KSATRIA MANTRA - BAB 6 - RAGLAN & SANG PEMBURU VAMPIR


RAGLAN DAN SANG PEMBURU VAMPIR

Belati emas berbatu rubi di tangan Raglan merefleksikan beberapa obor api kehijauan di sepanjang jalanan berbatu yang dilewatinya.

Suara-suara mengerang masih terdengar berputar-putar, kadang kencang kadang sesayup seperti terbang kesana-kemari. Raglan masih tidak nyaman mendengar erangan-erangan tersebut. Bebunyian tersebut seperti imaji neraka baginya, namun ia pun tahu (ataupun belum begitu paham) bahwa negeri Cruor di Ruparaga ini bisa saja adalah merupakan manisfestasi dari mitos neraka di Bhumiraga-nya selama ini.

Tanah bebatuan nampak keras. Kadang akan terlihat bentuk-bentuk seperti ubin hexagonal berserakan di antara jalur berbatu tersebut.

Di pesisir jalan, beberapa bebatuan tinggi nan lancip menghiasi langkah Raglan. Jalur bebatuan lancip tersebut seakan-akan mengarahkan Raglan ke pagoda spiral di hadapannya.

“Sedikit lagi,” ujarnya sembari tetap memegang erat belati emas pemberian makhluk malam barusan.

XXX

Nouga anka!” tiba-tiba sebuah suara pria yang terdengar dari samping jalur setapak. Di beberapa bebatuan merah yang menjulang tinggi di antara letupan-letupan api kehijauan.

Oh tidak… makhluk Cruor lagi? desah Raglan.

Dengan segera Raglan bersiaga dan memasang kuda-kuda. Dipegangnya erat belati tersebut ke arah depan sembari tangan kirinya memasang tinju yang mengepal sangat keras.

“S-siapa?” tanya Raglan cemas. Ia memang bukan seorang petarung handal, ia hanya seorang petarung gladiator di Bhumiraga, seorang petarung yang selama bertahun-tahun tanpa pilih kasih menghantam orang-orang demi uang.

Namun pengalaman Raglan seakan-akan pupus karena ia tahu makhluk-makhluk di sini adalah mahkluk-mahkluk abadi penghisap darah yang dapat terbang dan bergerak gesit. Jika ia sekarang belum mati, mungkin itu karena Tuan negeri ini, Samael, sedang menunggui dirinya sekarang.

“Kau… berbicara bahasa Bhumiraga, apakah kau manusia?” balas suara tersebut, kali ini terdengar lebih bersahabat.

Bhumiraga? Manusiakah?

“Manusia? Ya, aku manusia. Tolong…uhm…tunjukan dirimu wahai tuan…” pinta Raglan.

Sesosok tinggi ramping bertopi besar bundar muncul dengan gesit, secepat para vampir yang Raglan temui barusan. Ia membawa sebuah tongkat emas kecil yang memiliki cincin-cincin yang bergemerincing walau digerakkan sebentar. Tubuhnya dibalut jubah biksu berwarna kuning dan merah. Ada beberapa kalung bulat kemerahan maroon mengitari lehernya yang tinggi.

“Siapa namamu, kawan? Sedang apa di alam terkutuk ini?” ujar sang biksu saat ia berhenti bergerak.

Raglan menyadari bahwa sang biksu mungkin hampir sama mudanya dengan dirinya namun ada kilatan jengot tipis di dahu lancip sang biksu, jengot tersebut seperti dengan sengaja dipelihara karena potongannya sangat ramping menurun seperti air terjun kecil.

“A-aku? Raglan dari negeri Selatan. Siapakah dirimu, wahai biksu? Dan jika boleh kutanya, sedang apa pula dirimu di sini?” Raglan mulai menepis ketakutannya. Ia sadar bahwa ia sekarang tidak perlu lagi untuk takut karena biksu tersebut adalah manusia dan, ia ternyata bukan satu-satunya manusia di alam nan merah ini.

“Halo Tuan Raglan dari negeri Selatan. Namaku adalah Xilongyu, seorang biksu perantau dari Kuil Empat Mata Angin dari negeri Timur.

“Aku datang ke alam ini untuk mencari ayahku atau…” ada keheningan sejenak sebelum ia melanjukan ucapannya, “setidaknya apa yang tersisa daripadanya…”

Raglan tidak begitu paham dengan maksud biksu bernama Xilongyu ini namun nada bersahabat tersebut membuatnya ingin merasa nyaman karena ia pun tidak mau sendirian di alam Cruor ini.

“Begitu rupanya, apakah kau dikirim oleh Prodigium Aire?” tanya Raglan penasaran.

“Prodigi… apa? Maaf, Tuan Raglan. Aku tidak pernah mendengar nama tersebut sebelumnya.” balas Xilongyu sopan.

“Kumohon… hanya “Raglan”.”

“Apa?”

“Kau memanggilku, wahai biksu muda. Kurasa umur kita tidak terpaut jauh. Kumohon panggillah aku dengan namaku saja.”

Senyuman Xilongyu terlihat di antara bayangan topi bundarnya. Ia kemudian mendongak dan memberikan keakraban di matanya yang kecoklatan. “Baiklah… Raglan.”

“Sekarang,” lanjut Xilongyu, “jika kau tidak keberatan, bolehkah aku mengetahui kehendakmu dengan berada di Cruor, Raglan?”

Raglan nampak berpikir. Ia tahu bahwa Xilongyu di hadapannya adalah manusia sebenar-benarnya namun, apakah ia dapat dipercaya.

Xilongyu menyadari sikap was-was tersebut, ia segera menunduk dan berujar, “Jika kau tidak berkenan bercerita, aku paham. Aku hanya ingin mencari ayahku saja. Apakah kau berkenan menemaniku ke pagoda spiral di depan, wahai Raglan?”

Raglan terkejut. Tujuan mereka sama. “Hei, aku memang mau kesana! Kurasa takdir membawamu ke sini, Xilongyu.”

Xilongyu tersenyum kembali.

Tanpa berbasa-basi, mereka akhirnya berjalan bersama.

XXX

Belum beberapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba muncul suara-suara erangan itu kembali. Kali ini erangan tersebut semakin jelas. Ada suara rantai terseret dan gong berbunyi sesayup seperti tenggelam dalam pusaran angin merah.

“Raglan, bersiaplah untuk sesuatu. Mereka tidak begitu cepat, langsung arahkan ke leher mereka.” Tiba-tiba ucapan Xilongyu membuat Raglan bergidik.

“H-hei… ada apa? Ada vampir liar?” tanya Raglan.

“Vampir? Cih… makhluk-makhluk ini lebih rendah… mereka adalah para roh pemakan jiwa korban yang dibunuh oleh para vampir keparat tersebut. Jiwa-jiwa padat yang mati namun tidak bisa menjadi vampir ataupun terlahir kembali. Ingat… arahkan senjatamu ke leher mereka.”

“Aku…”

Belum selesai Raglan bertanya, tiba-tiba muncul dua makhluk putih tinggi ramping dengan tangan yang panjang seperti tengkorak. Mata mereka membelalak merah menyala dan rambut kusam kekuningan mereka terkulai berantakan menutupi sebagian wajah remuk mereka. Kaki mereka sama tingginya namun tak lama kemudian mereka segera mengambil posisi seperti seekor harimau hendak menyerang.

Seringai senyuman bertaring menuntun Raglan untuk benar-benar mempersiapkan belati emasnya. Sementara itu Xilongyu membuka tongkat emasnya dan mengubahnya menjadi dua buah belati unik berukuran kecil.

“Jangan khawatir, mereka lambat. Berputarlah dan buatlah mereka berdiri lalu tusuk leher mereka, iris mereka!” Xilongyu dengan segera berlari ke arah dua monster pucat tersebut sembari berteriak kesetanan.

Raglan pun tidak mau kalah. Pengalamannya menjadi seorang gladiator akan ia tunjukan di sini. Di pemikirannya ia beranggapan bahwa mahkluk tersebut hanyalah dua orang jangkung yang berasal bukan dari negara manapun yang ia ketahui.

“Eaaaargh!” teriaknya saat Raglan berlari mengitari satu makhluk tersebut.

Erangan sang makhluk pucat yang berada di hadapan Raglan sangat mengiris seperti menangis namun, fakta tersebut salah karena setelah erangan perih tersebut, sang mahkluk pucat segera mencakar liar dengan kedua tangannya yang berjari-jari panjang ke arah Raglan.

“Sial.” Raglan terengah-engah. Ia hampir saja terkena cakar besar tersebut.

Menyadari kebingungan kawan barunya, Xilongyu segera berteriak. “Oh, ketika mereka mengerang, biasanya mereka akan segenap tenaga mengangkat tubuh mereka untuk mencakar dengan kedua tangan besar mereka, gunakan kesempatan itu untuk membalikkan tubuh mereka!”

Satu mahkluk pucat tersebut sedang bersibuk ria dengan dua belati Xilongyu tak jauh dari Raglan dan satu makhluk pucat yang sedang menatapnya kini terlihat semakin lapar.

“Baiklah, ayo, makhluk keparat! Mengeranglah lagi.” gertak Raglan sembari hati-hati berjalan kesamping. Sang mahkluk pun ikut-ikutan bergerak perlahan seperti harimau mengendap-endap sebelum menerkam.

Kuharapa Xilongyu tidak berbohong.

Mahkluk di hadapan Raglan kembali mengerang. Kali ini Raglan tidak mau ambil pusing lagi, ia mempercayai (ia harus mempercayai) perkataan Xilongyu.

Saat mahkluk tersebut mulai berdiri dengan kakinya, Raglan dengan sigap mendorong mahkluk tersebut ke belakang sehingga berperilaku seperti seekor serangga yang terbalik.

Raglan tidak mau berlama-lama.

Di balik erangan mencoba bangkit dan cakaran-cakaran liar tersebut, belati emas Raglan segera mengiris leher sang mahkluk sehingga semburat darah merah kehitaman menyebar ke penjuru area.

Gwaaaaaaaaaah! Teriak sang mahkluk sembari berusaha memegangi lehernya.

Xilongyu telah berhasil melakukan hal yang sama.

Kedua mahkluk tersebut mengerang kesakitan dan lama-kelamaan kelojotan dan akhirnya mulai kaku tidak bergerak.

Raglan menghela nafas.

“Tenanglah sobat. Mereka sudah mati.” Senyuman Xilongyu membuat Raglan menaruh belati emasnya ke arah belakang ikat pinggangnya.

“Syukurlah,” balas Raglan tenang.

XXX

Suara desiran angin masih terasa hangat dan pagoda tersebut semakin mendekat. Raglan dan Xilongyu kembali berjalan menyisiri jalan setapak sembari berbincang mengenai mahkluk-mahkluk Cruor. Raglan bahkan menceritakan tentang Katrina dan Madoc yang memberikannya belati emas dan juga tentang misi Samael.

Xilongyu terkejut, karena tujuannya ke pagoda tersebut memang untuk menemui Samael. Karena menurut kabar yang ia terima, Samael tahu keberadaan ayahnya.

Raglan menyadari sesuatu. Ia ingin mencoba membantu Xilongyu menemukan ayahnya.

“Hei, Xilongyu…”

“Ya?”

“Omong-omong, aku belum bertanya… siapa nama ayahmu? Siapa tahu nanti aku bertemu dengannya.” Ujar Raglan.

Xilongyu sempat terdiam. Ia melihat pagoda spiral di hadapan mereka sembari menghela nafas, “Namanya… adalah Xiwenji…”

to be continued...