KISMET 03: heritage

heritage
Stanley Reis Argenon
1992

HALAMAN demi halaman dibaliknya dengan tangannya yang kurus dan pucat. Buku tebal berisi jurnal-jurnal pembunuhan yang terjadi di Morecambo 10 tahun silam. Memang ini terdengar aneh. Mengapa seorang mahasiswa perguruan tinggi jurusan sastra kuno sepertinya, lebih tertarik kepada kasus-kasus pembunuhan lama ketimbang karya-karya sastrawan kontemporer, macam Shakespeare, Marlowe, atau Kyd.

Semua rasa penasaran itu terjadi karena sebuah gesekan kecil. Bagai hujan yang datang karena bergantinya musim dari bulan melaju melalui bulan berikutnya. Semalam ia bermimpi tentang sebuah ruangan. Entah karena tak begitu jelas, tetapi ia samar-samar melihat ruangan berlantai dan berlapiskan kayu-kayu, sebuah bar kecil yang nampaknya menjadi salah satu ruangan dari sebuah rumah tua. Nampak dari hiasan dan suasananya yang tradisional. Kayu-kayu dan kursi Victorian serta gelas-gelas bir yang besar. Tetapi dirinya yakin bahwa bayangan mimpi itu adalah kenyataan.

Matanya menangkap sebuah peristiwa pembunuhan dengan sebuah kapak. Entah di mana dirinya waktu kecil pernah membaca tragedi pembunuh berkapak beruntun di kota kelahirannya ini.

Tangannya masih membalikkan lembar demi lembar artikel-artikel yang tersusun simetrikal tersebut. Semua mengenai korban-korban dari sang pembunuh. Beberapa koran telah memberinya nama julukan seperti; Sang Pembantai, The Dark ShadowDeath-Cambo. Tapi yang paling ia minati dan tampaknya lebih pas ketimbang apapun adalah, Psycho Ten. Sebuah koran bertajuk koran kriminal tertua di negara Britania ini menuliskan tentang kebiasaan sang pembunuh berkapak yang selalu membunuh ketika jam telah menandakan jam sepuluh.

Sorot mata pemuda itu menampakan kecerahan, ia mengingat sesuatu sekarang. Semasa kecil, ibunya selalu menutup pintu dan jendela rapat-rapat ketika jam hampir menunjukan pukul sepuluh. Ya, ketegangan itu. Suasana mencekam, ibunya yang selalu menunggu di dekat perapian sampai jam benar-benar melewati jam sebelas.

Dia juga mengingat dan begitu pula koran ini telah mengatakan bahwa sang pembunuh tak pernah beraksi lagi setelah jam telah sampai pada pukul sebelas malam. Hanya sepuluh. Ini adalah sebuah enigma dan sekaligus pertanda keselamatan bagi tiap penduduk Morecambo beberapa tahun silam itu.

Kini, kedua orangtuanya telah meninggal. Ia sendiri. Semua biaya kuliah ditanggung oleh pamannya yang bernama Josiah Herbert. Nama pemuda itu sendiri adalah Stanley Reis Argenon. Tapi teman-teman kampusnya biasa memanggil dengan nama kecil, “Stan”.

Paman Josiah itu memang sedikit aneh. Kedua kakinya telah lumpuh beberapa tahun silam. Stan tak pernah menanyakan mengapa. Paman berwajah sayu itu muncul tak lama setelah kedua orang tua Stan meninggal 10 tahun yang lalu. Stan sendiri baru melihatnya setelah penguburan jenazah kedua orangtuanya. Wajahnya sangat bijak dan nampak sedih. Ia selalu melihat Stan dengan senyuman yang ramah, walau ketika setiap kali pemuda tanggung tersebut berusaha menanyakan tentang kakinya, ia selalu mengelak dan akhirnya ia menampakan mimik wajah yang akan segera marah dan tak hendak, berteriak. Di saat itulah Stan memutuskan lebih baik diam dan tak bertanya lagi dan segera kembali ke kamarnya.

Di samping kecacatannya, Paman Josiah memiliki ciri seorang pria setengah baya; masih memiliki rambut coklat dan alis yang tebal. Walau dengan tubuhnya yang tak begitu kekar—kebalikan dari bentuk fisik dari ayah Stan. Ia memiliki nada bicara lembut yang sama dengannya. Sang ayah, Tannon Argenon yang adalah seorang pengusaha kayu. Sebuah warisan bisnis keluarga dari almarhum sang kakek. Mengapa Paman Josiah tak ikut mewariskan bisnis ini seperti kakeknya? Stan pernah menanyakan dan ia berkata, “Aku tak sepintar dia dalam urusan bisnis, lagipula. Waktu itu, Ibumu lebih menyukai Ayahmu ketimbang Paman.”

Perkataan dan jawaban yang agak tak begitu menjelaskan apa yang Stan inginkan sebenarnya. Agak membingungkan. Stan dapat menangkap getaran rasa iri dan sebal saat membicarakan ayahnya itu. “Apa ada sesuatu terjadi antara Ayah, Ibu dan Paman?” Ia tak pernah menanyakannya. Pemuda berambut keriting itu memiliki terlalu banyak pertanyaan. Tetapi ia merasa tidak enak. Lagipula ia telah merasa berhutang karena Paman Josiah telah membiayai kuliahnya.

###

Stan kembali melewati jemari-jemarinya dengan halaman-halaman artikel tadi. Mimpi itu.
Tangannya tertahan pada sebuah kasus terakhir Psycho Ten. Koran tua yang bertuliskan 16 Oktober.

'… pembantaian massal Keluarga Flanell yang terjadi pada tanggal 15 Oktober kemarin di kediaman mereka yang terletak di daerah luar sekitar Morecambo…'

“Tanggal ini! Ini adalah saat aku mendengar kabar tentang kematian kedua orang tuaku. Aku…” Stan memicingkan dan mendekatkan matanya ke arah foto hasil dari pembantaian yang terpampang di koran tua tersebut.

“Mengapa tiba-tiba aku merasa mual?” Stan merengkuh perutnya. Ia merasakan kesakitan pada pundaknya, seperti baru dipukul oleh sesuatu benda keras. Dan matanya tiba-tiba kabur dan mengambang. Perlahan, laju matanya semakin menutup dan mulai terlelap. Entah apakah ini karena pemuda tersebut sedari kemarin kurang tidur atau apa. Tetapi kedua matanya yang biru benar-benar semakin mengantuk.

Kasus Psycho Ten yang terakhir? Mengapa ini menjadi yang terakhir? Apakah Ia telah tewas? Apakah Ia tidak membunuh lagi? Apa?

Pertanyaan-pertanyaan yang tiada habisnya, seakan-akan terus  berkumandang di kepalanya. Dan semakin lama ia tenggelam dalam pertanyaan-pertanyan tersebut, semakin ia merebahkan kepalanya ke meja kayu di dalam ruangan pengamat perpustakaan Morecambo ini. Ruangan yang bernuansakan ruangan khas pengacara yang elegan dan bercorak kayu jati dan wangi pinus yang menyengat. Ruangan klasik yang perlahan menjadi buram dalam penglihatannya. Perlahan menghilang dan akhirnya diri Stan telah menjadi nyaman di atas alas meja kayu tersebut. Tangannya terkulai lemas.

Stan tertidur.

Ia menjadi lemas tak berdaya. Tetapi kepalanya masih dikerubungi oleh kebingungan. Pertanyaan…

###

RUANGAN bar kayu. Wangi bir yang menyengat. Lampu neon yang agak redup dan lantai serta dinding yang agak berbau cat minyak. Stan berada di ruangan yang sama dalam mimpi yang ia rasakan semalam, sepertinya Stan mulai mengenali tempat ini. Dalam ingatannya, ia sedang berjalan diantara mayat-mayat dengan kepala-kepala yang termutilasi—berserakan di mana-mana. Dalam mimpi itu, Stan melihat kapak dan darah.

Tapi, dalam mimpi kali ini…

Dalam mimpi ini, mata Stan yang bening melihat sebuah adegan pesta. yang cukup besar. Orang-orang yang berpakaian agak kuno, tampak seperti gaya trend era 80-an. Lagu irama rock 'n roll yang hampir kedua telinganya kenali.

Tunggu!!! Dia…

Stan nampak terkejut saat tiba-tiba ia melihat seseorang yang ia kenali.

Pamanku! Sedang apa dia di mimpiku?

Stan menjadi keheranan karenanya. Tetapi ia lebih heran lagi oleh situasi kaki sang paman yang tidak lumpuh. Ia bisa berjalan dengan baik

Paman Josiah berjalan dan tampaknya mengendap-endap di belakang sebuah sekat dinding kayu. Tampaknya ia tidak ingin diketahui kehadiratnya. Matanya yang tajam mengawasi seorang pria berjubah serba hitam dan memakai kerudung hitam pula. Stan mencoba mendekati pamannya itu. Matanya agak terhenyak. Suasana yang agak memabukkan,

Mengapa tiba-tiba gerakanku tidak menjadi stabil?

Sesaat ketika tangan Stan yang kurus hampir merengkuh bahu pamannya yang masih terlihat muda dan dapat berdiri dengan tegap layaknya orang lain itu. Ia mendengar suara teriakan yang sangat nyaring. Stan memalingkan wajahnya dan ia melihat darah di sebagian wajah-wajah dinding. Para orang-orang yang berada ruangan itu tampaknya berlari ketakutan. Stan menjadi keheranan, “Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?” Tiba-tiba ia merasakan pundaknya dipukul oleh sesuatu yang amat berat. Matanya menjadi lemah. Dan Stan segera pingsan—pingsan dalam sebuah mimpi?

Aneh—

Keanehan itu tak berhenti sampai situ saja. Matanya tiba-tiba langsung kembali terbuka.

Kini ia sedang berbaring di sebuah meja dengan posisi duduk yang rapi. Setelah melalui usaha yang cukup keras. Matanya yang kabur telah menangkap jelas bayangan pembunuhan yang sama seperti yang ia rasakan semalam. Hanya sekarang lebih jelas. Mayat dan kepala-kepala yang berserakan, amis itu, dapat tercium—suasana teror dan mencekam.

Siapa yang melakukannya? Psycho Ten itukah?

Segera ia mencari ke seluruh arah. Stan mencoba mencari yang selamat dan masih dapat ditolong. Kakinya segera melangkah. Di antara tumpukan tubuh-tubuh pria dan wanita yang terpotong dan bernampak najis. Stan terus menahan nafasnya karena enggan mencium amis dan anyir darah-darah tersebut.

Ia terhentak. Mata yang tak dapat ia percayai sendiri. Ia melihat tubuh kedua orang tuanya di antara mayat-mayat yang termutilasi itu. Kepala mereka! Semuanya berserakan. Amat sadis!

“Bangsat! Siapa? Siapa?” Tubuhnya gemetar dan berkata dalam intonasi kemarahan.

Stan membalikkan mata k seluruh penjuru. Ia tak dapat melihat siapapun. Dan saat matanya secara spontan melihat ke sebuah tanggalan—15 Oktober. Ia mendapati kepalanya kembali seperti terhantam oleh suatu benda yang berat. Badan Stan yang ringan mencoba berjuang untuk berbalik seraya ia menjadi lemah. Kabur. Kedua mata Stan masih dapat menangkap sinar mata orang yang menghantamnya itu. Sinar mata berwarna biru sepertinya. Sinar itu…

Pa-paman Josiah!!!

Mata itu ia kenali sebagai Paman Josiah. Hati Stan lebih yakin lagi saat melihat kakinya yang berdarah dan tampaknya terluka parah. Ia menjadi yakin sekali.

Jadi… Psycho Ten adalah… Paman?

Seraya ia mulai tak sadarakan diri; dirinya masih bertanya-tanya.

Ja-jadi, Paman… Ah! Pantas saja, hari itu, Kasus terakhir Psycho Ten. Paman adalah dia! Psycho Ten telah lumpuh! Ia tak dapat melakukan tugas gilanya lagi… jadi?

Semua praduga-praduga masih berputar-putar dan sehendak Stan mulai merengkuh kesadarannya kembali.

###

STAN telah kembali dalam posisi tertidur di meja perpustakaan itu kembali. Kembali dalam kenyataan. Dan dalam perjalanan tadi ia yakin telah menemukan identitas masa kecilnya dan sebuah kunci yang akan menyelesaikan segala.

“Aku akan menyelesaikannya! ”Ia bersumpah dalam hatinya yang panas.

Tunggulah Bedebah! Aku akan membunuhmu. Aku akan membalas akan perbuatanmu terhadap orang-orang itu, . . . Terutama—Ayah dan Ibu!

Dendam itu telah tertanam. Tak saat setelah ia terbangun, ia segera beranjak dari ruangan itu dan segera meninggalkan koran-koran dan susunan  buku-buku tebal di perpustakaan lokal Morecambo tersebut. Stan berjalan dan menapak dengan tegas. Mata yang tak berkedip. Semua… nampaknya akan selesai malam ini.

###

STAN akhirnya sampai di rumah bergaya kolonial yang ia tempati bersama dengan pamannya, Josiah yang ia telah alamatkan sebagai “bedebah” itu.

Ia segera mencarinya. Segera ia menapaki tangga untuk mencapai kamar Paman Josiah yang berada dilantai dua.

Stan telah sampai…

Brak!!!

Stan mendobrak pintu kayu bercorak biru itu dengan kedua kakinya. Paman Josiah itu tampaknya terkejut. Ia segera memundurkan kursi rodanya. Mata Stan terbelalak. Ia melihat sebuah kapak di tangan sang paman.

Tangan keriput paman Josiah nampak gemetar.

“K-kau…” Ucapan Stan terbata-bata. Matanya masih melihat kapak tersebut.

Apakah itu kapak yang sama yang ia pakai waktu itu?

“S-stan, ada apa? Mengapa kau begitu marah hari ini?” Paman Josiah mencoba tenang, ia perlahan mencoba mendekatkan dirinya ke arahnya.

Stan segera berteriak, “Diam disana, Bedebah!”

“Aku tahu semuanya. Tentang pembantaian di Mansion Flanell. Aku tahu Paman Josiah!” Nada suara Stan ternyata mengagetkan paman yang lumpuh itu. Ia sepertinya tersentak. “K-kau tahu nak?' Ia mencoba menjadi tenang.

“Brengsek! Jangan menjadi sok suci di hadapanku! Aku tahu kaulah Psycho Ten, dan kaulah pembunuh Ayah dan Ibu! Kau pikir aku akan lupa hah? Aku…” Tampaknya pemuda tanggung itu telah kehabisan kata-kata umpatan yang sopan. Ia sangat marah.

Stan kembali mencoba mendekati paman Josiah.

Tangannya segera merenggut piyama merah mengkilat pamannya tersebut. Stan nampaknya tidak peduli dan tidak lagi takut pada kapak yang ia pegang. “Sekarang aku tahu, kau membunuh kedua orang tuaku dan sekarang, kau merawatku untuk apa? Apa untuk penyesalan? Tidak! Tidak akan berguna, bagaimana dengan nasib korban-korban yang lain? Dasar manusia cacat! Lumpuh! Tidak Berguna! Kau lebih baik mati di tanganku sekarang!” Stan nampak begitu marah. Tangan kanannya segera merampas kapak tua tersebut. Ia mundur beberapa langkah dan mengambil ancang-acang untuk segera mengibaskan kapak itu melalui lehernya yang sudah agak berkeriput.

Perlahan, paman Josiah bertutur pelan. Ia berkata begitu tenang, dan Stan nampaknya terkesima dengan ucapannya, “Lakukanlah anakku, Kau ternyata sama dengannya!” Kapak itu berhenti.

Apa maksud bedebah ini?

Amarahnya sedikit reda. Stan mencoba menjadi rasional.

Aku akan mendengarkan apa yang hendak ia katakan…

“Ternyata kau sama dengannya,” Paman Josiah kembali berkomentar tenang.

“Apa maksud perkataanmu?” Stan mengacungkan kapak itu ke arahnya.

“Baiklah. Sebelum itu… Apa kau tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Mansion Flanell 10 tahun yang lalu nak?” Ia menanyakan sebuah pertanyaan yang sekiranya Stan dapat menjawab, “Kau membunuh sekelompok orang yang berpesta di sebuah ruangan bar, dan di ruangan itu pula ayah dan ibu meninggal. Sekarang apa yang harus kau katakan?” Pemuda pucat itu kembali menimpal dengan marah.

“Aku… tidak tahu bagaimana kau bisa tahu hal itu, tetapi… aku tidak mungkin membunuh seluruh anggota keluargaku sendiri…” Perkataannya telah membuat Stan terkejut.

Keluarganya, Flanell . . . Tunggu! Paman Josiah Herbert…Fla…

Pemuda itu mulai menyadari sesuatu. Tanpa sadar ia mengangkat jari telunjuk kirinya ke arah sang paman yang terdiam tanpa ekspresi itu.

“Benar. Flanell adalah nama keluarga paman, Josiah Herbert Flanell. Sama seperti ibumu, Anita Geraldine Flanell.” Ia merapatkan tangannya dengan tenang seraya membalikkan kursi rodanya ke arah jendela. “Kau benar-benar ingin tahu?” Ia kembali bertanya.

“Diamlah dan cepat katakan! Jadi kau adalah saudara dari ibuku? Kukira kau adalah saudara dari…”

“Ayahmu? Anakku, sebenarnya, kakekmu yang pengusaha sukses kayu itu adalah seorang Flanell dan bukan seorang Argenon. Ayahmu yang ambisius menikahi Ibumu karena harta. Tetapi memang adikku itu bodoh,” Ia menghela nafas. Ada sebuah jeda.Lalu ia kembali berucap tanpa ekspresi, “…setelah ia tahu obsesi aneh suaminya yang sangat senang dengan adegan mutilasi kepala; dan ia tetap mencintainya. Sekarang, kau pikir aku akan membiarkan adikku hidup dengan pria macam itu!?” Ia menaikkan suaranya.

“Oleh sebab itu. Ketika perayaan ulang tahun ayahmu di Mansion Flanell kami. Aku dan seluruh keluarga Flanell sengaja mempersiapkan pembunuhan besar baginya. Di luar dugaan, ia lebih kuat…” Kepalanya menunduk dan agak bergetar. “Ia lebih kuat, nampaknya ia tahu, dan lebih parah, ia sengaja membunuh ibumu terlebih dahulu. Aku… melihat dirimu yang masih kecil waktu itu dan aku segera membuatmu tak sadarkan diri dengan sebuah kayu. Entah mengapa ia mengajakmu di sana... Aku tak mau kau menjadi pembunuh seperti ayahmu. Kami sekeluarga segera mencoba menghentikan ambisi gila ayahmu malam itu.” Stan tersentak dan terdiam.

Seluruh tenaga dan amarahnya yang besar seakan lenyap. Ia segera berlutut dan mejatuhkan kapak itu dari tangannya yang kurus. Air matanya mengalir. Dan ia tidak mempercayai pikirannya dengan apa yang telah ia dengar sendiri. Sekarang ia telah mengerti mengapa paman Josiah-nya selalu bertanya, “Apakah kau memang mau mendengarnya?” Pantas saja, pantas. Sekarang Stan menyesal telah mendengar semua.

Jadi setiap malam itu… Ibu sebenarnya bukannnya cemas akan kedatangan sang pembunuh. Ibu sudah tahu. Ibu sebenarnya menunggu kedatangan Ayah… Ayahku…

 Stan tampak kosong. Jiwa dan matanya seakan telah menjadi bola kelereng yang polos.

Paman cacat itu kembali berkata, “Di saat terakhir sebelum korban terakhirnya, yaitu aku, hendak dibunuh. Aku sempat memukulnya dengan sebilah kayu dan membuatnya jatuh. Dan… ia menjatuhkan kapak itu tepat di kedua kakiku. Aku… menjadi lumpuh sejak saat itu. Dan tak lama, aku segera mengambil kapak tersebut—kapak yang sekarang berada di sampingmu,” Stan segera melihat ke arah kapak yang masih tergeletak diam tersebut.

”… dan di situlah aku berhasil membunuhnya. Semuanya selesai; pembantaian gila-gilaan setiap jam sepuluh, dan… di luar dugaan, bahkan keluargaku. Aku… sekarang masih menyesali. Oleh karena itu Paman segera mengambilmu dan mengangkatmu sebagai anak asuhku. Lagipula kau memang keponakanku bukan, dan…”

Stan lansung berdiri dan berteriak, “Hentikan!” Nafasnya  terengah-engah. Matanya menjadi tajam. Ia melihat sekilas ke sebuah tanggalan. Ia melihat sebuah angka dan ia mulai menyadari sesuatu. Tangannya segera mengambil kapak tua tadi.

“K-kau benar… kurasa. Tetapi, aku tidak peduli.” Stan berjalan pelan mendekati pamannya yang masih membelakanginya di kelamnya malam ini. “Mimpi itu, semua kenangan, kurasa itu terjadi bukan karena kebetulan. Ya! Semua adalah kehendak darinya. Kau bilang… aku sama dengannya. Kukira kau benar Paman Josiah.”

Paman malang itu segera membalikkan kursi rodanya. Ia terkejut dan segera tangan Stan menebaskan kapak itu melalui kepalanya. Dapat terlihat cipratan darah dan kepala sang paman yang tergeletak di antara lantai triplek kamar yang berhiaskan sutera dan linen. Begitu artistik

###

DI balik sepinya sebuah rumah kecil bergaya kolonial. Stan menaruh kapak berlumuran darah tersebut dan berdoa seraya berkata dalam doanya yang khusuk itu, “Hari ini, atas nama darah dari kapakmu, sambutlah penerus Argenon sejati. Dan ini semua adalah kado dariku. Selamat ulang tahun Ayah!” Dan ia segera tersenyum dengan polos dan tak berdosa.

###