memperhatikan sang Magister berbalik mendekati buku saku Alma sembari mengangguk-angguk beberapa kali. Tubuhnya melayang pelan seperti secarik kain yang terbang terbawa angin.

Setelah beberapa detik, sang Magister kembali melirik Alma. Ia tersenyum.

Alma pun tersenyum haru. Bagaimanapun juga, sang Magister lah yang sudah seperti ayahnya sendiri semenjak ia berada di biara Ishtar ini enam tahun lalu.
Sebelum Magister Ulaf benar-benar kembali lenyap dari pandangan Alma, ia berlirih pelan bergema, “Sa-ma… el… darah… orang mati…”

Samael? Darah orang mati? Pikir Alma mengulang kembali ucapan sang Magister.

Alma segera berdiri dan mengambil buku saku tersebut seraya mencoba membaca tulisan darah sang Magister.

Tidak seperti arwah-arwah gentayangan yang entah sudah berapa tahun tersiksa, sang Magister yang baru saja meninggal meninggalkan jejak tulisan yang masih mudah terbaca, bahkan, ia meninggalkan lima halaman tulisannya.

Alma membacanya perlahan, ia menelan ludah.

Apa yang berada di buku saku tersebut adalah hal yang tidak pernah diajarkan dalam ajaran biara manapun. Apa yang sang Magister tulis dalam buku saku kecil tersebut adalah sama tabu nya dengan kekuatan yang Alma miliki.

Ia tidak tahu harus berbuat apa.

XXX

“Aku… dikutuk oleh Samael karena berusaha membebaskan beberapa tahanan korban santapannya di alam Cruor, alam seberang; dunia Ruparaga, alam sihir para dewa dan iblis. Pergilah dan temui seorang pemburu makhluk malam bernama Xiwenji di perbatasan kota kita. Aku sudah tahu kekuatanmu, Alma… dengan kekuatanmu itu… kumohon, selamatkan jiwaku yang terjebak kontrak abadi dengan Samael. Hancurkan Samael dan bebaskan jantungku… hanya… de…ngan… darah… orang mati…”

XXX

Setelah itu tulisan sang Magister terputus. Sepertinya kekuatannya telah habis namun, apa yang tertulis di sana sudah cukup jelas untuk mengetahui alasan mengapa roh Magister Ulaf sekarang berkeliaran di biara.

Alma tidak pernah mengira bahwa sang Magister telah mengetahui bakat ajaibnya dan ia pun sekarang tidak akan menyangka bahwa bakat tabu tersebut mungkin dapat membebaskan jiwa seseorang yang telah menolongnya selama ini… namun Alma masih tidak dapat mempercayai satu fakta tersebut…

“Samael? Alam Cruor… alam sihir? Jantung…” bisik Alma setengah bingung.

Inderanya seperti di serang puluhan informasi tanpa henti. Ia tidak tahu yang mana yang harus ia resapi terlebih dahulu. Semua kata-kata guratan darah tersebut masing-masing memiliki efek memabukkan seperti racun yang meresap masuk ke otak Alma yang biasanya cemerlang dan cekatan.

XIwenji…

Nama tersebut tiba-tiba terlintas. Dengan segera buku saku itu ia kembali letakkan di saku kanan.

Ia menarik nafas yang penuh dengan keyakinan.

Sang suster divisi pendoaan tersebut segera berdiri dan bergegas keluar dari menara sang Magister.

“Aku harus menemui Xiwenji ini… “ sumpah Alma pada dirinya sendiri seraya ia berlari turun dengan kecepatan yang jauh lebih gesit dibanding saat ia menaiki menara sang Magister.

to be continued..