KISMET 02: Masterpiece Grandeur

Masterpiece Grandeur
Van Kasper
1991

HARUMNYA bunga melati dalam hembusan angin kota Amstredam telah membius lengah sang pelukis yang pendiam dan tak banyak bicara.

Van Kasper. Seorang pemuda dengan lengkungan senyum yang menawan. Alis tebal bersudut tajam. Rambut yang terpotong rapi dan bergaya spikey; selalu tampak sempurna dan tak pernah berubah. Dan tak ketinggalan, mata yang hitam dan mencerminkan kepolosan sejati seorang pria, yang semasa hidupnya hanya “bercinta” dengan kuas dan cat minyaknya dalam keindahan dan halusnya sebuah kanvas.

Era tahun 1990-an telah dimulai, dan pemuda Belanda yang tegap dan berambut hitam pekat ini merayakannya dengan telah melukis sebuah mahakarya dahsyat yang kemudian orang kenali sebagai, “Janda yang Melayang”.

Bila ada seseorang yang menanyakan kepadanya mengapa ia menamakan lukisan itu adalah, “Janda yang Melayang”, ia pasti akan menjawab, “Itu semua adalah inspirasiku, dan kau tak perlu ikut campur. Lagipula kau bisa lihat sendiri bukan; keindahan lukisan itu… hidup dan penuh sarat dan makna.”

Memang benar, lukisan itu sendiri memang agak ambigious dan walaupun demikian. Lukisan tersebut telah mengundang banyak decak kagum. Sebuah mahakarya yang mencerminkan tentang kematian. Kematian seorang janda yang nampaknya mati tergantung.

Van Kasper sangat hebat dalam meletakkan posisi sang janda tersebut; hanya dengan memberikan gambaran tubuh dan kakinya saja yang melayang di atas permukaan kayu yang rapuh. Ia tak memberikan gambaran bahwa janda malang ini diikat dengan tali dan digantung. Tidak, ia bahkan tidak memberikan wajahnya—hanya tubuh dan kaki yang melayang. Dapat diduga bahwa, nama “Janda yang Melayang” adalah berasal dari sana.

Dan sementara, dalam beberapa bulan setelah para khalayak pemerhati seni telah mengetahui lukisan mencenggangkan Van Kasper tersebut. Pemuda bergaya elegan ini mengasingkan diri ke sebuah rumah besar tua yang biasa ia sewa saat sedang mencari sebuah inspirasi atau ketenangan yang ia perlukan demi inspirasi itu sendiri.

Ia sudah merasakan penggap dari para penggagumnya dan suara-suara pujian yang sama sekali ia tak perlukan. Ia hanya ingin tahu apakah semua orang mengerti akan lukisan itu.

Dan sekali lagi, setiap kali ada yang bertanya; apa arti lukisan itu, ia akan tegas dan sedikit tersenyum menjawab, “Pembebasan yang sesungguhnya, tetapi sayang, aku belum bebas. Apakah kau sudah merasa bebas untuk menjadi diri sendiri?” Pertanyaan yang dibalas dengan pertanyaan. Sang pemuda pendiam ini memang pandai memainkan kata dan pikiran. Oleh sebab itu, kesepian selalu merundungnya dalam hal apapun.

Tetapi, itu bukanlah masalah baginya. Ia hanya akan tertawa dengan masalah tersebut. Van Kasper adalah seorang yang tegar. Dan ia kini dapat menjadi lebih tegar. Terutama dalam rumah besar yang sepi ini. Ia sudah tenang dalam mencari jati dirinya. Kebebasan yang ia impikan yang selalu ia pertanyakan pada setiap orang; semuanya dalam pemikirannya dan dalam pencariannya itu, ia tuangkan dalam seni dan tumpahan cat dan guratan kuas yang tak bimbang dan tak ragu.

Demikian ia telah berbuat dan hasilnya adalah selalu baik. Sempurna penuh.

Hari ini adalah hari terakhir dari bulan ketiga di mana daun-daun telah bersemi dan kicauan burung-burung mulai tersiar kembali. Van Kasper seringkali memandang jendelanya yang polos dan tak berkaca. Ia memperhatikan tirai linen yang menyertai daun jendela yang melambai itu—bagaikan menari mengikuti irama angin. Pandangannya selalu terpana, mata hitam pekatnya itu selalu membuat sebuah khasiat menggoda bagi setiap orang, pria ataupun wanita.

Tak hendak, ketika ia tersenyum, tangannya mulai kembali bergerak dan memegang kuasnya yang panjang dengan usapan yang halus dan penuh resapan. Van Kasper telah mendapatkan inspirasi untuk lukisan berikutnya. “Aku… akan memberikan keindahan rumah tua ini sebagai pengingat tetap akan kehadiranku disini.” Maka, ia segera mengguman dan bernyanyi pelan. Pelukis muda itu sangat menggemari bersenandung seraya ia melukis. Bagaikan nada-nada yang ia lantunkan tak gubahnya adalah irama dari tangan dan kuasnya yang bergerak mengalir melalui guratan-guratan indah dari apa yang ia berikan pada kanvas kosong tersebut.

Pohon, angkasa biru, burung, dan dedauan hijau yang berterbangan seakan-akan telah ia tangkap dan ia jadikan abadi dalam kanvasnya. Bergemilang dalam keindahan. Sang pelukis yang tak mudah mengakrabkan diri ini sekiranya telah menemukan tambatan hati, ketika ia selalu menemukan keindahan dalam lukisannya. Satu kata untuk melukiskan kegairahannya setelah selesai melukis sesuatu; kepuasan. Kepuasan yang benar-benar ia nikmati sehingga ia bisa tersenyum dan memberikan pada sinar mentari, senyuman menawan, yang melebihi daripadanya.

Tok! Tok! Tok!

Dalam kenikmatannya yang tak terusik, pemuda yang menggemari warna hitam dan oranye ini tiba-tiba mendengar suara ketukan dari balik pintu besar yang membuat seluruh ruangan di rumah besar nan kosong ini bergema layaknya orkestra dengan genderang perang. Ia begitu terusik sehingga guratannya ia hentikan.

“Sial! Siapa yang membuatku terganggu? Siapa yang begitu bodoh untuk menganggu momen bersejarahku ini” Ia berkata seraya bangkit dengan ekspresi malas di wajahnya yang putih dan menawan.

Ia melangkahkan kakinya yang berbalut celana khaki berwarna gading menuju pintu masuk utama. Van Kasper sudah terbiasa dengan pemandangan besar rumah ini; yang berisi dengan patung-patung para dewa-dewi perang Yunani, lukisan-lukisannya yang ia kurang begitu sukai, dan beberapa pajangan-pajangan jubah besi jaman medieval yang ia sangat gemari dan inilah yang biasa menyebabkan uangnya cepat sekali menyurut. Van Kasper, sang pelukis, sangat menyukai pelelangan barang kuno. Dan di sanalah segala dosa ia tumpahkan. Segala macam keindahan yang menurutnya berguna dan memiliki jiwa, ia akan segera beli. Tetapi, keindahan itu hanya sementara. Para pajangan-pajangan malang itu segera kehilangan cahayanya dari mata sang maestro setelah dua atau tiga hari. Ha! Sang maestro muda juga orang yang cepat bosan akan apapun. Serba tak terkira.

Tok! Tok! Tok!

Suara pintu itu seakan tak berhenti menganggunya.

“Iya, baiklah! Sabarlah bagi siapapun di sana.” Ia segera berjalan cepat.

Segera, Van Kasper membukakan pintu kayu tersebut dengan tangannya yang halus bak wanita itu.

Seorang pria gemuk dan agak tua nampak di hadapan Van Kasper. “Ah! Tuan Van Kasper?” Ia tersenyum dan segera masuk ke dalam rumah itu tanpa permisi. “Wah! Rumah yang menawan. Hebat sekali kau Tuan, bahkan dalam pelarian pun kau memiliki selera yang tinggi.” Ia tersenyum sinis seraya menepuk pundak tegap sang pelukis muda tersebut.

“Maafkan kekasaranku Tuan, tetapi apakah anda ada keperluan karena… saya sedang tidak ingin menerima tamu. Saya…” Ucapan pelukis menawan itu terhenti tiba-tiba saat ia melihat si tamu tua tersebut menjentikkan jarinya dan ia menunjuk ke arah pintu masuk. Tak lama, nampak dua orang wanita muda—sepertinya hampir seusia dengan Van Kasper. Sang pemuda itu segera terkesima akan kecerahan dan kepolosan dari wajah dan baju yang mereka pakai. Begitu sopan dan begitu… bermartabat.

“Ah! Tuan Van Kasper! Perkenalkanlah. Ini kedua putriku. Gregoria,” Gadis yang di sebelah kanan tersenyum seraya merapikan tatanan rambut coklatnya yang panjang. “… lalu yang di sebelahnya adalah Javinna.” Gadis yang nampak lebih muda dengan tipe rambut yang sama segera tersenyum nampak bersahabat.

Sang pelukis segera tersadar dari kekagumannya.

“Tuanku, aku tanya sekali lagi. Apa maksud kedatangan anda? Dan maaf sekali lagi bukan aku tidaklah sopan.”

Sang tamu tua itu tersenyum dan segera memberikan tanda kepada kedua putrinya itu untuk segera masuk. “Ah! Betapa bodohnya aku. Aku telah lupa memperkenalkan diriku. Namaku… Baron Deswitch LeFormale. Tapi, panggillah aku dengan nama LeFormale saja, lupakan gelar Baron itu.”

Baron itu tersenyum.

Sial! Tidak sopan sekali mereka. Masuk begitu saja tanpa permisi, aku…” Sang pelukis itu mengguman kesal dalam hati.

Tiba-tiba Van Kasper merasa tertepuk pundaknya oleh seseorang. Ia membalikkan wajah. Munculah kedua putri itu di hadapannya.

“Maafkan kekasaran ayahku tuan. Kami di sini sebenarnya hanya ingin meminta tolong kepada anda.” Gadis muda yang bernama Gregoria itu mendekati sang maestro yang nampaknya terlihat jelas kekesalannya. Van Kasper melihat wajahnya. Ia tertegun.

Luar biasa. Wajah yang putih dan mata yang bagaikan sebuah boneka porcelain. Ah! Aku… ingin mengabadikan mereka. Ya! Aku ingin!

“Tuan Kasper…” Javinna menepuk pundak Van Kasper dan segera ia tersadar dari pemikirannya.

“A-ah. Ada apa?” Nada Van Kasper menjadi agak linglung.

“Ah, maaf. Kami sebenarnya hanya ingin…” Ia melirik ke arah Gregoria, “Dilukis.Ya! Kami hanya ingin dilukis.”

“Di-lukis?” Van Kasper bertanya dengan nada heran.

Segera Baron itu mendekatkan dirinya ke arah sang maestro seraya membawanya ke dalam rumah setelah ia menyuruh para putrinya untuk menutupkan pintu. “Ah Tuan Van Kasper. Aku begitu kagum dengan hasil karya-karyamu. Terutama, lukisan… apa itu, 'Janda yang Melayang' atau apa ya?” Ia memberikan tanda kepada Gregoria dan Javinna untuk segera mengikuti mereka.

Sang maestro tertegun. Kali ini bukan karena kesal. Melainkan karena ia tergoda. Tergoda untuk melukiskan keindahan para gadis-gadis keluarga LeFormale itu. Dan gairah yang ia rasakan; bukanlah nafsu ataupun birahial. Tetapi keinginan. Keabadian yang bisa ia ciptakan hanya dengan berbekal cat dan kuas. Mata Van Kasper berbinar dan memberikan sinar cerah dan begitu membara. Ia sudah melupakan sang angin, angkasa biru dan burung-burung yang berterbangan itu; ia sudah melupakannya dan ia tinggalkan di kanvasnya yang bening dan setengah penuh itu. Ia sudah tak peduli. Ia sudah tak ingat. Sang pelukis itu hanya ingin mengabadikan kepolosan dan perasaan kedua wanita itu dalam tangannya melalui darah sang kanvas. Maka ia segera berkata…

“Tuan LeFormale, aku… ingin melukis mereka. Segera—”

Sang Baron tersenyum; begitu pula kedua putrinya.

Dan di saat ia menanyakan tentang bayaran, dengan tegas Van Kasper menyatakan, “Tidak! Tidak usah kau membayar. Aku tidak perlu uang. Aku hanya membutuhkan kedua putrimu dalam waktu sehari ini. Hingga esok pagi menjelang. Dan kau tuan… terserah kau mau menginap di sini atau kembali pulang. Bagaimana?”

“Kurasa—aku akan… pulang dulu. Tolong jaga kedua putriku yang manis ini. Oke, Tuan Van Kasper?” Ia menepuk pundak sang pelukis yang sedang terbuai itu kembali. Seraya ia tersenyum dan menatap kedua putrinya. Mereka memeluknya erat dengan senyuman dan tawa kecil.

Maka tak lama, Sang Baron telah pergi dan tinggallah Gregoria dan Javinna dalam rumah sang maestro itu dengan girang dan penuh pengharapan. Van Kasper segera tak membuang waktunya. Ia segera mengajak kedua wanita muda itu untuk masuk ke ruangan besar khusus tempat di mana ia melukis tadi.

###

SETELAH mereka sampai di ruangan itu. Van Kasper segera mempersiapkan dua kursi dan segera menyuruh mereka duduk. Tanpa bicara. Ia sama sekali tak memiliki minat untuk berucap sepatah kata pun. Ia hanya menatap kedua mata mereka masing-masing dan kembali; gairah untuk pengabadian kembali muncul.

Dan secara naluriah. Ia langsung mulai merekam kedua tubuh molek gadis itu layaknya mencoba menghidupkan seorang dewi khayangan dalam kanvasnya. Georgina dan Javinna nampak tenang dan sudah mengerti akan tugas mereka untuk berpose. Matanya dan bibir mereka yang tipis seperti tersaput gula-gula yang mengkilat. Bedak yang tipis memberikan nuansa kehalusan dan kepolosan yang perlahan mulai sang pelukis muda itu sadurkan dalam guratannya yang liar dan tetap bersemangat.

Satu jam, dua jam . . . sampai lima jam. Dan mereka tetap beraksi—diam dan tersenyum. Ikhlas dan tak menentang. Sang maestro senang akan perilaku mereka. Dan sebagai tanda penghormatan, ia sekali-kali selalu tersenyum—walau tanpa bicara sepatah katapun. Hanya mengguman nada tanpa huruf. Para gadis itu pun tersenyum dan kembali, selalu dalam posisi yang tenang dan menurut. Hingga…

Setelah sekian jam, mereka semua telah berpose apik dalam tugas mereka masing-masing. Sang maestro telah menyelesaikannya. Guratan terakhir dan langit telah memberikan nelangsa lembayung dan suara lonceng gereja dari kejauhan yang menandakan misa sore telah dimulai. Para gadis akhirnya dapat bergerak. Van Kasper mengelap dahi dan lehernya yang mulus. Semua keringat itu nampak mempesona. Bahkan bagi kedua gadis LeFormale tersebut. Tetapi, perhatian mereka sedang tertangkap dengan lukisan luar biasa yang telah sang pemuda itu garap dengan apik.

“Luar biasa kak! Mirip sekali. Hebat!” Javinna memuji seraya memeluk kakaknya yang tersenyum pula.

“Ya! Tuan, kau benar-benar seorang pelukis yang handal.” Georgina menatap ke arah Van Kasper dengan penuh penghormatan.

Van Kasper hanya tersenyum dan kembali bergerak ke arah belakang para gadis-gadis itu yang masih bersemangatnya melihat lukisan mereka sendiri. Ia melihat sekali lagi untuk mencapai klimaks kepuasannya sendiri. Apakah ia telah bebas dalam lukisan itu? Apakah ia telah menemukan apa yang ia cari dari sebuah kata “keindahan”.

Diratapinya lukisan tersebut…

Ada sebuah keheningan dalam jiwa Van Kasper. Sepi dan sama sekali tak girang.

Mengapa?

“A-aku tak merasakannya. Aku tidak…” Ia berucap, dan perkataannya sama sekali tak terdengar oleh Georgina dan Javinna yang masih berkata-kata dalam nada girang.

Van Kasper menaikkan alisnya yang tajam dan membuka mulutnya. Ia tersadar. Ini bukanlah kepuasan yang dicarinya. Matanya mencerminkannya sedemikan rupa hingga mimik wajahnya menjadi tampak muram dan tak bersemangat. Semangatnya telah musnah begitu saja. Guratan-guratan baju sang gadis itu. Wajah yang mempesona itu. Semuanya tak bermakna. Ia masih terkekang! Terkekang dalam keinginannya untuk bebas. Bebas berekspresi.

“Jadi, jadi apa?” Ia bertanya dengan dirinya sendiri.

Dan tak lama, ia segera melihat replika lukisan “Janda yang Melayang” yang ia taruh di dekatnya. Perlahan ia mulai mendapatkan sesuatu—inspirasi. Sebuah ledakan yang menyenangkan. Matanya kembali berbinar dan secerah matahari sore yang terpancar di rumah besar tersebut. Ia mulai menapakkan keindahan dalam gerakan tubuhnya. Ia mulai… hidup.

Maka, ia segera mengambil sebilah pipa besi yang tergeletak di ruang seninya itu. Dan tanpa pikir panjang. Ia menghantam keras kepala kedua gadis yang sedang merayakan itu.

###

SEMUANYA menjadi gelap. Dalam hatinya semua menjadi hitam, layaknya warna kesukaannya. Burung gagak berkumandang di antara pohon-pohon pinus yang tinggi dan lebat.

Sang maestro telah kembali hidup. Dan ia pun dengan segera, memulai kembali meyiapkan alat-alatnya. Mempersiapkan kanvas putih yang baru. Van Kasper menyiapkan dua utas tali rafia putih dan menggantung mereka berdua di langit-langit ruangan seni itu. Darah yang mengucur, melalui gaun mereka yang apik dan rapi. Kaki yang telanjang; bermandikan darah dan cat-cat yang licin dan mengkilat. Luar biasa. Seperti kanvas hidup.

Van Kasper sekali lagi melihat hasil karyanya yang tergantung tersebut. Ia tersenyum. Senyuman yang bahagia. Seperti saat ia melukis “Janda yang Melayang”. Saat ia melukisnya dengan objek seorang wanita malang yang juga ia gantung beberapa bulan silam. Seorang wanita asing yang sama sekali ia tak kenali; seorang yang amat telah menghidupkan imajinasi terliarnya malam itu. Malam di mana darah dan cat telah menyatu dalam kanvasnya. Dan kini, ia melakukannya lagi—sebuah dejavu.

Van Kasper memulai melukisnya dengan pandangan yang alamiah. Dengan senyuman dan dengan gumaman nada yang girang. Pengalaman yang terulang kembali. Sensasi.

Mengapa aku tidak menyadari ini sedari dulu. Menggantung… Objek yang melayang. Indah sekali. Indah!

Ia mulai mengagumi diri sendiri. Narcistik dan menggebu-gebu.

Perlahan. Hitungan detik dan menit berlalu seiring dengan guratannya yang kian sempurna dan jelas. Kegelapan yang mencekam ia tuangkan seakan-akan itu adalah konser musik dari segala keindahan. Perlahan pula ia mulai melantunkan sebuah lagu layaknya pelan dan mencapai penghabisan. Semua lipatan kain, kulit yang bermandikan darah. Dinding rapuh dan jendela bertahtakan kain linen yang masih menari-nari. Semuanya tertuang dalam kanvasnya. Dan setelah sekian jam. Saat malam telah semakin lelap. Ia pun selesai. Puas dan sempurna. Senyuman ia tebarkan. Rambutnya masih terlihat rapi dan wajahnya semakin bergemilang cerah dan putih. Matanya telah menuturkan kedamaian.

“Inilah dia. Kebebasanku dalam hidup. Ekspresi itu telah kutemukan. Sempurna.” Dan akhirnya Van Kasper dapat tidur dengan nyenyak malam ini. Sekali lagi ia melihat lukisan kedua atas Georgia dan Javinna. Lebih indah ketimbang yang pertama. Begitu artistik. “Sempurnalah wahai lukisan mahakarya. Di antara segala macam guratan. Inilah yang kedua. Berikutnya… berikutnya…” Van Kasper terus berceloteh girang sambil menari-nari dengan kuasnya. Menari-nari layaknya ia berada di sebuah pesta kontinental yang besar dan bersahaja.

###

MALAM semakin larut dan bintang telah menapakkan cahayanya. Perlahan pagi pun datang…

###

PAGI yang cerah. Sesuai janji. Pagi mejelang dan Baron itu akan datang menjemput kedua putrinya. Maka ia pun segera bersiap-siap. Di lain pihak, Van Kasper telah menemukan debutnya sebagai pelukis artistik dengan kebebasan baru yang telah ia temukan semalam. Semalam yang telah berisi dengan penuh pengungkapan. Dan ia selalu tak pernah lupa untuk berterima kasih kepada Georgina dan Javinna. Sesuai apa yang telah mereka lakukan terhadap Van Kasper.

Tak lama kemudian—Tok! Tok! Tok!—Suara ketukan pintu.

Van Kasper sudah siap dan lansung membukakan pintu itu karena ia tahu yang datang pastilah Baron LeFormale.

“Ah! Tuan LeFormale. Selamat pagi. Silakan masuk!” Van Kasper menyapa ramah.

“Nampaknya cerah hari ini Tuan Van Kasper. Di manakah putriku? Dan, apakah lukisan mereka telah selesai?” Ia bertanya dengan senyuman yang lebih ramah ketimbang kemarin.

“Oh! Sudah Tuan. Bahkan… dua! Ya! Kau akan sangat terkejut. Sangat terpesona. Marilah saya ajak tuan untuk melihat lukisan itu dulu.”

“Baiklah,” Sang Baron itu segera mengikuti langkah Van Kasper menuju ke ruangan seninya.

Semua nampak berantakan. Seperti biasa. Cat dan tumpahan minyak kering. Merah. Semua nampak… biasa.

Van Kasper segera menunjukan dua lukisan yang tertutup kain linen putih. Keduanya dalam ukuran yang sama. Pemuda tampan itu segera membuka kerudung yang pertama. Ia lalu berkata, “Inilah lukisan pertama. Lebih nampak umum dan biasa saja. Tetapi… tunggu! Lihatlah yang ini!” Ia segera membuka kerudung kedua. Baron itu masih terkagum-kagum dengan lukisan pertama yang begitu serupa akan kedua putrinya. Ia masih nampak terpesona hingga…

Lukisan kedua dimana Van Kasper telah menamainya sebagai, “Dua Perawan Angkasa”.

“A-apa! Apa ini?” Baron terkejut setelah melihat lukisan kedua yang telah membuka mata sang maestro itu semalam. Ucapannya kian resah dan tak berbatas bingung. “K-kau…!!” Ia nampak mencoba untuk tenang.

“Tenanglah Tuan! Putrimu semua tidak apa-apa. Sungguh. Marilah saya bawa anda ke kamar mereka.” Penuturan halus sang pemuda itu dengan cepat menenangkan hati sang Baron. Ia pun segera ikut dan melupakan kegelisahan dan kecurigannya.

Sembari mereka berjalan, Baron LeFormale berbincang-bincang dan membicarakan tentang kedua putrinya. Dan satu pertanyaan yang menarik minat Van Kasper adalah, “Apakah kau menemukan keindahan dalam lukisanmu?”

Van Kasper segera menjawab, “Aku telah menemukan aliranku. Semuanya adalah menggantung. Darah dan kaki yang indah. Semua manusia akan kuwarnai dengan keindahan itu. Bahkan…”

Ia menghentikan ucapannya dan ia langsung menghantam keras kepala sang Baron dengan sebuah gada besi yang berasal dari salah satu pajangan-pajangan patung perangnya. Ia kembali berkata, ”… bahkan, bersyukurlah engkau Tuan. Karena engkau akan menjadi “Baron yang Malang”. Yang berikutnya yang akan aku sadurkan dalam keindahan kuas dan kanvasku.”

Maka, Van Kasper segera kembali terinspirasi dan merasa inilah jalan hidupnya sebagai seorang maestro dengan lukisan yang selalu mencenggangkan bagi siapapun yang melihatnya. Ia pun kembali menari dan mengguman seraya tersenyum bebas.

###