KISMET 05: Caretaker of Hamadant

Caretaker of Hamadant
Khakis
1922

MANUSIA adalah mahluk yang rapuh. Kulit, daging, rambut, dan sebagainya. Semuanya tidak akan pernah abadi. Semua pastilah akan termakan usia dan, tahun pertahun semuanya akan segera berkurang dan memudar. Seperti menulis sebuah tulisan di permukaan pasir yang tak lama pasti akan hilang terbawa arus. Kita takkan pernah tahu kapankah arus itu akan membawa kita. Tetapi, kematian itu pasti akan datang. Pasti. Dan bagi seorang penjaga makam seperti si tua Khakis; semuanya adalah hal yang sewajarnya. Bahkan si tua ini telah lebih dari separuh abad umurnya dalam pengabdiannya menjaga Hamadant—sebuah tempat penguburan massal di kota Graz, Austria.

Perang masih berlangsung. Oleh sebab itu pemakaman ini tidak pernah sepi. Dalam waktu seminggu, mungkin sudah ada satu atau dua orang lagi yang ia gali lubang kuburnya. Dan seperti biasa, dia pulalah yang menjaga seluruh kuburan yang luas ini.

Sang istri dahulu kala begitu baik menemaninya dan sama sekali tidak mengeluh akan kabut tebal; yang entah itu dari kabut kota Graz yang hampir setengah remuk ataupun karena asap peperangan yang selalu melayang-layang di udara. Sang istri seperti biasa selalu membawakan sup kacang merah kesukaan Khakis yang kebetulan memang tak mempunyai gigi yang tak begitu kuat mengunyah.

###

SUDAH sekian kalinya hari ini ia menggali dan menggali. Khakis mengelap keringat dari dahinya yang semakin lama botak dan rambutnya yang semakin lama menjadi kelabu terang.

Dari kejauhan ia melihat Kristantine dengan selendang merah yang dipakaikan di sekitar kepalanya yang agak bulat.

Kristantine yang sudah berusia kurang lebih 60-an dan masih terlihat cantik, nampak mempesona sekaligus bijaksana.

“Sayang, ini… Aku bawakan makananmu…”

Ah! Ia pasti membawa sup itu… Oh tidak lagi…

“Ah ya! Di sini sayang!” Ia sesayup memanggil istrinya di antara kabut tebal.

Siang dan berkabut. Hal yang biasa bagi Kota Graz. Kota yang dipenuhi dengan aroma peperangan dan mortir. Tetapi, keromantisan dua tua ini tetap terjaga di antara reruntuhan dinding dan pesona benci antara sekutu-sekutu di penjuru bumi.

“Ini,” Kristantine menyerahkan sebuah bungkusan sembari mengajak Khakis tua duduk di salah satu bebatuan.
“Ah ya!” Khakis mengambil bungkusan—berisi rantang makanan terbuat dari perak—yang diberikan dengan manis oleh Kristantine.

Khakis segera berputar-putar melihat kuburan lain dan menaruh rantang makanan itu di tanah dengan perlahan, “Óh! Rupanya aku belum selesai! Tunggu sebentar ya—”

“Ah tidak lagi, kau harus makan sayang. Ini sudah siang sekali. Kau belum makan bukan?”

Ya! Tetapi sup kacang—

“Kau tahu, uhm… Aku tidak begitu lapar…”

“Bukankanh setiap orang yang semakin tua akan semakin seperti anak kecil…”

Eh…

“Kau sayang…”

Khakis mencibir sambil kembali duduk di samping istrinya dengan malas, “Baiklah, tetapi sedikit saja…”

Kristantine hanya tertawa kecil. Keriput dan lesung pipitnya yang hampir berbarengan terangkat membuat si nenek tua itu nampak seperti bayi yang baru lahir. Matanya agak sipit layakanya ia orang  Asia.

Akhirnya Khakis makan dengan nampak terpaksa.

Kristantine hanya memperhatikan suaminya makan perlahan-demi-perlahan sembari menatapnya dengan penuh cinta. Lalu ia berkata dengan manis, “Kau tahu…” Ia memecahkan keheningan yang dibuat Khakis ketika ia menyuapi dirinya sendiri sup kacang merah yang sebenarnya tidak disukai suaminya tersebut.

“Apa?”

“Aku tahu kau tidak suka sup kacang merah dari dulu,”

Ah! Baguslah…

“Tetapi aku membuatnya karena kau tahu apa?”

Ya… Apa? Aku tidak dapat mengetahui sama sekali alasanmu sayang…

“Karena aku akhir-akhir ini selalu teringat pertama kali kita bertemu adalah karena kau menumpahkan sup kacang merah di bajuku, ingat bukan?”

Ah! Masa itu! Ah ya! Pesta kecil di taman!!! Oh Tuhan, bagaimana aku bisa lupa? Jadi…

“Jadi, aku tidak akan memaksakanmu makan sup ini lagi sayang, hi hi… Aku takut saja kau lupa tentang awal pertemuan kita. Jadi aku sedikit menghukummu.”

“Hukuman? Ini? Kau salah Kristantine-ku. Aku suka sekali kacang merah ini dan… aku selalu ingat saat aku menumpahkannya di… blus putihmu yang selutut itu bukan, dengan hiasan rumput thyme kecil di salah satu sisisnya dan…”

Kristantine tersenyum. Ia segera mengambil rantang sup itu dan mengambil sendoknya—

“Áku… senang sekali kau berkata demikian Khakis…”

Di antara keheningan nisan-nisan dan kabut itu Kristantine tercinta menyuapi sang suami dengan penuh pandangan bahagia. Dan Khakis pun hanya tersenyum sembari mentertawakan kebodohan kecilnya.

Sup kacang merah… Ah sayang… Tentu saja aku tidak akan pernah lupa lagi…

###

MASA itu kini telah berakhir. Realita yang sesungguhnuya… Istrinya telah seminggu yang lalu meninggal. Dan semua itu telah membawakan kepedihan bagi si tua itu yang semakin lama kehilangan rambut di pelipisnya yang kian licin. Sifat periang kini perlahan memudar. Seperti hendaknya ia kembali ke asal.

Kegerangan dan sifat tidak bersahabat mulai ia tunjukan pada siapa saja yang mencoba berbicara dengannya.

Khakis sadar bahwa perilaku yang ia bentuk sekarang adalah karena penyangkalan. Dahulu ia merasa bahwa kesenangannya menjadi baik adalah karena sang istri tercinta, Kristantine. Dan semenjak senyumannya menghilang maka senyuman di wajah Khakis pun akan segera menghilang. Sebagai sumpah sejati atas tanda cinta. Semakin tua semakin setia. Dan penyesalan itu ia bawa setiap hari. Dengan lentera di tangan dan sebuah sekop tua berkarat yang ia gunakan tiap hari dalam menggali gundukan-gundukan yang tidak beraturan dan mencabuti rumput-rumput liar.

Semakin larut dan penyangkalan semakin menjadi. Kabut menebal dan sekop itu masih ia pegang seraya dengan lentera minyak yang semakin meredup karena angin selatan yang bertiup kencang. “Nampaknya salju akan segera turun malam ini,” Ia berkata sendiri di heningnya malam beku Hamadant. Di antara rerumputan yang hampir tak terlihat oleh semakin menghilangnya cahaya bulan yang tersaput kabut tebal.

Khakis terus melanjutkan jalannya. Ia dapat dengan mudah mengenali jalur-jalur jalan setapak tanpa mengenai satu batu nisan ataupun batu dan pohon. Karena sudah lebih dari sekedar lama ia tinggal dan menetap di sini. Khakis secara tak resmi dapat dinyatakan sebagai 'penghuni tetap' dari taman kuburan yang luas ini.

Pemilik aslinya, Tuan Maxine Roenolf adalah seorang pria dalam usia bayanya yang prima. Dengan setelan jas yang apik dan sebuah cerutu di mulutnya yang selalu mengucap kata-kata yang selalu berkomentar dan menyindir.

Khakis sang penjaga makam selalu tabah selama ini dengannya.

Tetapi… Kesabaran pun ada batasnya. Dari menghina sampai pukulan fisik pernah ia terima. Tetapi ini— Oh! Betapa pedih sang penjaga makam ini. Hanya karena ingin meminta ia untuk dikubur dalam lahan pemakaman yang sama dengan sang istri tercinta. Dan apa yang didapat? Sebuah penghinaan besar dan sebuah pemecatan. Roenolf itu tak sadar bahwa ia telah mendapatkan kerugian besar. Tetapi ia tak peduli. Yang ia pedulikan hanyalah uang dan lahan yang penuh. Dan segera sang pria bedebah itu pun berkata dengan angkuh, “Kalau tak salah, pemiliknya yang dulu—Tuan Hassel memberimu lahan secara cuma-cuma untuk jasad istrimu bukan? Tuan penjaga makam yang baik, semenjak kau telah kupecat. Maka, aku minta lahan itu kembali. Malam ini kau silakan bawa jasad istrimu… Entah kemana, yang jelas tak ada lagi lahan secara cuma-cuma di Hamadant ini… ini…”

Khakis sudah enggan untuk mengingat ucapan pedih tuan Roenolf tadi siang itu. Ia hanya ingin melupakannya. Sangat menyakitkan.

Oleh sebabnya malam ini ia kembali kepangkuan nisan sang istri tercinta. Mau tak mau ia harus membawa jasad sang istri dan membawanya; entah kemana. Ia masih pasrah dan terus berjalan di antara kaburnya jalan setapak. Arti dari dinginnya kabut itu tidaklah sama hari ini sebab kabut ini telah membawanya kepedihan. Dalam luka sayatan dalam penghinaan terbesar yang dilakukan oleh tuan Roenolf pada dirinya.

###

TAK beberapa lama. Ia telah sampai di nisan Kristantine tercinta.

Khakis menatapi batu nisan yang masih tampak bersih dan berukiran apik tersebut. Perlahan, ia mulai berlutut dan tampak hening seraya menutup mata. Tangannya merapatkan jaket tebal abu-abunya yang menyelimuti tubuh kurus sang penjaga makam itu. Angin semakin mencekam tubuh dan menyerang. Air mata yang ia teteskan seakan hampir membeku di pipinya dan tak mau turun.

Butiran-butiran salju perlahan nampak dan turun secara acak. Ubun-ubun Khakis merasakan butiran-butiran itu di kepalanya yang sudah begitu tipis akan rambutnya yang putih—secerah perak. Dingin dan basah. Matanya kembali terbuka. Keheningan itu terganggu. Khakis kembali berdiri dan segera mengenggam erat sekop yang ia bawa tadi. Dengan segera ia menancapkan ujung sekop itu di tanah lembek sekitar batu nisan istrinya. Khakis nampak menahan haru seraya menggumam, “Ma-maafkan aku Kristantine. A-aku tak dapat memenuhi janji kita. Tetapi, aku bisa merubah tempatnya saja bukan sayangku? Marilah kita pergi dari daerah ini.ke daerah yang dulu sering kita kunjungi. Marilah…” Ia terus bergumam sambil terus menerus menggali lubang di lahan lembek itu.

TAK! Sekop berkarat itu nampaknya telah menyentuh bagian keras dari peti sang istri tercinta.

“Ah Kristantine. Sebentar lagi. Tunggulah. Aku akan membawamu ke taman itu. Aku… aku telah menyiapkan perahu kecil untuk kita. Kita harus menyebrangi sungai itu dahulu bukan sayangku?” Terus menerus ia berbicara pada sebuah nisan kosong seakan-akan nisan itu membalas dan mendengar apapun yang Khakis katakan. Wajahnya tetap tersenyum dan semakin lama ia telah melupakan sedihnya. Senyumannya kembali hangat seperti ketika ia masih bersama Kristantine.

Khakis terus menggali dalam. Dan semakin ia mendekati peti itu, semakin ia melupakan sekopnya dan segera mengeruk tanah-tanah itu dengan tangan kosong beserta kuku-kukunya yang agak tumpul. Dingin dan kotor. Ia merasakan dingin menusuk ke dalam ari-ari kulitnya.

Akhirnya, setelah sekian lama ia dapat melihat kulit peti sang istri tercinta—

Ia hanya terdiam. Namun 'Haru-dalam-Hening' itu segera dihentikan saat Khakis segera melanjutkan sembari menahan perasaan pedihnya. Ia amat terhina dengan ini semua. Tetapi ia tidak boleh dendam, ia tidak boleh menjadi jahat hanya karena ini. Ia sangat yakin Kristantine tidak menginginkannya demikian. Ia amat yakin bahwa keinginannya dengan sang istri adalah sama; dalam kehidupan dan kematian mereka akan selalu bersama. Selamanya.

Ia pun akhirnya melanjutkan… membuka peti itu—dan…haru akhirnya tak tertahankan.

Air mata keluar dari kedua kelopak mata Khakis dengan deru dan perasaan cinta saat ia mengetahui sang istri sudah tak di sisinya, menghilang bagai kabut yang seharusnya menghibur lembah. Ia merasa diabaikan. Mata sang kekasih yang menutup di dalam peti. Nampak beda dari keriangan dan senyuman layaknya orang Asia.

Kristantine-ku. Tak bergerak…

Khakis dengan sekuat tenaga, sembari menahan air mata itu yang membanjiri seluruh permukaan pipi keriputnya—di antara kabut yang semakin tebal dan angin yang semakin menusuk, mengangkat jenazah setengah busuk sang istri dengan kedua tangannya yang masih kotor akan tanah lembek dan lembab.

“Marilah… sayangku…”

Bau busuk itu sempat terpikirkan, namun ia segera melupakannya saat ia melihat sebagian dari jasad sang istri masih utuh. Ia tak dapat membayangkan bahwa benda yang dipangku di tangannya ini adalah Kristantine yang dulu selalu menyuapinya sup kacang merah dan yang selalu memberinya semangat dengan tawa manisnya.

###

PERAHU yang begitu sempit, perahu yang hanya terbuat dari kayu pinus reot.

Sungai yang begitu dingin.

Sekarang, dalam benak Khakis hanya dapat memikirkan lahan itu, lahan di mana ia pernah melamar Kristantine-nya. Sebuah taman di tengah danau. Taman yang penuh dengan nuansa aprikot segar dan bunganya yang selalu nampak berguguran. Si tua Khakis kembali tenggelam bersama dengan kabut yang semakin menebal… Kata pertama sang calon istri… Sebuah janji…

###

BUNGA dari pohon aprikot itu menjadi sebuah titik utama bagi si Khakis, seorang pemuda berambut hitam tebal untuk melamar seorang gadis yang awal perkenalan mereka yang cukup khas; Pertengkaran kecil karena sebuah sup kacang merah yang tertumpah di rok sang gadis manis tersebut. Sang gadis berwajah sayu dan selalu nampak akan tersenyum itu bernama Kristantine Abel, seorang putri pembuat sepatu.

Tetapi bagi Khakis hari ini, gadis itu adalah alasannya untuk mengukuhkan kedewasaan dan keberaniannya dengan mengucapkan kata-kata itu—

“Khakis, apa kau di sini?”

Dia datang!

Segera, Khakis yang penuh semangat itu merapikan rambut hitam lebatnya dengan jemari-jemarinya yang nampak kuat. Ia merapikan blazer abu-abu dan dasi kupu-kupu merah yang ia pakai. Lalu ia mengeluarkan sebuah kertas dan ia membacanya begitu berhati-hati…

Baiklah, bunga mawar,. Engkau… Bulan… Ah! Apa itu…Bu-bulan apa?

Saat itu pula muncul seorang gadis cantik berambut agak coklat dan berkeriting sampai sebahu, dengan sanggul yang menjulang ke belakang layaknya boneka porselen yang dahulu sering Khakis perhatikan di rumah pamannya yang pembuat boneka.

“Ah Kristantine! Di sini! Kau… uhm, kau naik apa?”

“Uhm… tentu saja kapal! Kau kira aku berenang ke sini bodoh?” Ia tertawa kecil sembari menepis jejatuhan bunga-bunga aprikot tersebut. Siang yang begitu damai dan kabut tidak begitu tebal.

“Jadi… untuk apa kau mengajakku ke tempat aneh ini Tu-an Khakis?”

“Uhm… Baiklah, sebelumnya…”

“Ya—”

Oh tidak! Aku lupa awal puisinya!!

“Khakis!”

Aku, apa langsung saja ya?

“Khakis, jadi kau mau bertemu untuk apa hari ini?”

Baiklah, ucapkan dengan berlutut. Ah tadi… Ka— Menatap mata…

“Khakis!!!” Kristantine menaikkan nada sembari hampir marah, mendekati Khakis yang sedari tadi nampak kebingungan dan, memandangi permukaan rumput hijau di taman aprikot yang dikelilingi sungai tersebut—

“Kristantine, maukah kau menikahiku?”

A-apa! Sungguhkah Khakis? Sungguh?

Kristantine terdiam. Lalu memandangnya dengan penuh kesungguhan. Segera, ia menitikkan air mata dan langsung memeluk pujaannya itu yang nampaknya tidak menduga reaksi Kristantine.

“A-aku senang sekali, aku sungguh—”

“Uhm… Jadi jawabannya?”

Kristantine menatap wajah polos pemuda itu.

Ia memandangi alis tebal hitam yang memukaunya sedari dulu, dan segera berucap sembari menampar pelan pipi kiri Khakis—

“Tentu saja… 'Ya', Bodoh!”

Seakan-akan suasana itu menjadi semakin lengkap saat kabut mulai menutupi mereka yang saling berpelukan, berciuman penuh dengan kehangatan dan bunga-bunga aprikot jatuh di antara kehangatan itu.

Lalu di balik kabut-kabut tipis tersebut, Kristantine berkata, “Aku hanya ingin kita bersama, baik susah atau senang, hidup atau mati… Khakis, berjanjilah jika suatu saat kita terpisah, kita akan selalu kembali bersama. Bahkan… dalam kematian.”

“Ya sayangku, bahkan saat kematian itu datang, aku… akan bersamamu. Selalu…”

###

KABUT pun semakin menebal, malam pun semakin larut. Si tua Khakis nampak kewalahan untuk mencari taman kecil tersebut. Ia tak dapat melihat apapun kecuali jasad sang istri dan lentera tua yang ia taruh di penghujung perahu kayu reotnya.

“Oh tidak! Kristantine, aku lupa letak taman kita, tolonglah aku sayang!”

Khakis hening tak bergerak, memicingkan kedua matanya, berusaha mencari sebuah pohon besar aprikot yang dulu pernah ia ukir nama meraka berdua.

Tetapi percuma, perang telah menghancurkan semuanya! Khakis tidak tahu bahwa taman itu sebenarnya sudah hancur menjadi ladang debu dan arang. Bahkan ia tak sadar bahwa sungai yang ia lalui sekarang hampir layaknya lautan keruh mayat dan darah.

Tidak! Ia hanya memikirkan mereka berdua. Kristantine dan Khakis. Sebuah kesatuan yang tak terbendung oleh alam!

“Kristantine, kabut semakin menebal. Apa yang harus aku lakukan?”

Kabut itu memberikan bukan hanya sebuah penampilan kasat dari alam, tetapi semua telah membawa tajuk dingin yang sangat. Jaket tebal Khakis pun sudah mulai kehilangan efeknya. Ia mulai menggigil.

Oh udara ini, Istriku, apa kau kedinginan?

Hening

Khakis tua lalu memeluk Kristantine yang terbaring kaku di kapal setengah remuk itu sembari tersenyum.
“Aku… menepati janji kita, Kristantine…”

Sayangku…

Khakis terus menggigil dalam kabut yang semakin padat. Beberapa kali ia dapat mendengar suara dari sisa giginya, bergemeletuk kencang. Badannya gemetar. Dan ia tahu bahwa ia sudah tak tahan lagi. Ia sudah tahu bahwa taman itu sudah tak mungkin lagi—

“Maafkan aku Kristantine, aku tak sanggup mencapai taman kita. Tetapi… aku akan menepati janji kita. Sayangku, aku sudah tak kuat lagi mendayung. Aku… sudah lelah,”

Khakis memeluk lebih erat jasad Kristantine dengan sangat penuh pengharapan. Ia gemetar, kini bukan karena dingin, tetapi karena air matanya mulai keluar. Sebauh memori nostalgic. Lalu Khakis akhirnya berujar, “Setidak sayangku… Aku akan tidur bersamamu malam ini…”

Khakis… menutup matanya dan mereka menghabiskan sisa malam yang penuh kesendirian di sungai taman aprikot. Dan seperti dahulu, kabut kemudian akan menutupi mereka yang saling berpelukan mesra sembari mengucapkan kata-kata yang sepatutnya diucapkan sepasang kekasih.

Pohon aprikot… Sup Kacang Merah… Sayangku…

###

PAGI harinya, Tuan Roenolf dan dua orang pesuruhnya terkejut saat melihat jasad Khakis yang nampak mati kedinginan di antara tumpukan tanah yang nampaknya telah ia gali sendiri. Ia terbaring, menutup mata menghadap nisan sang istrinya, Kristantine.

Tuan Roenolf hanya tertegun dan berkata kepada orang-orang di sekitar yang menemukan jasad si tua itu, “Sial! Ini tidak bagus bagi bisnis! Baiklah, kuburkan dia satu lahan dengan istrinya. Gunakanlah peti yang sama! Mengerti kalian semua?”

Dua orang bertubuh gempal segera mengganguk dan mereka segera mengangkat jasad Khakis sembari melanjutkan penggalian kuburan Kristantine Abel.

Roenolf pun berlalu di antara kabut tipis pagi itu sembari terdiam hening.

###