KISMET 04: Beings by No Means

Being by No Means
Vyonna Madgalena
1995

SEHARUSNYA ia tak pernah ada ataupun tetap sendiri dan tak menikahi Stephen Lang.

Seharusnya ia tetap menjadi seorang wanita muda dari kota Caracas yang sangat sopan dan tidak merepotkan sama sekali.

Tetapi sekarang… Ia terlalu merepotkan.

Bahkan… menjijikan.

Segala macam aturan, nasihat dan segala macam perkataan yang ia utarakan adalah menjadi tampik neraka dan semua itu saling berhubungan. Wanita manapun yang mendengarkan ucapannya pasti akan menjadi “gila” dan menjadi layaknya pelacur tanpa nama. Tak pantas diingat dan tak pantas diratapi jika mereka mati. Terkutuklah bagi mereka yang mendengarkan wanita bangsat yang satu ini. Tubuh kurus, kulit yang sebegitu putih, rambut pirang pucat sebahu dan seorang perokok berat. Satu hari ia bisa menghirup satu pak rokok Virginia Slim. Dan dari kerongkongan tempat ia menghirupnya adalah rongga dosa yang memproduksi segala macam ucapan yang mematikan itu. Sungguh biadab.

Siapakah sang biadad itu yang sepantasnya orang layak binasakan?

Dialah seorang wanita Venezuela yang teramat perfeksionis dan serba sok tahu segala. Vyonna Madgalena. Vyonna… yang amat sangat menyukai anak-anak.

Mengapakah ia menyukainya?

Itu karena... ia tidak dapat memilikinya. Ia impoten dalam segi feminisme dan keibuan.

Dan ia telah menghukum Tuan Lang, sang suami dengan cara ternajis; membinasakannya dalam segala macam kutukan fisik yang pernah dilakukan oleh seorang istri pada suaminya bila mereka sedang tidak senang. Ia adalah iblis dengan bibir terlampau manis dan semua adalah dosa. Semua serba malaikat dan ia merasa benar dengannya.

Malam baru berakhir dan ia sedang kembali berburu para bayi. Apakah yang ia lakukan dengan para bayi-bayi malang itu?

Ia… menikmatinya.

Mulutnya yang merongga bagai sebuah lubang hitam. Bau busuk dan sekumpulan bakteri-bakteri yang bercampur dengan jamur-jamur yang menempel. Seperti mulut gua dari sebuah jalur setan yang mengundang para iblis untuk berpesta-pora. Melahapnya layaknya sebuah apel renyah, atau sebuah daging steak yang setengah matang—lengket dan penuh dengan amis dan anyir. Hidup dan setengah sadar. Benar-benar tanpa ampun.

Apakah ia melakukan pelarian? Sang wanita kurus kerontang nan kecil ini sedang tidak melakukannya. Ia sudah sebal akan diri sendiri, sehingga ia menjadi kebal karenanya.

Kalau begitu, apakah ia mengutuk diri dengan kemandulannya?

Tidak! Ia adalah seorang wanita yang tabah. Walaupun ia tak dapat memiliki anak, ia tetap seorang wanita yang penuh dengan perasaan. Walau tak seperti Karina Madgalena, saudari perempuannya yang telah menikah dan telah memiliki anak kembar. Dan… Oh, betapa ia mengharapkan bahwa bayi-bayi itu adalah miliknya. Ia bersumpah, ia pasti akan menyayanginya.

Tetapi sayang, mereka semua telah pindah ke kota Manhattan. Sayang sekali. Jika tidak, setidaknya ia akan menjadi seorang bibi yang bijak bagi kedua keponakannya yang kembar. Ia akan memberikan mereka harapan-harapan, ucapan-ucapan dan bimbingan-bimbingan yang baik. Seperti layaknya sekarang.

Tetapi di malam yang bergelora ini, ia sudah mengesampingkan pemikiran tersebut.

Rintik-rintik hujan mulai berjatuhan menyerang indera Vyonna dengan aroma manis hujan dan tanah nan lembab.

Vyonna kembali mengendap-endap seperti biasa. Bagai kucing hitam dan mata tajamnya. Darah pemangsa telah mengalir dalam nadi-nadi dan jalur jiwanya. Ia hanya ingin mencapai sebuah konklusi pemuasan; yakni keinginan. Sebuah penyerahan total seorang ibu akan hak atas anaknya untuk menjadi sepenuhnya milik Vyonna. Tetapi bagaimana caranya ia bisa? Entahlah, Vyonna yang kecil itu juga tidak tahu. Senyumannya dan matanya yang bulat besar seakan nampak kosong dan tak memiliki kebencian dan insting seorang pembunuh. Seperti… hati bersih seorang bayi yang baru lahir. Sebuah tangisan yang polos. Cahaya yang terang yang baru ia lihat pertama kali. Terkejut dan bahagia. Selain itu, kosong. Tak terdefinisikan kebahagiaan dan kejernihannya.

Jadi, dengan mata yang bagaikan sebuah figura kosong ia mengendap-endap.

“Aku harus makan. Aku harus makan…” yang hanya ia ucapkan berulang-ulang dalam nada yang sama sekali tak mengenakan untuk didengar. Matanya semakin pucat dan pupilnya mengecil. Sepertinya ia sedang memperhatikan sesuatu dan telah menangkap dan menjadikannya fokus utama malam ini. Suara decak lidah yang lapar dan suara langkah sepatu boot yang pelan menapak. Suara-suara itu nampak tegang dan penuh bimbang.

Dari kejauhan toko kelontong 24-jam Yolky Max ia menatap seorang wanita dengan bayi kecil yang ia gendong dengan erat di tangannya. Wanita yang sedang diawasinya nampak berumur setengah baya seperti layaknya seorang wanita karir; dilihat dari pakaian serba rapi dan blazer birunya. Wanita itu perlahan memasukan plastik-plastik besar yang berisi beberapa belanjaan di bagasi mobil cadilllac-nya yang berwarna coklat gelap. Bayi itu masih ia gendong dengan tangan yang satunya.

Vyonna dapat mendengar perkataan sang ibu nan rapi itu, “Sh, Sh, tenanglah Charlie, sebentar lagi kita akan pulang oke?” Ia mencoba menepuk-nepuk pelan pundak bayinya yang sedang menangis terisak-isak. Dan pemandangan itu membuat hati sang pemangsa menjadi panas, dan… nikmat. Ia merasakan tangisan itu sebagai sebuah panggilan baginya, “Mendekatlah! Mendekatlah!” Ia yakin bahwa otaknya telah menyuruhnya demikian. Maka, demikian pula ia tak patut dipersalahkan bila ia seperti apa ia sekarang.

Maka, Vyonna segera mendekatkan dirinya yang berbusana serba compang-camping menuju ke arah sang ibu yang hampir selesai menaruh belanjaannya tersebut.

Takk! Takk! Takk!

Suara dan hentakan langkah itu terdengar dan semakin kencang sehingga sang ibu telah sadar akan kehadirannya. Ia begitu terkejut dan segera membawa lari anaknya—melangkah pergi begitu jauh dari mobilnya tanpa pikir panjang. Wajah keibuan itu menghilang dan berganti kekalutan akan hal yang memang sudah sepatutnya ia rasakan dari wajah nan kurus dari mimik wanita sinting yang bangga akan kalung mutiara imitasi yang menggantung di lehernya.

“Tolong! Siapapun, tolonglah…” Tak heran, sang ibu itu langsung berteriak sekencang-kencangnya. Tetapi entah bagaimana, sang ibu tersebut melakukan tindakan antisipasi yang terlalu bodoh. Bukankah lebih baik ia segera pergi menaiki mobilnya atau, seharusnya ia kembali saja ke toko kelontong tadi? Tidak. Ia malah berlari semakin jauh menuju ke jalanan yang sepi. Menuju jalan-jalan setapak yang kumuh dari jalanan lalu lintas Caracas yang begitu berbatu dan tak terurus. Itu semua karena dia, wajahnya dan suaranya; sang wanita itu takut akan Vyonna. Bahkan dalam umpamaan terkeji, ia jijik melihatnya. Wajah kurus itu dan semua nampak seperti mayat yang baru bangkit dari tidurya yang panjang. Beserta bau amis dan busuk yang tersiar dari mulutnya yang berbalut gigi-gigi keras dan berusang layaknya kotoran yang bermetamorfosa menjadi alat pencabik terkuat. Sungguh layaklah sang ibu itu takut akan Vyonna Madgalena.

“Tung… gu no… na… a…” Suara parau Vyonna menyisir melalui angin dan sampai di telinga sang ibu dengan segera. Memberikan teror yang lebih mencekam ketimbang ia harus mati ditangannya hari ini.

Tetapi tunggu, Vyonna tidak pernah berkeinginan untuk membunuh sesama kaum ibu, seorang bentuk kelas manusia yang sebenarnya ia inginkan menjadi. Ia hanya mau membicarakan sesuatu. Selama ini ia hanya ingin berbicara pada ibu-ibu itu. Yang ia inginkan hanyalah seorang bayi dari seorang ibu. Dan itu saja. Maka, ia sekali lagi berkata, “Tunggu aku no… na, aku ha… nya ingin bi… cara…” dan ia terus mengejarnya.

Akhirnya. Setelah pengejaran yang lumayan lama, sang ibu menjadi terlalu lelah dan tersungkur lemas di sebuah pohon yang berada di antara lembah-lembah rindang jalanan bebas hambatan yang sedari tadi mereka lalui. Ia nampak gemetar seraya memeluk bayinya erat; mencoba menutupi dengan tubuhnya yang sudah layaknya hampir terkoyak oleh akar-akar pohon liar dan bebatuan-bebatuan tajam.

“To-tolong. Hen-hentikan. A-apa maumu?” Ia gemetar seraya terus menitikkan air mata.

“Jangan takut. Aku hanya ingin bicara…” Vyonna mencoba menenangkannya.

Ibu muda itu hening sejenak. Nampaknya ia memikirkan sesuatu.

“Nona…” Vyonna kembali memanggilnya dengan nada lembut. Bahkan terlalu lembut dan sangat tidak menampilkan kengerian yang disiratkan oleh wajah pucatnya yang hampir setara dengan seonggokan daging putih yang terlukis keriput dan bedak tebal.

“I-iya, aku tahu. Apa… kah kau mau uang? Ini.” Sang ibu seketika mengeluarkan uang dari dalam bajunya yang setengah terkoyak, “A-apakah itu cukup? Ji-jika kurang akan ku…” Ia terus mencoba tersenyum menahan ngeri dan seketika, Vyonna langsung menampar tangan wanita itu, seraya mendekatkan dirinya ke hadapan wajahnya yang nampak ketakutan.

“Bukan! Bukan! Bukan! Bukan itu mauku nyonya! Aku hanya ingin bicara! Mengerti? Bi… cara!” Nampak ia mulai sedikit gusar dengan tawaran uang sang ibu tadi. Ia meraih kerah blazer sang ibu dan segera menatapnya dengan matanya yang bulat dan benar-benar seperti kaca yang mulus dan tak bernoda. “Aku… hanya mau bicara!” Ia kembali mengulanginya lagi. Seperti hendaknya ia mau sang ibu tadi seakan benar-benar paham maksud tujuannya; dan ia hanya mau sang ibu itu mendengarnya.

“Ba-baiklah. A-apa yang mau kau bicarakan?” Ia berbicara pelan seraya merapatkan bayinya lebih erat. Matanya terus terbuka dan tangannya semakin protektif terhadap pandangan menyayat Vyonna dan gapaian kedua tangan kurusnya.

“Kemarikanlah telingamu karena aku hendaklah akan berbicara sesuatu. Sesuatu yang amatlah penting dan ini akan menjadi rahasia kita berdua,” Vyonna mencoba mendekatkan dirinya. Wanita itu nampak ketakutan dan ia mencoba melawan. “He-hentikan! Tidak, aku tidak mau. Aku…” Vyonna memancarkan senyuman dan melepaskan tangannya, “Apakah kau takut?” Ia bertanya dengan nada sopan. Kemarahannya berhenti. Langit seakan bernafas kembali dalam dengungan kepala sang ibu itu. Sepertinya ia mulai merasakan bahwa wanita itu tidak gila, atau malahan ia lebih rasional ketimbang daripadanya. Maka ia menjawab dengan tenang seraya menarik nafas yang panjang, “Ya… kurasa…” Ia menundukan kepalanya dan mencoba menenangkan Charlie yang masih menangis.

“Baguslah… Kalau begitu, marilah kita selesaikan ini sekarang. Sekali lagi aku berkata padamu nyonya, janganlah takut akan diriku karena diriku adalah kebenaran. Kemarikanlah telingamu. Kemarikanlah!” Ia berkata begitu pelan sehingga rentetan bunyi kepakan-kepakan sayap burung-burung pelatuk dapat terdengar keras.

Vyonna kembali berbicara seraya menjulurkan lengannya yang kurus, “Kemarilah dan aku akan memberitahukan rahasia terbesar dari kehidupan yang telah kuketahui selama ini. Aku akan memberitahukannya hanya padamu, dan ingat! Ini rahasia. Hanya kau dan aku yang boleh tahu. Kemarikanlah telinganmu karena rahasia ini hanyalah boleh diketahui oleh kita dan bukan oleh mereka; para manusia-manusia lain, bahkan para semilir angin, rerumputan, pepohonan, ataupun bintang-bintang yang menggantung di atas segala kepala kita. Marilah!”

Wanita itu seakan-akan mulai menampakan penasaran di wajah mulusnya.

Apa yang hendak ia bicarakan? Sehebat itukah orang gila ini? Apa…

Wanita itu mencoba mencari azas dari kewarasan sang wanita kurus yang sedang berada di hadapannya. Seorang wanita yang entah gila, seorang psikopat, ataupun benar-benar seorang wanita yang memang… tahu sesuatu. Maka, mulailah ia mendekatkan diri dan memasang kupingnya dengan tegap. Ia kembali merasakan ketegaran. Hatinya berdegup kencang. Dan ia mulai melemahkan ketegangan yang ia ciptakan dari awal dalam aliran nadi darah dan urat-urat birunya. “Baiklah, apa yang hendak mau kau katakan?” Ia bertanya dengan tegas.

Vyonna menampakan senyuman.

“Baguslah nyonya. Marilah dengarkan aku sang malang ini.”

Maka, sang wanita pucat itu segera mendekatkan mulutnya ke arah kuping kanan sang ibu. Segera ia mengucapkan sesuatu seraya berbisik. Berbisik begitu pelan dan menjadi terbungkam akan deru angin malam dengan pohon-pohon elk. Perkataannya menjadi terhalang dengan segala macam suara jangrik dan hewan-hewan lainnya. Bisikannya benar-benar begitu pelan.

###

HUJAN di malam senyap ini telah diisi dengan Vyonna dan kata bijaknya. Mengalir melalui nadinya menuju ke mulutnya dan berakhir di telinga sang ibu itu. Sang ibu malang yang telah mendengarkan Vyonna sang bijak. Bisikan akan “kebenaran” telah membuatnya sadar akan sesuatu.

Sang ibu seketika membelalakkan kedua matanya dan segera ia berteriak kencang. Sekencang-kencangnya. Rimbunan pohon pun bergetar akan ketakutannya.

Ia pergi berlari seraya menjatuhkan anaknya yang tadi ia sangat lindungi dari Vyonna. Ia berlari seakan-akan ia telah dikejar dan ia adalah mangsa satu-satunya yang masih selamat. Vyonna terdiam dan tidak tersenyum. Ia menundukan kepalanya ke tanah lembek. Dan ia membungukkan badanya seraya menatapi bayi itu. Menangis dan polos.

“Sh, sh, tenaglah anakku. Aku akan memberikanmu yang terbaik. Aku akan melahirkanmu kembali.” Seketika itu, ia merangkulkan Charlie yang masih terbalut selimut tebal dan segera… ia membantingnya ke tanah!

Berakhir dengan suara dentuman keras.

Tangisan polos itu berhenti dengan salutan suara petir. Bagaikan seorang Zeus yang memecah keheningan dengan melemparkan kilatnya dengan marah.

Vyonna menangisinya. Ia menyesal bahwa ini menjadi satu-satunya cara agar ia mencapai sebuah tujuan.

###

HUJAN mulai mereda.

Tak lama setelah sebuah keheningan ia rasakan, Vyonna mulai mencabik satu persatu tangan, kaki dan merobek kult lembut sang bayi sehingga nampak cipratan-ciprataan darah.

 Vyonna langsung mencengkram tangannya dalam beberapa cabikan daging dan melahapnya dengan mulutnya yang merongga luas. Ia menikmatinya dengan bunyi decak lidah yang nampak lapar. Sekali lagi ia terus merobek kulit-kulit halus sang bayi. Ia terus memakannya. Darah dan beberapa sobekan daging kecil menempel di baju compang-camping miliknya dan di sekitar area mulutnya.

Ia kembali berbicara sendiri layaknya ia biasa lakukan.

“Seharusnya cara ini bukanlah lebih baik daripada itu, tetapi aku telah mengatakan kebenaran. Dan ibumu telah menerimanya dan menyerahkan kau, anakku, kepadaku yang malang ini. Maka, biarkanlah aku melahirkanmu kembali. Melalui cara ini, biarlah kau kembali hidup dalam rahimku dan kau akan lahir kembali sebagai anakku yang sesungguhnya. Dan hingga saat itu tiba… hingga…” Tiba-tiba kerakusannya berhenti, dan ia mulai menangis.

Apa? Apakah ia akan menjadi bayiku yang selayaknya? 

Ia menengadahkan kepalanya ke atas permukaan langit, seakan-akan sedang mencibir atas Tuhan-nya. Vyonna teringat masa-masa di mana ia mencoba membuahkan bayi-bayi sebelum ini dalam rahimnya.

Dan ia selalu gagal.

Tetapi, ia merasa yakin tentang bayi ini. Ia yakin sekali, maka ia kembali melahapnya dengan senyuman sseorang ibu yang mengharapkan penuh, kehadiran buah hati tercintanya dalam pelukan kasih sayang.

###

KOTA Caracas takkan pernah menjadi sesepi ini. Seharusnya Vyonna benar-benar sudah membunuh Stephen Lang sebelum ia menikahinya, sehingga ia tak tahu apa yang telah menimpanya.

Seharusnya Vyonna hanyalah menjadi seorang wanita buruh yang bahagia dan bekerja paruh waktu dengan gaji yang cukup lumayan. Dengan senyumannya yang dulu, bahkan ia dapat menjadi seorang model terkenal. Senyuman yang dulunya begitu manis.

Tetapi…

Kehilangan atas kebenarannya itu telah membuatnya benar-benar tidak waras.

Ia sering mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan yang seringkali tak dapat ia jawab. Seperti menatap sebuah cermin kaca dan setiap kali kita bertanya, ia akan mengikuti semua tindakan kita dan tak pernah membalas—kecuali jika kita menjawabnya sendiri. Layaknya sebuah mahluk tercipta tanpa maksud; sama sekali tak bermakna dan berguna.

###