KSATRIA MANTRA - BAB 7 - DIMANAKAH XIWENJI?


DIMANAKAH XIWENJI?

Dengan kuda cokelat milik Magister Ulaf dari istal biara, perjalanan Alma terasa sangat cepat. Ia hanya perlu melewati perbukitan di luar biara selama hampir dua jam.

Langit mulai terlihat mendung seakan-akan badai akan datang berpesta-pora merajam rerumputan dengan tetesan air nan dingin. Udaranya begitu sejuk, merasuk seperti dililit oleh pelukan peri-peri angin kasat mata.

Yang dapat Alma pikirkan hanyalah bahwa langitpun bersedih mengetahui nasib malang Magister Ulaf yang tidak dapat bergerak naik ke surga karena ulah seorang iblis bernama Samael tersebut.

Setelah sampai di perbatasan kota, Alma segera turun dari kudanya sembari membawanya mendekat ke pos perbatasan.

Ada sekitar empat atau mungkin enam prajurit kerajaan yang sedang bertugas di area sekitar pepohonan dan bilik pos yang nampak sederhana di hadapannya.

“Baiklah, Alma, bersikaplah seperti biasa.” ujarnya pada dirinya sendiri.

Didekatinya salah satu prajurit yang nampaknya sudah sadar akan kehadiran Alma di perbatasan.

“Salam, prajurit Istar.” Alma menyunggingkan senyuman.

“Salam, suster.” sang prajurit membungkuk hormat. “Apakah ada keperluan suster harus melewati perbatasan hari ini?”

Sebenarnya, melewati perbatasan merupakan hal yang wajar, setiap orang bisa saja melewatinya hanya dengan tersenyum dan mengatakannya pada sang prajurit agar mereka dapat masuk ke daerah perkotaan utama Istar. Alma sendiri sadar bahwa ia tidak perlu setegang ini hanya untuk berujar ingin masuk ke kota karena keperluan mendadak untuk bertemu dengan seseorang di dalam sana.

Namun ia sadar bahwa untuk mencari Xiwenji, ia harus meminta bantuan kepada salah satu dari mereka karena ia pun tidak tahu siapa ataupun bagaimana rupa Xiwenji tersebut. Satu petunjuk yang roh Magister Ulaf berikan hanyalah bahwa namanya adalah jelas-jelas seseorang dari negara Timur.

“Nona suster?” tanyanya lagi.

“Hei, bung… kurasa suster ini mau ke kota untuk mencari sesuatu atau seseorang, benar begitu?” Kali ini seorang prajurit mendatangi mereka berdua. Prajurit ini menggunakan baju zirah ringan berbahan perak yang sama, kepala mereka pun dihiasi dengan tudung besi kehitaman yang sama namun, sang prajurit yang ini lebih terlihat ramah dan pertanyaan yang ia berikan pun tiba-tiba membuat Alma berani mengutarakan hal yang sesungguhnya.

“Be-benar, a-aku. uhm… ingin mencari seseorang dari negeri Timur yang sangat penting untuk segera kutemui.” ujar Alma terbata-bata.

Entah mengapa namun Alma masih ragu untuk menyebut nama ‘Xiwenji’ di hadapan mereka, seperti sesuatu melarangnya demikian secara tidak sadar.

“Orang timur? Oh, para pendeta mistis dengan jubah-jubah unik lebar itu?” ujar sang prajurit kedua yang menyapa Alma.

“Oh yang itu… ada kemarin yang masuk sekitar beberapa orang. Kurasa kau bisa menemukan mereka, suster. Kurasa mereka sedang mencari seseorang juga. Hei Killian, kau sibuk?” ujar sang prajurit pertama.

“Baru selesai mengantarkan surat, kebetulan mau kembali ke dalam kota dan mengunjungi barak, sih.” ujar prajurit bernama Killian tersebut.

Alma kali ini menyadari sembulan rambut coklat ikal dari tudung besi Killian.

“Kurasa kau tidak keberatan mengantar suster ini ke dalam kota, jalur hutan mungkin aman tetapi hampir badai. Kau tahu lah bandit akhir-akhir ini…”

“Oke, dengan senang hati.” Killian menatap kuda Alma. “Kuda yang cantik? Apakah perlu suster ikut kuda saya dan kuda suster dititipkan di sini atau bagaimana?”

Alma melirik kuda milik Magister Ulaf. Warna surainya hitam kelam, panjang dan lembut. Kuda cokelat jantan dengan sedikit corak putih di bagian hidungnya. Ia tidak bisa meninggalkan kuda tersebut begitu saja walaupun para prajurit ini terlihat baik.

“Maaf, prajurit uhm… Killian, benar? Aku akan masuk ke kota menggunakan kuda ini saja.” ujar Alma sembari kembali naik ke kudanya.

Killian tersenyum dan melirik ke arah prajurit pertama. “Sudah kuduga. Tampang kita mencurigakan ya, Ben?”

“Bu-bukan itu…” balas Alma tidak enak hati.

“Ha ha ha, maaf suster, kami hanya bercanda. Baiklah…” Killian segera bersiul. Muncul sebuah kuda putih yang menawan dari balik beberapa pepohonan.

Pelana yang menempel di tubuhnya berwarna hitam dengan simbol empat lilin perak.

“Sepertinya hampir badai, sebaiknya kita bergegas, suster… uhm… siapa nama Anda?” Killian menaiki kuda putih tersebut.

“Alma… kumohon panggil aku Alma saja. Tetapi terima kasih atas kesopanannya, Tuan Killian.”

Killian tersenyum, “Kalau begitu, A…lma… panggillah aku dengan Killian saja. Adil bukan?”

Alma dan Killian tersenyum lalu menyentakkan kuda mereka.

Ben melambaikan tangannya di belakang Alma dan Killian yang sudah mulai berjalan memasuki teritori hutan yang menuju ke kota utama Istar.


XXX


Perjalanan melewati hutan sebelum memasuki kota utama Istar merupakan hal yang pernah Alma lakukan sebelumnya. Setidaknya setahun sekali untuk mendatangi misa akbar Hari Raya Pengakuan Rosiera di Istana utama. Kali ini, ia merasa canggung karena harus berjalan sendirian ke kota tanpa puluhan teman-teman biarawati Ordo Istar lainnya.

Setidaknya kesendiriannya kali ini dipupuskan oleh kehadiran Killian.

Killian tidak banyak bicara namun pandangannya yang tajam melihat parameter sekeliling membuat Alma terasa tenang.

Kecepatan kuda mereka cukup cepat sehingga belum setengah jam mereka terdiam dalam hentakan kuda dan tamparan angin pelan yang menyisir, gerbang kota mulai terlihat dari kejauhan.

“Alma, kita sudah hampir sampai.” ujar Killian sembari memelankan pergerakan kudanya.

Alma melakukan hal yang sama, “Ya, terima kasih atas kesediannya menemaniku, Killian.”

“Oke, “ Alma dan Killian mulai berkendara pelan di atas kuda mereka sembari tersenyum kepada dua prajurit di hadapan mereaka. Sebuah gerbang besar dengan pintu besi yang terlihat tinggi dan kokoh tidak ketinggalan berdiri megah menyambut mereka. “Apakah kau akan mencari orang Timur itu di dalam kota secara acak atau kau sudah tahu orangnya siapa?” tanya Killian.

Sepertinya aku bisa percaya padanya…

“A-aku sudah tahu sih siapa orangnya hanya saja…” ujar Alma. “Ya?” Killian mengerinyitkan dahi.

Alma tidak tahu penyebab ia tidak mau mengatakan nama Xiwenji di hadapan prajurit ini. Sebenarnya wajah ramah Killian membuatnya hampir mengatakan nama tersebut namun Alma akhirnya menutup mulut.

“Maafkan aku, Killian. Ini misi rahasia ordo kami. Aku sangat berterima kasih atas bantuanmu tadi tetapi kurasa kita harus berpisah.” Alma menggigit bibir bawahnya menahan reaksi apa yang akan Killian berikan.

Killian terdiam, menatap wajah sang suster di hadapannya yang terlihat gugup. Ia tahu ada yang tidak beres namun ia sadar bahwa itupun mungkin bukan urusannya.

“Baiklah Alma, aku harus segera ke barak untuk kembali bertugas. Apakah tidak apa-apa jika kau kutinggal di sini saja? Kau tahu benar mau ke mana bukan?” tegas Killian sekali lagi.

“Y-ya… aku tahu, kok.” senyuman Alma terlihat sangat tidak ikhlas, namun Killian hanya membalas dengan senyuman tulus. Ia mengeluarkan sesuatu dari balik kantong yang berada di pelana hitamnya.

Sebuah belati bergagang emas berhiaskan batu permata rubi.

“Bawalah belati ini, ini merupakan belati yang konon dapat mengusir roh jahat, ya… setidaknya kata prajurit-prajurit pensiunan yang aku temui, sih begitu.”
Alma agak ragu untuk mengambilnya, namun ia tidak bisa menolak kebaikan untuk kedua kalinya dari Killian. Ia segera mengambil belati yang ditawarkan tersebut seraya tersenyum dan menatap kedua mata Killian.

Biru bagai lautan…

“Terima kasih atas belatinya. Kuharap aku tidak perlu menggunakan, ya?” canda Alma seraya memasukan belati tersebut ke kantong kiri jubah biarawatinya.
Setelah yakin Alma akan baik-baik saja, Killian tersenyum untuk yang terakhir kalinya dan melaju kencang dengan kudanya setelah ia berteriak dan menghentakkan tubuh kudanya dengan gesit.

Alma melihat Killian perlahan-lahan tenggelam dalam horizon perkotaan. Sementara langit pun mulai bergemuruh pelan.

“Oh tidak… aku harus segera mencari penginapan.”

Alma menghentakkan kudanya dengan gesit, melewati pintu gerbang sembari berharap ia tidak akan kebasahan karena hujan deras yang pasti akan datang sebentar lagi.


XXX


Di hadapannya ada segelas teh melati hangat di sebuah cangkir tanah liat yang terukir indah. Hujan deras menderu bagai prajurit berbaris di atas genting-genting tempat penginapan Moliere dimana ia berada sekarang.

Meja-meja bundar bertebaran di sekitar ruangan kotak luas yang berisikan berbagai macam orang dari tua hingga anak-anak. Mereka sepertinya juga berlindung dari hujan deras.

Di sekitar Alma banyak suara-suara riuh namun hangat dan bersahabat. Suara gelak tawa yang kadang seperti petasan mercon dan juga suara tangisan anak kecil yang sepertinya ketakutan akan suara petir yang kadang muncul.

Di biara, tidak pernah ada keramaian seperti ini. Alma menyukai suasana hangat ceria ini. Seandaianya keceriaan ini ada di biaranya setiap hari.
Saat Alma hendak mengangkat cangkir tanah liatnya kembali, ia melihat sesuatu yang mengejutkan.

Sebuah poster orang buronan di salah satu pilar bangunan di dekat tangga.

Wajah tirus pria berambut hitam panjang dengan corak jubah kotak-kotak dan rantai yang tampak melilit tubuhnya adalah hal kedua yang ia perhatikan.

Hal pertama yang membuat Alma menaruh kembali cangkir tersebut dan segera berdiri dari bangku dan mendekati pilar di mana poster buronan itu berada adalah sebuah nama yang ditulis besar-besar.

“DICARI: XIWENJI KARENA PEMBUNUHAN”

“Apa?” Alma berteriak.

Entah bagaimana, tiba-tiba waktu tampak berhenti, secara harafiah.

Saat Alma mundur beberapa langkah, ia melihat semua orang di dalam bar penginapan nampak berhenti bergerak dari kegiatannya. Seakan-akan mereka semua membeku dalam waktu. Alma pun sadar bahkan suara hujan dan petir pun berhenti berkoar-koar.

“Demi Rosiera, a-ada apa ini?” Alma segera secara reflek memegang kalung daun di lehernya.

Ia mundur beberapa langkah lagi dan menyaksikan bagaimana beberapa cangkir tumpah berhenti bergerak jatuh dan bagaimana sibakan rambut beberapa pelanggan seakan-akan menggantung bebas di udara.

Alma megap-megap.

Tiba-tiba…

“Jangan takut, aku yang melakukannya. Mereka hanya aku perlambat.”

Si-siapa?

Alma membalikkan tubuhnya dan terkejutnya setengah mati.

Deskripisi poster buronan tersebut kini hadir secara nyata di hadapannya.

“Xiwenji?”

To be continued…