KSATRIA MANTRA - BAB 5 - GUSTAF & SANG WANITA BAYANGAN


GUSTAF DAN SANG WANITA BAYANGAN

Tanah dingin yang keras dan basah adalah hal pertama yang Gustaf rasakan di pipinya ketika ia membuka kedua matanya yang terlihat berkilauan bagai emas redup tersebut.

“Ugh…” lirihnya lemas.

Suara rintikan hujan yang pelan bersahutan dengan suara gemerisik dedauanan bersimfoni meracau di sekitaran. Mendengungkan suara haluan angin yang tak tentu arah bergerak kesana-kemari.

Langit terlihat bercorak biru gelap beserta paduan awan-awan hitam menggulung bak ombak kala badai di lautan mulai menyisir.

Gustaf menopang tubuhnya yang basah dengan kedua tangannya seraya menahan berat yang dihasilkan oleh sebagian dari baju zirah hitamnya yang masih menempel di tangan dan kakinya.

Rasa perih di dadanya sempat ia lupakan sejenak namun, tepat saat dia sudah mulai bersimpuh dan mendongak ke langit-langit mendung tersebut, sang jendral perang menyadari kehampaan di dadanya tersebut.

“Aaaaaaaaaaaaah! Sial! Sial! Sial!” Gustaf mengutuk kepada sang cahaya.

Terkutuklah cahaya tersebut!

Giginya bergemeletuk menahan emosi, nafasnya terengah-engah dan ia berusaha mati-matian untuk tidak berteriak lagi seperti orang gila.

“Kh… Kha… Urgh…” lambat laun usahanya untuk berdiri sempurna telah tercapai. Kakinya yang masih berbalut besi hitam dapat menopang tubuhnya yang kokoh walau kadang terlihat sedikit bergetar.

Kedua mata keemasan Gustaf melihat keadaan sekitar. Tangan kirinya memegang lubang hampa di dadanya seperti hendak menutupi kemaluannya. Sesuatu hal yang akan membuat dirinya terlihat bodoh dan lemah di saat yang bersamaan.

“Umbra…” bisiknya pada dirinya sendiri.

Prodigium Aire, sang cahaya, berujar tentang dunia di mana Hadoth berada. Hadoth adalah iblis pemilik alam para bayangan, Alam Umbra di dunia Ruparaga.
Jadi benar, alam jahanam ini sungguhlah ada…

Gustaf tidaklah selalu hanya mengenal otot dan darah. Ia pun memiliki otak, ia beberapa kali memiliki minat untuk mempelajari gulungan-gulungan religius tentang dunia dan peperangan kuno. Walau sesungguhnya, kadang sang jendral memang lebih menyukai menebaskan pedang panjangnya melalui guratan-guratan tubuh musuh-musuhnya di kala peperangan berkumandang. Sensasi itu yang mencerminkan Gustaf.

Saat ia meyakini bahwa kakinya sudah mulai dapat berjalan, Gustaf tanpa berlama-lama segera menyusuri parameter alam Umbra dengan seksama.

Kepercayaannya terbangun kembali ketika ia sadar bahwa neraka itu ada dan Umbra merupakan salah satu daripadanya.

Sekarang Gustaf menyadari bahwa ia pun sedang berjalan-jalan di alam tersebut.

“Umbra… bayangan. He he he (tertawa pelan). Tidak kusangka aku akan masuk neraka secepat ini. Sialan benar wahai cahaya tersebut…” sindir Gustaf pada dirinya sendiri.

Hujan masih bermain-main dengan rintikannya. Ketenangan suara hujan dan sepoi-sepoi angin yang bercinta dengan pepohonan membuat suasana Umbra terlihat indah ketimbang mengerikan. Namun Gustaf berpikiran lain.

Keindahan tersebut dizolimi oleh sensasi was-was.

Ada seseorang disini…

Tentulah ada seseorang di alam ini. Neraka tidak mungkin kosong karena ada orang-orang sepertinya. Itulah pemikiran sang jendral perang.

Gustaf menghentikan langkahnya. Ia sadar bahwa ia ter’bawa’ ke alam ini hanya dengan apa yang ia kenakan sekarang. Pedang panjangnya, Hamletian, tertinggal atau entah kemana sekarang.

Namun Gustaf memiliki bogem mematikannya dan ia pun masih mengenakan sarung tangan besinya yang bergerigi. Sangguplah ia meyakini satu pukulan tangannya dapat merontokkan gigi lawan atau pun meremukkan tengkorak kepala jika ia berusaha dengan segenap jiwanya.

Dengan satu tarikan nafas Gustaf menutup mata dan mencoba merasakan aura kehadiran lawannya.

Kecepatannya… makhluk apa ini… hewan buas kah? Tetapi ritme nafasnya seperti manusia… wewangian ini… seorang wanita?

Kedua mata Gustaf terbuka dan segera berteriak kepada sebuah pohon rimbun berwarna kebiruan di samping kanannya, “Keluarlah wahai kau makhluk Umbra! Jendral perang ini tidaklah takut padamu.” teriaknya lantang.

Suara gesekan daun di atas pohon rimbun tersebut bersambut dengan dedauan biru yang berjatuhan. Selang beberapa detik, sesosok wanita muncul di hadapan pohon rimbun tersebut. Seluruh tubuhnya kelam bagai awan yang mengulung di atas kepala mereka.

“Hentikan langkahmu, wahai wanita bayangan. Katakan tujuanmu sekarang atau aku tidak akan segan-segan mematahkan lehermu saat ini juga.” tukas Gustaf. Jika saja sang wanita bayangan tersebut berasal dari kawasan Bhumiraga, terutama Hillgrande mungkin ia akan lari tunggang-langgang; Karena sebuah ancaman dari Gustaf merupakan hukuman mati absolut bagi yang berhasil dijamah oleh kedua tangan ataupun ayunan pedang sang jendral perang nan bengis tersebut. Namun… apa yang berada di hadapan Gustaf merupakan seseorang yang bukanlah Bhumiraga melainkan Ruparaga.

Alih-alih mundur, sang wanita bayangan malahan semakin mendekat, dengan gerakan anggun.

Lambat laun, tubuhnya yang kelam mulai menunjukkan keaslian dari kecantikannya. Kecantikan dari pendefinisian alam Umbra.

Rambut sang wanita bayangan berwarna hitam legam. Kulitnya biru keputih-putihan seperti perpaduan menuju abu-abu, diselingi dengan tatto-tatto tulisan yang nampak bagai guratan kasar bak rajaman kuku hewan. Tubuhnya dibalut dengan kain perca cokelat yang dililit berlapis-lapis disekitar dada dan pinggang ke bawah.

“Siapa dirimu, wahai penghuni Umbra?” tanya Gustaf sekali lagi.

Jika saja wanita Umbra ini tidak memiliki ‘keanehan’ Umbra tersebut, Gustaf pastilah ingin bercinta dan menjadikannya gundik di kastilnya. Namun keanehan itulah yang menahan akal sehatnya. Gustaf sadar bahwa wanita bayangan di hadapannya bisa jadi hewan buas yang menyamar. Kepercayaannya pun pupus perlahan sesaat menyaksikan wajah sang wanita bayangan. Kecantikannya tersamarkan dengan keraguan yang mengintimidasi. Kedua mata wanita Umbra tersebut berwarna kuning polos tanpa iris mata. Namun tanpa iris mata pun Gustaf sadar bahwa ia sedang diperhatikan dalam-dalam oleh kedua mata kuning tersebut.

“Salam, oh manusia Bhumiraga. Seharusnya kau… tidaklah berada di sini. Ini bukan alam-mu.” Sang wanita bayangan berjalan semakin mendekat. Kedua mata kuningnya tidak bergeming menatap wajah Gustaf yang masih tersamarkan tetesan hujan dan kotoran.

“Aku punya nama, wahai kulit biru. Namaku adalah Gustaf dari Kalmar.” balas Gustaf sembari mendengus.

“Gustaf dari… Kalmar… Kalmar itu… apakah Bhumiraga?” sang wanita berkulit biru itu menghentikan langkahnya.

“Bhumiraga… ya, itulah nama duniaku. Dunia para manusia. Sekarang katakan, siapa namamu, wahai makhluk rupawan Umbra?” sindir Gustaf.

Sang wanita berkulit biru tersebut menarik simpul senyuman tipis. Ia menganggap sindiran tersebut sebagai pujian. Senyuman tersebut menampilkan sekilas taring kecil di antara giginya yang nampak seperti manusia biasa.

“Mara… penjaga Hutan Air Mata Kelam. Penghuni Umbra selama yang aku bisa ingat.”balas makhluk yang bernama Mara terkesan sendu.

“Apa… tujuanmu kesini, wahai Gustaf dari Kalmar? Tuanku, Hadoth tidak akan senang dengan kedatangan makhluk Bhumiraga ke alam-nya. Manusia yang telah mati seharusnya langsung ke neraka. Ini Ruparaga, ini bukan neraka… ini…”

“DIAM! Aku belum mati!” potong Gustaf dengan kasar.

Mara terdiam.

Gustaf menyadari bahwa ia tidak bisa seperti biasanya jika berhadapan dengan Mara. Penghuni Umbra ini bisa jadi lebih berbahaya dari lawan-lawannya selama ini di dunia manusia sana.

“Maafkan aku, Mara dari Hutan Air Mata Kelam. Maksudnya, aku RA-SA… aku belumlah mati.” ujar Gustaf kali ini dengan nada yang lebih tenang.

“Tetapi sekarang kau di Ruparaga. Seseorang Bhumiraga yang tiba di Ruparaga dan nampak tersesat biasanya merupakan roh yang terlempar nyasar.

Mungkin sang Penjaga Gerbang Astral luput satu jiwa dari ribuan yang terlempar ke neraka. Mungkin kau salah satu dari roh malang tersebut.

“Kau tahu…” Mara nampak menelaah sesuatu dari tubuh Gustaf, “kami jarang menemui roh tersesat dengan aura kekuatan sepertimu, wahai Gustaf dari Kalmar. Ada yang ganjil mengenaimu. Aku merasakan…” Mara mengendus. “Aku merasakan daya sihir serupa seperti Tuanku Hadoth namun ini bukan sihirnya… Namun ini sihir dewa.”

“Sihir dewa?” Gustaf spontan mengulang dengan rasa ingin tahu yang lebih dalam. Ia mulai memahami sesuatu.

“Ya…tubuhmu… kurasa kau memang belumlah padam, namun auramu yang telah melesap musnah. Jiwamu diurapi oleh sebuah daya sihir dari Ruparaga namun bukan dari alam kekuasaan Tuanku Hadoth. Ada yang asing mengenaimu, Gustaf dari Kalmar. Dan karena keasingan itu, aku merasakan bahwa kau berbahaya bagi Umbra…”

Krrrrrrrahhh!!” Mara mengerang dan tak lama kemudian mengeluarkan suara seperti teriakan wanita kesurupan.

Tak perlu beberapa lama Gustaf menebak arti teriakan aneh tersebut.

Dari berbagai pohon biru di sekitar, muncul sosok-sosok bayangan hitam yang melesat dengan kecepatan tidak manusiawi. Ada sekitar enam sosok kali ini dan ia sadar bahwa sosok ini lebih besar dari Mara bahkan dirinya.

“Menyerahlah dan ikut denganku ke Istana Hadoth. Biar Tuanku yang menyatakan apakah benar dirimu tidaklah ‘pengacau’ di alam kami ini. Jika iya maka…kami akan membinasakan daripadamu dan… jika tidak, maka kau dipersilahkan untuk tinggal di alam kami, wahai Gustaf dari Kalmar.” Mara menarik nafas sembari kembali mengerang.

Ke enam sosok tersebut bergerak memutari Mara dan Gustaf di hutan tersebut.

Gustaf sebenarnya dapat dengan mudah menghajar mereka, secepat apapun mereka ia tahu bahwa, bogem besinya lebih mematikan dan tubuhnya dapat menahan segala macam serangan makhluk-makhluk Umbra ini…

Namun Gustaf kemudian berpikir hal lain… hal yang membuatnya tersenyum dan kemudian berujar manis pada Mara, “Akan kutunjukkan maksudku baik. Ajaklah aku ke Tuanmu, wahai Mara dari Hutan Air Mata Kelam.”

Mara mengangguk dan sekali lagi mengeram. Kali ini geramannya lebih panjang.

Sosok-sosok tersebut keluar dari kegelapan yang menyelimuti mereka. Tubuh mereka hampir serupa dengan Mara namun mata mereka semua ditutup dengan rantai berdarah.

“Usahlah kau pedulikan wujud prajuritku. Mereka akan menuruti kata-kataku. Sementara ini mereka tidak akan menyakitimu hingga Tuanku menyatakan demikian. Sekarang…” Mara berjalan lebih dulu  ke arah sebuah pegunungan tinggi berwarna gelap di depannya. “Ikutlah denganku dan bersikaplah baik… Gustaf…”

Akan kucari tahu daya sihir tersebut dan akan kugunakan untuk menghancurkan cahaya tersebut! pikir Gustaf.

 “Tentu… Mara…” Gustaf membalas sembari berjalan dikawal oleh keenam makhluk biru bawahan Mara tersebut.

Hujan masih dengan giat membasahi permukaan Umbra dan, sepertinya memang tidak akan pernah berhenti sampai kapanpun juga.

to be continued..