KISMET 01: Eyes of Innocent

Eyes of Innocent
Toshio Ishikawa
1988

“Anak perempuan berkimono lusuh sepangkal paha itu berlari-lari di taman, ia tersenyum dan mengajakku serta dalam lengannya yang mungil dan putih, tekstur rambut hitam lebatnya menambah suasana manis. Aku tak dapat melihat wajahnya, tetapi aku tidak takut, aku telah melihatnya sekian lama, bahkan setelah aku memasuki penjara ini sebulan yang lalu. Anak kecil ini selalu menemani, aku tidak peduli; hantu atau bukan. Ia selalu membuatku nyaman, gadis kecil berkimono lusuh itu adalah surgaku dalam kesepian yang mencabik tajam, kesadaran penuh yang terengkuh setiap saat aku tersadar dari mimpi—

mimpi yang mempertemukan aku dengannya, si gadis kecil manis berwajah tak jelas itu.”

TOSHIO perlahan-lahan membuka matanya. Secercah biasan mentari yang menyilaukan menembus terali jendela dan memberikan nuansa hangat di dalam selnya yang bernuansa suram.  Mampu melihat debu-debu dan partikel-partikel alam beterbangan lembut di cahaya tersebut merupakan salah satu hiburan bagi pria berumur 37 tahun bermarga Ishikawa ini.

Selang beberapa detik, setelah debu-debu dan partikel-partikel kehilangan daya magisnya, ia pun mulai berangsur bangkit dari tempat tidurnya yang berpetak kecil; dengan beralaskan seprai katun kuning pucat yang terletak di pojokan kiri sisi ruangan sel.

Tak! Tak! Tak!

Suara rentetan tongkat besi seorang sipir penjara yang dibunyikan kencang dengan cara diseret melalui bagian jeruji-jeruji sel telah membuatnya semakin terbangun, dan dari riuhnya dentangan tersebut, bahkan penghuni sel yang lain di Penjara Distrik Kanishima sepertinya ikut-ikutan terbangun malas. Entah apapun kejahatan mereka di masa lampau; entah mencuri, menipu, memperkosa, pengedar, hingga pembunuh, mereka semua serentak terbangun malas, mengeluh seperti sapi karena dentangan yang menyebalkan tersebut.

Penjara distrik Kanishima. Untuk sebuah negara kepulauan, Jepang memiliki beberapa fasilitas tersembunyi dan penjara ini adalah salah satunya—penjara yang dikhususkan bagi penjahat dan para kriminal tingkat istimewa pula, seperti Toshio.

“Ishikawa, Ishikawa Toshio! Bangunlah!” Suara parau seorang pria memanggilnya dari balik pintu sel yang agak dingin dan berkarat ini.

“Baik! Baik! Ada apa Sipir Reiji?” Aku menjawab malas.

Sipir Reiji adalah seorang pria setengah baya, dengan alis dan jenggot yang tebal; serta pandangan matanya yang selalu terkesan merendahkan orang-orang yang dilihat olehnya.

“Kepala Sipir menginginkanmu untuk bertemu seseorang hari ini, segera!!!” Ia berteriak seakan-akan Toshio berada jauh sekali dari hadapannya.

Klak! Ia membuka kunci sel Toshio.

Perlahan-lahan, dengan suara besi yang menderit, Toshio dapat melihat cahaya silau dari lampu-lampu neon bertegangan rendah yang bergantungan di atas langit-langit lorong penjara. Penjara empat tingkat ini terlihat kumel dengan ketegasan besi baja tebal berkarat yang nampak sulit terpenetrasi baik dari dalam maupun dari luar.

Saat mencoba membiasakan matanya dengan sinar yang menyerbak, Toshio menangkap gambaran sosok Sipir Reiji yang jangkung, sambil berlagak mengetuk-ngetukan tongkat besi ke tangan kanannya dan menyeringai kepadanya—seakan-akan semua orang yang berada di dalam sel adalah selalu seekor bangsat belaka dan sang sipir adalah seorang suci dan hendak menghilangkan diri mereka yang ia anggap sebagai aib dunia. Toshio benci pandangan itu. Ia dapat melihat Sipir Reiji melakukannya lagi, pandangannya, tidak dapat ditolerir. Sipir Reiji membenci Toshio.

Apa kesalahanku? Lebih dalam lagi, mengapa aku ada disini?Mengapa?

Dalam keheningan Toshio mencoba mengingat letak kesalahannya sehingga ia kini menjadi seorang penghuni tetap di Kanishima. “Apa? Apa yang telah kuperbuat? Hal itukah? Sepele. Aku tidak mengerti.”  gumamnya setiap saat ia hendak memejamkan mata untuk tertidur.

Yang ia sadari sebelum ia terlelap adalah fakta bahwa ia hanyalah membantu sebuah tahapan. Ya! Ibu Toshio mengajarinya. Ia mengajari Toshio semenjak kecil bahwa para anak perempuan seharusnya bermain-main di taman bunga, seharusnya mereka menunggu dewasa dan tak usah ke sekolah. Mengapa demikian? Karena sekarang, banyak sekali bahaya di jalan. Dan suatu saat, jika mereka melanggar  apapun aturan tersebut maka mereka akan mengalami nasib yang amat sangat buruk dan, Toshio hanya diarahkan untuk hanyalah sebagai penolong kaum para ibu yang telah mengalami hal-hal menyedihkan itu. Anak-anak perempuan mereka menjadi nakal dan pergi kesekolah; tidak bermain-main di taman seperti seharusnya—“Nakal! Nakal!

Toshio begitu kasihan dengan mereka, maka ia berusaha tegas membantu para ibu-ibu itu dalam menghukum para anak-anak perempuannya. Ya! Dengan sedikit hukuman mungkin akan mengobati kesedihan mereka yang terabaikan—malang dan sedih, jadilah Toshio sang pahlawan yang menghukum mereka.

Katakanlah padaku!!! Apakah… itu salah?!

Dengan sedikit abu, api dan dusta, Toshio selalu mengarahkan anak-anak perempuan kecil itu dengan busana kimono yang seharusnya mereka pakai dan mereka pun sehendaknya bermain di taman bunga. Seperti anak perempuan yang selalu menemaninya; anak kecil berkimono lusuh yang selalu muncul di imajinasinya yang damai. Hana, sesuai dengan ladang bunga tempat biasa ia bermain bersama dengan Toshio kecil. Bagi Toshio hingga sekarang, masih belum jelas siapakah sosok dari gadis kecil itu, ia pun tidak dapat melihat jelas wajahnya yang begitu kabur seperti lukisan cat air yang terkena thinner.

Tidak! Aku tidak takut pada Hana! Aku senang dengan keberadaannya. Suara tawa dan bola karet kecil berwarna merah, menggelinding di ladang bunga dan angin-angin semilir yang menggetarkan jiwa. Damai dan damai dan damai.

“Kali ini, sang Kepala Sipir ingin aku menemui siapa lagi, sih? Apa Ibu dari anak-anak itu? Yeah! Mungkin mereka mau berterima kasih seperti dua ibu yang kemarin aku temui?” ucap Toshio seraya berjalan bersama dengan Sipir Reiji menuju ruangan yang diperintahkan Kepala Sipir untuk didatanginya.

Rambut hitam urak-urakannya terbias sinar putih dan abu-abu. Kepala yang terbungkus rambut urakan tersebut terus-menerus asyik-masyuk menduga-duga tentang siapakah yang akan ditemui selanjutnya dalam nuansa keheranan ini.

Ada hal yang unik dari dua ibu yang Toshio temui kemarin saat pukul 03.45 sore kemarin. Cara mereka berterima kasih kepada Toshio, yang telah ia yakini sangat membantu mereka adalah… tidak biasa. Kedua ibu kurus pucat itu melempari Toshio dengan pena dan buku kecil seraya mengutuk keras-keras dengan beragam kata umpatan. Bahkan terakhir, yang ditakjubkan adalah bawah mereka menghadirat Toshio sebagai, ’Setan Terkutuk!’
Jadi, apa hukumanku terlalu berat? Malang sekali ibu-ibu itu. Aku mengasihi. Pikirnya.

AKHIRNYA Toshio pun sampai di sebuah ruangan tetapi, ia sadar betul bahwa ruangan dengan lapisan kertas dinding merah maroon ini bukanlah bangsal pengunjung. Ia tidak bodoh. Lagipula, suasana di ruangan ini lebih berkesan lebih rileks; sebuah kursi panjang coklat yang empuk tergeletak di samping sebuah meja berkaki pendek. Di atas meja tersebut ada segelas air putih (nampak dingin) dan beberapa kertas dan pena tinta.

“Mengapa Kepala Sipir menyuruhku ke sini? Siapa yang sebenarnya akan kutemui?” tanya Toshio seraya ia memasuki lebih dalam ke ruangan yang begitu kental dengan wangi pinus.

Pertanyaannya terjawab. Saat Sipir Reiji berbalik memunggungi Toshio, ia sesayup menyapa sesosok seorang pria yang terlihat lebih muda dari Sipir Reiji ataupun Toshio sendiri—kurang lebih berusia sekitar akhir 20-an. Rambut pemuda tersebut tersisir rapi ke belakang dan setelan serba hitam yang luar biasa bersih dan bergemilang memberikan efek enggan yang cukup indimidatif. Disertai kacamata berlensa bulat yang kecil, polos dan bertangkai jernih, seakan-akan ia tidak memakai kacamata sama sekali.

Pemuda elegan itu tersenyum. Sipir Reiji sepertinya sadar bahwa senyuman itu merupakan tanda bahwa ia harus pergi dari hadapan mereka.  Dengan pandangan yang mengintimidasi Sipir Reiji mengangguk dan dengan kekuatan yang cukup kokoh mendorong Toshio lebih dalam dan mengunci pintu dirinya dari luar bersama dengan sang pemuda elegan tersebut.

“Kendou-san, jika sudah selesai panggil saja aku! Aku ada didekat sel ini, ok?” suara Sipir Reiji menggema melalui jeruji kecil yang tertanam di pintu kebiruan yang menutup. Toshio masih dapat melihat lengkungan sipit mata dan alis yang tebal milik Sipir Reiji di sudut terali kecil tersebut. Menyengir dengan pojokan mata sipitnya.

Pemuda itu kemudian tersenyum dan mengganguk menandakan bahwa ia mengerti. Lalu ia melihat Toshio dengan senyuman yang sama.

Layaknya hewan buas yang memasuki kandang mangsanya, Toshio berjalan mengendap, mengendus dan melirik kiri kanan seraya ia memasuki ruangan itu. Sangat perlahan dan tenang. Warna kelam merah dinding beserta bau pinus masih saja menyeruak di dalam.

“Selamat pagi, Ishikawa Toshio? Benar?” Ia memulai pembicaraan dengan nada ramah.

“Basa-basi yang percuma,” Toshio menggumam. “Silahkan duduk di sofa ini. Ini… memang khusus untukmu.” Ia berbicara seraya mengarahkan tangan kanannya ke sofa empuk berwarna hampir semerah ruangan. Ramah. Itulah impresi pertama yang didapatkan dari pemuda elegan ini.

Tetapi, untuk apa Kepala Sipir membawaku untuk menemuinya; apakah untuk penyuluhan, atau pengobatan. Aneh, aku baik-baik saja, aku… 

Pikiran Toshio terhenti saat tanpa sengaja dengkulnya menabrak lengan kursi. Ia telah sampai di sofa itu dan segera duduk menyelonjorkan kakinya yang terbalut celana bahan biru muda, sama dengan warna bajunya yang memang satu setelan—seragam tahanan khas Kanishima. Ia tersenyum dan sekali lagi mengarahkan tangannya ke arah sofa itu dan tersenyum. Sepertinya ia mempersilahkan Toshio untuk merasa nyaman di sana.

”Tenanglah Tuan Ishikawa. Aku tidak bermaksud buruk.”

Toshio pun pada detik itu menjadi penurut! Selain ibunya, selain sang wanita kurus kering dengan wajah tirus mengerikan itu… tak ada orang lain yang bisa membuat Toshio sebegitu penurutnya.

Hebat! Pemuda aneh ini sungguh hebat! Matanya dan bahasa tubuhnya, mirip dengan Ibu.” Toshio diam-diam mulai mengaguminya. Pemuda elegan itu sekarang tampak lega, mata hitam dan agak bulatnya memberikan sinar hangat, sehangat mata Ibu Toshio.

“Baiklah. Kurasa sudah saatnya,” ujar sang pemuda tersebut sembari duduk di kursi seberang, sebuah kursi yang diperuntukan hanya untuknya (nampaknya). Ia kembali berujar pelan dengan ancang-ancang mengeluarkan nota kecil dan sebuah pena. ”Kenalkan, Nama saya adalah Dokter Kendou Hamashijou. Saya adalah seorang psikiater. Jadi, apa kau sudah mengira-ngira sedang apa kau dan aku disini, Tuan Ishikawa?” Ia kembali tersenyum, senyuman hangat.

Toshio menjadi merasa serba salah. “I-iya, kurasa… penyuluhan jiwa, kurasa itu maksudmu, dokter,” ia membalasnya dengan langsung. Kendou tertawa kecil, tawanya mencerminkan dirinya yang sepertinya energetik. Lalu ia segera menimpa, “Baiklah, kurasa kau benar. Tetapi, tolong! Jangan alamatkan aku sebagai seorang dokter. Aku… hanya seorang psikiater. Aku di sini hanya untuk menolong.” Ia berhenti tertawa.

Ada sebuah jeda.

Lalu ia merapikan kertas dan penanya yang ia pegang tadi dan mulai berkata kembali, “Kudengar kau punya sedikit masalah dengan anak perempuan. Jadi… ?”

Kendou melihat Toshio. 

Toshio tahu bahwa Kendou memahami sesuatu tentang anak-anak perempuan itu. Ia tahu sesuatu. Namun, apakah ia tahu semua? Apakah ia tahu tentang kehebatan Toshio; seorang ahli dalam mendidik anak, khususnya anak-anak perempuan yang tak mau menuruti ibunya? Setidaknya, dalam pemikiran Toshio, ia ingin tahu apakah psikiater muda di hadapannya benar-benar tahu akan sesuatu. Dirinya menjadi gemetar, Toshio hendak tersenyum. Lalu tiba-tiba membatalkan minatnya seraya berkata, “Apa aku akan ’diselami dan dipahami’ karena ini?” secara spontan iamengucapkan pertanyaan bodoh ini kepada sang psikiater.

Kendou menyengir. Toshio tidak suka senyuman itu.

“Ya, Tuan Ishikawa! Kau benar,” ia melihat Toshio dengan mata jernihnya, dengan kacamata berlensa polosnya. “Jadi, kau merasa hebat telah ’menolong’ anak-anak perempuan itu? Lebih dalam lagi, apakah kau merasa menjadi penolong bagi jiwa para ibu yang kau selami itu? Tuan Ishikawa… apa kau… mengerti sikap dan perilakumu yang sebenarnya berakibat apa?” Mata Kendou melirik Toshio dengan amat tenang, begitu beda dengan nada suaranya yang tajam saat ia menanyakan padanya pertanyaan-pertanyaan tersebut.

“Ya! Tentu saja, Tuan Kendou! Waktu kecil aku sangat…”

“Ah! Itu dia. Tuan Ishikawa.” Ucapan Toshio tiba-tiba terpotong oleh kata dan senyuman Kendou.

Kendou langsung mengeluarkan kalimat itu, kalimat yang nampaknya sudah lama ia ingin utarakan; semenjak dirinya memasuki pintu itu, bahkan mungkin sebelum dia benar-benar telah bertemu dengan Toshio. Toshio pun amat yakin bahwa sang psikiater muda di hadapannya telah menyiapkannya lebih daripada apapun. Ia lebih siap dan sergap dalam hal ini; melebihi acara televisi ber-rating tinggi, melebihi jadwal belanja mingguan, ataupun melebihi pasien-pasiennya yang lain. Dia yakin bahwa semua telah sang psikiater lupakan dan abaikan demi dirinya seorang.

Mengapa?

“Sekarang, masa kecilmu… Aku mau kita menelusurinya, Tuan Ishikawa. Jangan takut, ini tidak menyakitkan, tentu… jika kau memperbolehkan,” ia kembali memberikan senyuman sok bersahabat. Matanya tidak bergeming dari mata Toshio.

Toshio pun mulai terpengaruh. Bahasa tubuhnya mulai agak kacau. Canggung. Kendou mengukuhkan kedudukannya sebagai seorang psikiater andal dengan segera mengeluarkan sebuah senter kecil dari dalam jaketnya seraya ia bangkit dari kursi tempat ia duduk dan segera menuju sebuah saklar lampu. Ia mematikan lampu di ruangan ini.

“Apa ini?” Toshio bertanya keheranan.

Lalu Kendou duduk kembali ke kursi itu. Kini ia lebih merapatkan kursinya ke sofa yang sedang Toshio duduki.
“Sekarang… kau tahu sekarang apa yang akan aku lakukan sebagai seorang psikiater?” Ia bertanya.

Di balik remang-remang ruangan, sedikit cahaya dari luar yang dapat membuat Toshio melihat senyuman ramah psikiater ini, “Ya, kurasa. Apa kau… akan menghipnotisku? Membuat aku…tenggelam dalam alam bawah sadarku?” Toshio bertanya dengan sanggahan nafas yang pendek, dengan nada sedikit menghina.

Kendou tidak bergeming dengan nada tersebut. Ia hanya mengganguk.

”Baiklah.” ujar Toshio. Ia tahu apa yang harus ia lakukan berikutnya. Maka dengan segera, ia merebahkan tubuhnya yang kokoh ke sofa kelam itu, sofa yang memang disiapkan untuknya.

Kemudian, Kendou pun mulai menyalakan senter kecil tersebut. Sebuah sinar kuning dapat terlihat terbang-kesana kemari seperti kunang-kunang yang terjebak dan tak mau diam. “Baiklah, sekarang, Tuan Ishikawa, tolong kau perhatikan cahaya ini.  Kumohon, jangan terlalu tegang, santai saja, oke?”

Toshio menyanggupinya. Lagipula, tidak ada yang perlu ditakuti, apa salahnya? Tidak ada, bukan? Biarlah Kendou melihat kebenaran. Dengan alasan-alasan itupun akhirnya Toshio menurut kepadanya. Matanya dengan patuh segera mengikuti cahaya kecil senter itu melayang seperti orang idiot; ke kanan, ke kiri, dan ke manapun, terus diikutinya. Dengan santai dan tanpa ketegangan, seperti yang Kendou katakan. Perlahan, Toshio menjadi lemas dan rileks, kedua matanya mulai tak kuasanya untuk ditahan agar tetap terjaga.

Kurasa Kendou ini berhasil,” ujarnya takjub dalam hati.

“Santai saja oke! Aku juga masih baru dalam hal ini!” Ia sedikit melucu. “Sudah kuduga,” Toshio pun tertawa kecil dengan nada yang sedikit lemas. “Aku sangat terilham dengan kasusmu ini, Tuan Ishikawa! Aku…” Ia terus berbicara, tetapi Toshio benar-benar hampir tidak sadarkan diri.

Jadi, ia umpamakan kepribadianku ini sebagai, Kasus…” pikiran Toshio sudah tinggal selangkah lagi menuju ketidak kuasaan sebelum dirinya benar-benar tak bisa mendengar ocehan Kendou. Dan tak berapa lama kemudian, Toshio mendapati suara dengungan dan kegelapan total. Suara Kendou telah hilang. Begitu pula suasana ruang tadi.

###

LADANG bunga yang luas. Memberikan kecerahan dalam memori Toshio bagaikan sebuah siraman air hangat; segar dan terbuka. Ia berada di sebuah alam di mana dirinya masih bersama ibunda tersayang. Ibu yang baik; yang selalu mengajarinya tentang aturan seorang anak perempuan—walaupun ia seorang lelaki. Ya! Toshio adalah seorang anak laki-laki baik yang diilahirkan di sebuah desa kecil yang sebagian penduduknya adalah petani padi dan penumbuk jerami. Tetapi, Ibu, sang Ibu selalu mengajari dirinya, memberinya keleluasaan seorang anak perempuan. Ibu menyayangi Toshio kecil dengan selalu memperbolehkan anak semata wayangnya bermain-main di ladang bunga di sekitar rumah mereka yang tertata apik oleh genting jerami dan lantai tatami yang berwarna lusuh.

Sang ibu selalu memberinya baju kimono lusuh bekasnya, karena dulu keluarga mereka tidak begitu makmur. Toshio kecil menurut. Lagipula, jika Toshio kecil tidak menurut maka Ibunya akan menyalakan korek api dan menyulut kulit Toshio kecil.

“Toru-chan! Kemari!”  Panggilan kecil sang ibu jika sedang marah. Di saat nama itu tersebut maka ia akan segera berlari dan bersembunyi di gudang jerami tua, bersama dengan bola karet merah pemberian mendiang ayahnya yang tewas saat perang. Ia akan selalu merangkulnya, menekannya ke perut dan muka; seakan-akan mencoba menahan nafas dengannya—Toshio kecil ingat bahwa ia beberapa kali mencoba untuk mati, namun ia takut. Ibunya bisa menjadi iblis, Ibunya bisa juga menjadi malaikat. Tergantung.

“Sekarang, Tuan Ishikawa! Apa kau ada di mana kau seharusnya berada?” Suara Kendou tiba-tiba tersiar. Entah bagaimana, Toshio seakan-akan telah tertarik keluar dari teritorial ladang bunga dan gudang tempat ia bersembunyi itu. Yang ia lihat hanyalah bayangan-bayangan berwarna-warni dan buram. Matanya berair. Ia mulai sadar bahwa ia sedang dalam keadaan terhipnotis!

Jadi inikah rasanya? Toshio terheran namun kagum.

“Tuan Kendou! Dimana kau?' ia berteriak di balik awan berkabut dan suara-suara gaduh tangisan yang Toru-chan buat, meringis dan sembunyi dari ibunda tersayang.

“Di ladang di mana Hana berada!” Ya! Hana, gadis kecil yang selalu menemaninya itu—sesuai dengan bunga, ladang bunga yang indah, seperti dirinya dan Ibu.

“Hana? Tuan Ishikawa… Siapa… Uhm… Sudahlah! Lupakan itu, sekarang kau berada di mana?” Suara teriakan Kendou terdengar kalut.

Toshio tidak menjawab.

Bukan! Bukan karena ia tidak tahu dan tidak mau. Tetapi ia terhenti, mulutnya terkunci rapat. Ia melihat Toshio kecil sedang disiksa dengan korek api oleh sang Ibu, melebihi yang biasa, melebihi dirinya ketika menghukum anak-anak nakal itu.

“Ibu?” Toshio membelalakkan mataku. “Tidak mungkin! Aku tidak ingat ini, kapan? Tuan Kendou!!!” Toshio berteriak cemas memanggil namanya.

“Ini… Ini pasti ulahmu, Tuan Kendou! Bangunkan aku sekarang! Bangunkan!!!' Toshio berteriak marah. Kurasa amarahnya pun terdengar melalui alam bawah sadar yang Kendou atau mungkin, dirinya ciptakan.

Ibu tidak mungkin begini, tidak mungkin! Ibu tidak pernah menyiksaku, Ibu sayang pada Toshio kecil!

“Ba-baiklah Tuan Ishikawa! Tenang!” Suaranya terbata-bata dan ling-lung. ”Sekarang tenanglah. Bayangankan tempat yang kau berada sekarang menjadi sepi. Hanya ada kau dan kau seorang. Tuan Ishikawa, tariklah nafasmu dan rasakan energi negatf keluar dari tubuh melalui udara itu; perlahan dan pelan,” suara Kendou yang cemas itu Toshio turuti dan, dalam hitungan detik, dirinya telah kembalim tertarik keluar dari dalam labirin kegelapan. Toshio kembali merasakan tubuhnya yang sedang terbaring lemas di sebuah sofa.

“Sekarang, kau boleh membuka matamu…” Suara Kendou yang tenang membuat mata Toshio terbuka perlahan. Ada rasa amarah. Kendou mencoba menipu memori Toshio kecil. Tetapi Toshio dewas terlalu letih, sangat letih.

Maka—

“Kendou-san. A-aku mau… kembali ke selku, sekarang,” suaranya melemah, beda dengan hatinya yang membara. Lemas.

“Baiklah, maafkan aku Tuan Ishikawa, mungkin lain waktu. Ya! Mungkin lain waktu.” Lalu Kendou bangkit dari kursinya, menaruh nota kecil dan penanya ke meja di hadapan mereka. Ia segera menuju ke pintu sel dan mengetukkan jemarinya ke pintu besi tebal itu tiga kali. Tidak beberapa lama, pintu terbuka dan Sipir Reiji dengan tampang bengisnya kembali menghiasi langit penjara yang masih agak gelap dan sayu.

Kendou sepertinya lupa menyalakan lampu sesaat ia menyelesaikan sesi tadi. Mata Toshio masih mencoba membiasakan cahaya lorong penjara Kanishima ini yang agak lebih silau. Sesaat sebelum dirinya diangkat dan dibawa Sipir Reiji, diam-diam Toshio mengambil pena Kendou yang tergeletak di meja pendek tersebut.

Entah mengapa, Toshio hanya ingin mengambilnya, seperti ada kuasa yang menyuruhnya melakukan hal yang demikian.

Sipir Reiji mendorong Toshio yang masih terlihat lemas  ke arah lorong dan tersenyum pada Kendou. Ia tidak sempat berpikir atau mencurigai apa sipir brengsek itu juga mencoba mengacaukan memorinya itu. Entahlah! Yang Toshio inginkan sekarang hanyalah beristirahat. Tidur.

Sekilas Toshio membalikkan wajahku ke arah Kendou.

“Aku… tak mau melihatnya lagi Sipir Reiji.” Toshio berkata pelan seraya berjalan melalui lorong ini kembali. Sipir berjanggut itu hanya menaikkan alis kanannya dan menggumam. “Terserah.”

Baiklah… aku juga terserah.

###

KEMBALI di dalam sel. Mata Toshio nampak sayu dan kepalanya pun pusing. Baginya, semua kini menjadi tidak waras. Setelah sesi dengan Kendou, ia yakin betul bahwa dirinya masih melihat Hana yang berkimono lusuh itu di dalam selnya sekarang, tersenyum. Kini matanya sangat jelas. Ia dapat melihat mata Hana yang kecil dan penuh penderitaan. Mata yang sama pada anak-anak perempuan yang dirinya hukum dengan adil itu. Tetapi apakah Toshio benar-benar adil seperti ibunya?

Ibu? Apakah ia adil padaku. Resah pikirannya.

Kimono anak perempuan yang terpakaikan oleh Hana dalam mimpi Toshio itu—anak perempuan yang sekarang masih memandanginya dengan tatapan suci dan perih. 

Kimono itu… milik Toshio kecil. Bola karet merah yang selalu ia mainkan dalam mimpi itu… itu bola pemberian mendiang ayah Toshio. Tetapi, suara-suaranya untuk menghukum para anak-anak perempuan. ”Itu bukan ibu! Itu adalah Hana!” Anak kecil perempuan yang baik dan tak jelas wajahnya…

Tidak! Sekarang jelas. Sangat jelas. Matanya yang kecil itu adalah sama dengan mataku. Aku…

“Mari bermain!” Hana kembali bersuara dalam sel sempit tersebut.

“Di mana ladang bunga kita Hana?” Toshio bertanya sambil duduk membaringkan pundaknya ke dinding sel yang kumuh dan dingin seraya melihat langit-langit sel yang kebiru-biruan kelam.

“Ladang… bunga? Dasar tak tahu terima kasih! Mengapa kau lebih menikmati bunga ketimbang aku! Aku! AKU!” Hana pun akhirnya bersuara. Suaranya seperti seorang anak perempuan yang polos, suaranya seperti anak perempuan yang baru saja menangis tetapi kemudian ditahan.

Toshio terkejut.

Hana marah? Suaranya bergetar marah, seperti ibunya disaat ia hendak membakarku…

”Membakar…ku?” ujarnya pelan seakan-akan mencoba menelaah kembali ucapannya.

Tidak! Ibu tidak pernah mencoba membakarku! Tidak!

Toshio menutup kepala dengan kedua tangan. Dia merasakan gatal pada kedua lengannya.

Oh! Luka itu, luka ketika aku kecil dulu saat aku terjatuh dari kereta jerami. Itu hanya luka biasa.

“Luka biasa apa? Bodoh! Itu karena dia, Dia! Dia! Bodoh!!!” Hana kembali berteriak, berteriak di sel sempit ini.

“Diam! Diamlah Hana! Kau membuatku gila. Hana, kau…” Toshio mencoba menatapnya. Mata itu. Ia melihat kesedihan, kesedihan yang sama saat Toshio mencoba kabur dari Ibunya.

“Tunggu! Mengapa aku mencoba kabur? Mengapa?”

Pikirannya mulai kacau seperti menyaksikan potongan-potongan film murahan grindhouse…

Lalu, semuanya pun menjadi sepi. Hana hilang! Hilang begitu saja.

###

TOSHIO merebahkan tubuh kembali ke tempat tidur kecilnya. Merangkulkan kedua lengan ke dadanya lalu meringis. “Dingin! Ibu! Aku kedinginan, berikanlah aku kehangatan, khas dirimu yang berkuasa…” Ia melihat sekilas ke arah terali besi pintu sel. Tertegun.

Aku telah menghukum para anak-anak nakal selama ini, dengan cara yang benar. Aku tidak salah! Tetapi Ibu yang salah! Ibu salah mendidikku. Semua Ibu! Semua…

Segera Toshio mengeluarkan bolpen Kendou yang diam-diam tadi telah ia ambil. Sebuah pena merah dengan tombol perak yang bila ditekan akan keluar ujung penanya. Diangkatnya tinggi-tinggi sehingga bagian perak itu memantulkan cahaya lampu lorong dengan seksama.

Tombol itu ia tekan sehingga keluarlah ujung penanya yang lancip. Toshio bangkit dari tempat tidur. Lalu segera berdiri menuju ke sisi dinding yang bersebelahan dengan tempat tidurnya yang lusuh.

Dengan segera pena itu ditekannya tajam dan keras ke dinding—begitu keras hingga siapapun bisa merasakan derit dan suara menggangu yang ditimbulkan oleh gesekan-gesekan antara pena dan dinding semen tersebut.

Toshio mencoba marah, tapi dirinya tidak mau berteriak! (Aku tak mau dianggap gila oleh sipir-sipir Kanishima.)
Maka, ia hanya bisa melakukan hal ini; ia akan melampiaskan kemarahannya pada dinding ini, pada pena ini.
Pada aku dan pada semua.


To Ru-cha n Ben… CI! OkA-San… ToRu-ch an… Benci…  Ib… U Matila… H Ibu
Mati… ibu ma… ti!!! To… Kio ingin Ibu mati!!!


Beberapa guratan kasar telah dibuatnya pada dinding sel ini. Beberapa guratan yang dibuat tanpa sadar dan terjaga. “Siapa yang melakukannya? Apakah ada orang lain selain aku di dalam sel sempit ini?” Toshio linglung mencari-cari kesana kemari. “Penyusup! Keluarlah kau!” Ia berteriak histeris. Toshio berteriak dan terus berteriak.

“Hana! Pasti Hana! Anak nakal!” Ia mengumpat kesal. “Brengsek kau Hana! Matilah kau! MATI!!!” sekali lagi berteriak.

Hana muncul dan Toshio segera menusuk-nusukkan ujung pena itu ke arah tubuh mungil Hana. Mata Hana yang serupa dengannya.

Mata Hana—ia bukan temanku dalam kedamaian! Dialah penyebab aku menghukum anak-anak itu dengan salah! “Aku tidak mendengarkan Ibu! Aku salah… Hana! Kau salah! Hana!”

Dengan histeris, Toshio terus menghantam tubuhnya bertubi-tubi dengan cabikan pena merah itu. Darah mengucur dari dalam tubuh Hana. Kimono lusuh itu bernoda darah dan bercampur dengan tangisan; bukan Hana, tetapi Toshio. Ya! Toshio kecil, Toshio kecil tiba-tiba mencuat bak kupu-kupu dari tubuh remuk Hana, Toshio kecil memeluknya.

Toshio menyeretkan pundak ke arah dinding seraya menangis.

“Toshio-chan! Maafkanlah aku, aku salah selama ini! Maaf!” Ia menangis. Dan Toshio sadar, bahwa dia sendiri adalah contoh yang buruk dari seorang Ibu yang salah mendidik anak-anak.

 Jadi… Setan Terkutuk adalah benar apa adanya—adalah aku, adalah Ishikawa Toshio…

Hal terakhir yang ia ingat sebelum terlelap adalah noda lengket kemerahan di sekujur tubuhnya dan lampu sel yang remang-remang mati-nyala sesuka hati. Setelah itu, semuanya hanyalah gema dan ladang bunga dengan angin semilir pelan dan wangi air tanah.

###