ARDOR 01: APRILLIA

APRILLIA
Benson Black
2004

MULANYA Benson hanya mengira-ngira seberapa dalamkah lorong jalan di antara apartemen bobrok Campbell Hill yang bernuansa biru lembayung dengan sebuah gedung pucat jingga tak berpenghuni. Dengan awan sore menggantung di atas, Benson masih berdiri di depan. Ia belum berani memasukinya.

Lorong panjang dan becek itu dihuni oleh para gelandangan yang dengan giatnya bersimfoni meraung-raung pelan, sembari mengais-ngais sampah di antara selingan suara pipa-pipa yang bergemuruh.

Ada sekelebatan uap berasap.

Sensasi di hadapan pria berusia 32 tahun itu tak lain dan tak bukan adalah serangan hawa panas dan kesumpekan bagaikan terkurung di dalam bilik pengakuan dosa, seperti saat ia dengan bodohnya terkunci di dalam bilik pengakuan dosa yang super panas di suatu hari di kota asalnya, sebuah kota kecil di sebelah tenggara Iowa.


“Disinikah tempatnya?” gumam bibirnya yang pucat, hampir mendekati warna gading kumel.

Setelah sempat membuang waktu selama dua menit memiliki keraguan dengan bau amis pipis dan sisa makanan di antara dua dinding gedung tersebut, Benson akhirnya memutuskan melangkah, bergerak memasuki lorong yang menjanjikan snickers putih yang ia kenakan akan kotor setelahnya.

Ia masukkan kedua tangannya ke dalam kedua kantong jaket kulit hitam usang yang ia kenakan. Tatapan mata cokelatnya berusaha merunduk 45 derajat, berusaha mati-matian untuk nampak cool dan angkuh. Ia tidak mau satu daripada mereka tiba-tiba menarik entah jaket usang ataupun celana rombeng abu-abu kesayangannya (walaupun dulu ia hanya ’meminjamnya’ dari seorang jock urakan di sebuah acara pesta bir sebulan lalu).

     Setelah beberapa langkah ia memasuki lorong beruap asap tersebut. Indera penciumannya mulai diserang dengan beberapa bau yang sebagian tidak dikenalnya. Ia paham bebauan orang yang jarang mandi, bau kencing tidak disiram ataupun bau bangkai tikus yang biasa ia jebak di rumah saat ia masih kecil, tetapi ada beberapa bebauan yang ia tidak tahu, dan ia pun tidak mau ambil pusing untuk berpikir mencari tahu.

     Perlahan-lahan langkahnya bertambah, Benson sadar bahwa ia mulai memasuki teritori para gelandangan yang dengan seenak jidat bergeletakan tidur dengan alas kardus ataupun kain tenda lusuh.

     ”Ah, kau pasti bercanda!” keluhnya gusar.

     Bau amis seperti pipis semakin tersiar mengalahkan yang lain. Satu hal yang Benson pikirkan adalah bagaimana bisa para gelandangan ini terlelap dengan kemungkinan besar bahwa lantai trotoar yang mereka tiduri sekarang bisa jadi adalah juga merupakan tempat para gelandangan lain buang air kecil.

     Tetapi, fakta bahwa mereka gelandangan menyadarkan otak Benson bahwa mereka pun yang sedang terlelap manis itu juga dapat melakukan hal yang sama. Bisa jadi beberapa genangan kecil kehitaman jernih di lorong ini juga ’ulah’ mereka.

     Dengan helaan nafas (lebih tepatnya menahan nafas), Benson berhati-hati melangkahkan snicker putihnya melewati selimut-selimut kotor mereka. Dua sampai empat tubuh tertidur terlewati. Tentu masih ada gaungan kecil di belakang Benson, di kejauhan jalur masuk lorong, suara beberapa gelandangan kumel dan bau amis, “Tolong saya… saya… belum makan, saya belum minum, tolong saya, tuan…, bantulah…” Pria berambut keriting cokelat itu pun hanya mengacuhkan. Ia tidak merasa jijk, ia hanya enggan melihat wajah mereka.

     Enggan, bukan jijik.

Kembali Benson mengalihkan pandangannya ke jalanan penuh decak perih dan bau busuk kubangan. Aroma lorong semakin menyengat dengan hadirnya kembali wewangian bangkai tikus yang menguat dan kemudian disusul dengan untaian bebauan sampah-sampah basah seperti sisa-sisa makanan yang mulai terlihat, tergeletak di sana-sini.

“Sial!” ujar Benson sembari  menutup hidung dengan jari telunjuk kanan, memicingkan mata sambil pandangan mata yang terus tertuju, terfokus. Bau itu pun tidak mau kalah, ia semakin menyergap indera dan akal sehat; aroma dari penderitaan.

Tetapi, Benson paham betul akan tujuannya ke tempat ini. Ia tahu bahwa tujuannya hanyalah satu; hanyalah sosok yang berada tepat di ujung gang yang sempit dan kumuh ini yang memanggilnya. Seorang nenek tua berlapiskan mantel panjang usang keabu-abuan, beserta syal merah gelap yang ia lingkarkan di sekitar leher gemuknya; membuat wajahnya yang pucat samar dan seakan-akan telah memancarkan aura setengah redup bulan, nampak bagaikan hampir menghembuskan nafas terakhirnya.

Sepotong roti kumel ia remas halus dengan kedua tangan di sekitar perut gemuknya. Sembari duduk di sebuah kotak kayu bekas, ia merenggangkan kakinya di tanah becek.  Tersenyum  hampa tanpa sebab dan alasan sembari dengan iseng kedua tangan keriputnya sedikit mengambil potongan roti dan dilemparkannya ke tanah menjadi serpihan-serpihan. Pria tengah baya itu tahu bahwa sedang ditertawai oleh sang nenek di hadapannya. Ia menjadi guyonan; membuat seorang pembunuh bayaran sepertinya menjadi sekedar isapan jempol.

Tatapannya ramah namun menghina. Namun sesungguhnya, mata sang nenek yang sipit sama sekali tidak menuju kepada Benson. Ia masih dengan asyik berkutat dengan roti sembari mengerakkan kakinya sedikit.

Asap-asap uap di sekitar semakin menutupi hampir separuh area lorong dan dengan demikian pula menutupi sebagian tubuh sang nenek gempal; Benson mulai prihatin dengan roti tersebut, namun egonya terlalu kuat untuk terlihat lemah ataupun simpatik, pikirannya berkontraksi dan berusaha menutupinya dengan pemikiran sarkasme tercepat yang dapat membuatnya lega, ”Apakah roti itu masih layak ia makan. Maksudku, asap itu begitu kotor. Apakah seperti ini hidup sebagai manusia yang begitu rendah? Menyedihkan…

Dan tiba-tiba…

Sebelumnya, Benson hampir berhasil menghilangkan kegalauan di hatinya. Ia hampir saja tertawa namun kemudian, mata sang nenek gempal pun bergerak menatap Benson seraya kepalanya mendengak.  Ia pun menjatuhkan roti itu dari tangannya seakan-akan sudah tidak tertarik lagi untuk bermain.

Sang nenek gempal berdiri tegak dengan usaha yang cukup lumayan, sekali-kali ia menopang tubuhnya di tembok sebagai pijakan tangan untuk mengangkat tubuhnya, dan suara rintihan sakit kadang menyertai saat ia semakin berdiri tegap, tetapi… ia berusaha penuh, sangat berkeinginan; dan mungkin terkesan aneh namun, Benson dapat merasakan setiap tenaga yang sang nenek keluarkan.

Dan di sanalah, saat sang nenek gempal telah sepenuhnya berdiri tegap, saat kedua mata hazel Benson mendapati  wajah sang nenek dengan penuh. Tak lagi terhalau oleh syal merah, wajah sang nenek gempal dihiasi dengan hidung bulat ceri seperti lukisan istri Santa dan mata biru yang terkesan jernih dan kosong—biru bagaikan kibaran ombak Atlantis. Walaupun keriput agak menutupi aurat kulit matanya yang agak sipit, tetapi kecantikannya masih terlihat.

Entah bagaimana, tiba-tiba ada perasaan bergidik di tengkuk leher Benson, seperti ada angin dingin berputar-putar melewatinya dan menyisakan rasa iba.

Teror dari seorang wanita tua! Pah! Aku sudah gila, mana mungkin Benson takut dengan nenek gelandangan, pengemis, makhluk buangan macam dia! Acuhkan! Acuhkan Acuhkan! — pikirnya.

”Aku tidak peduli!” ujar Benson memberanikan diri dan mulai melaju melewati para gelandangan yang semakin jarang terlihat.

Ketakutan masih kuncup di setiap degupan dada Benson. Harus ia akui bahwa, nenek itu tidak seperti mangsa-mangsanya sebelumnya. Wajah gempal sang nenek tidak mencerminkan rasa takut, cemas, ataupun keberanian. Malahan Benson merasakan ketegasan dan kekuatan untuk membuat penasaran akan sesuatu yang amat ia ingin perhatikan. Begitu banyak pertanyaan yang muncul dari sebuah pandangan seorang pengemis yang tak pernah ia rasakan ketika darah-darah itu selalu mengucur sebelumnya, mengucur melalui kilatan belati perak berlapiskan rubi merah nan mungil., dengan ukiran naga oriental yang meliliti gagangnya.

Tetapi, Benson tahu ia harus tenang. Ia harus memberikan dirinya sendiri konklusi atas sang korban.

Teror! Itu saja yang terlintas.

Tetapi, Benson pun sadar bahwa ia tidak boleh kalah dengan rasa resah yan semakin menyeruak, ia tahu benar kemana ia harus berjalan dan memang, sudah harus memberikan sang nenek gempal itu rasa tajam dari kilatan sang belati.

Benson pun mulai mengambil belati yang tersembunyi di belakang jaketnya, bersiap-siap.

Beberapa meter mulai terlalui, Benson tiba-tiba mendengar suara itu… perlahan, bagai hampir berbisik dengan nada angin pelan seperti saat si aktor bocah dalam film Sixth Sense berujar bahwa ia melihat hantu.

“Membunuh diriku ataukah memuja diriku…”

Tiba-tiba langkah Benson terhenti. Lirih parau nenek tersebut dapat terdengar.

Jarak antara mereka berdua masih kurang lebih lima meter!

“Apa ini!” Benson merasa tiba-tiba hanya ada dia dan sang nenek gempal itu di lorong tersebut.

Bau sumpek dan asap-asap turut memainkan peran, mereka seakan-akan merobek dan kembali menyusun berulang-ulang tanpa suara. Benson pun akhirnya tersadar… ia tidak dapat lagi melihat gelandangan-gelandangan lain di sepanjang lorong sempit yang baru ia lalui.

Membunuh diriku ataukah memuja diriku…”

Sang nenek gempal kembali berucap lirih dan kini intonasinya semakin berfluktuasi dengan gamblang. “Untuk apa jika itu tak ada manfaat… Dan aku akan…”

Suara halus itu semakin dekat, seakan-akan sang nenek menuju ke arah Benson yang kebingungan. Tubuhnya yang gempal lebih kuat menghadang asap tebal, lantai aspal berlubang dan becek tersebut.

Sosok sang nenek gempal melayang halus seperti awan dalam rekaman video yang dipercepat.

“Black! Black! Benson Black!”

“Sial! Dia tahu namaku! Apa ini? Apa ini!” Jantung Benson berdegup kencang, ia mual seperti akan ada keluar dari kepalanya. Sebegitu ketakukannya sehingga ia mulai mundur beberapa langkah.

Baru saja ia hendak mencengkram kuat gagang belati tersebut namun kali ini ada bisikan, bukan, lebih tepatnya adalah hembusan angin dengan suara, “Kauuuu…” merasuk pelan melalui kedua telinganya. Spontan, Benson menjatuhkan belati kebanggaannya, sang belahan jiwanya.

TANG! Nafasnya terengah-engah. Beberapa kali berusaha membuka dan menutup mata sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat rambut ikalnya ikut membentuk ombak kecil.

I-ini tidak mungkin… Ini…

Beberapa saat kemudian, saat Benson mulai dapat bernafas pelan, atmosfir asap nampak mereda. Ia pun akhirnya tersadar…

Benson tahu bahwa yang ia lihat tadi hanyalah sebuah halusinasi.

Ia masih berdiri lima meter dan nenek itu pun masih berdiri jauh dan tidak bergerak. Belati itu masih tergenggam erat. Dan orang-orang kumel itu masih berada di sekitarnya. Benson merasa dirinya dipermainkan (atau ia merasa mulai terlihat payah), tetapi baru kali ini ia merasa lega berada di sekitar bebauan busuk mereka, para gelandangan.

”Syukurlah…” bisiknya pelan secara spontan.

Tetapi pandangannya mulai kembali menuju ke sang nenek gempal.

Cemas.

Benson begitu khawatir. Sekali lagi ia menekankan ke dirinya sendiri, mangsa kali ini bukan mangsa yang seperti biasanya. Apa ia manusia! Bagaimana ia bisa?

Dan seketika itu pula kebimbangan hatinya hilang.

Sang nenek gempal itu perlahan-lahan beranjak pergi menuju ke salah satu pintu di samping kanannya. Ia membuka dan memasuki sebuah pintu besi berkarat dengan pelan dan selang beberapa detikpun akhirnya ia menghilang.

Merasa tertantang, Benson mulai berlari ke arah pintu tersebut.

Pintu berkarat tersebut sudah berada di hadapannya. Langkahnya berhenti.

Sebelum ia sempat membuka kembali pintu tersebut, seorang pria tua berkulit hitam menarik bahunya dari belakang dengan paksa, “Demi Tuhan, Nak! Sebaiknya kau pergi dari sini……”

Ia berujar dengan nada aksen selatan New Orleans yang kental. Benson sekilas memperhatikan jenggot beruban di antara kulit keriputnya yang nampak serupa dengan warna biskuit Chip Ahoy. Si pria tua berkulit hitam tersebut mendekatkan bibirnya yang tebal ke arah kuping Benson dan kemudian berbisik seperti takut akan ada yang mendengarnya nanti, ” Granny April adalah seorang penyihir! Tidak ada, dan maksudku, benar-benar sama sekali tidak ada yang mau berteman dengannya di tempat ini… Percayalah!”

Sang kakek hitam tersenyum setelah menyelesaikan bisikannya. Kemudian dengan kedua tangannya yang berbalut sarung tangan hijau rajutan, ia menawarkan sepotong roti yang serupa dengan apa yang di pegang sang nenek gempal tadi.

Nampaknya, hampir separuh dari penghuni lorong panas ini juga serta-merta memakannya.

“Granny April? Itukah namanya, Tuan? Apa maksudmu ia seorang penyihir? Kau sungguh berharap aku percaya dengan hal itu?” seraya menolak tawaran roti tersebut Benson hampir saja tertawa, “…maaf sekali pak tua, saya tidak mempercayai hal mistk dan ramuan-ramuan fantasis semacam itu.”

Sang kakek hitam menghela nafas, “Terserah padamu, Nak!” ia mulai berbalik, ”Tetapi… jika kau memasuki pintu itu, aku tidak mau tahu lagi. Sudah kuperingatkan, loh.” dan sang kakek hitam itu pun pergi sambil berjingkat-jingkat menyanyikan lagu, entah apa…

“Penyihir…” Benson mencemooh ucapannya.

Untuk mempercayai kepada hal semacam itu adalah bukan kebiasaan seorang Benson Black. Ia memang berasal dari sebuah kota kecil di pinggiran sebuah county tak begitu bernama namun, seumur hidup selama ia membunuh, tidak sekalipun ia akan pernah percaya karena ia tidak pernah melihatnya.  Kaena jika ia pada suatu ketika seharusnya percaya maka, konsep dari neraka pun akan ada dan ia sadar bahwa setelah ia meninggal, hanya itulah satu-satunya tempat yang cocok bagi seorang pembunuh.

Perkara mudah bagi sang jenius, 'Tidak percaya maka Tidak akan ada!' Mudah bukan? Haleluyah!’

“Baiklah!” Ia  kembali mengacuhkan sekitar dan kembali menatap pintu berkarat tersebut. Penuh dengan graffiti tidak jelas dan ada sebuah tulisan cat merah besar yang menangkap perhatiannya bertuliskan “Si wanita iblis”. Bagi Benson sekarang, jika dilihat dari kejadian halusinasi tadi, ia hampir setengah percaya.

Aw man! Sudahlah! Aku bisa gila, aku hanya ingin membunuh! Itu saja, apakah sebegitu sukarkah kondisi mentalku? Ok, Mungkin saja ia penyihir, atau iblis atau apalah, tetapi Benson tidak pernah kalah, jika Benson mau ia mati, maka 'ia' itu akan mati. Titik. Habis dan tegas.”

Tanpa ragu akhirnya Benson segera membuka pintu itu. Disambut dengan suara derit yang menyayat dan bebauan sumpek dan basah lumut. Begitu gelap. Ia memberanikan diri masuk dan segera… entah mengapa, Benson segera menutup pintu itu.

Benson bersumpah bahwa ia baru saja mendengar suara sang nenek gempal lagi, atau setidaknya, ia merasakan insting kecilnya yang biasanya liar dan tak terkendali untuk menutup pintu tersebut.

Seketika kakinya melangkah masuk, ia menjadi begitu penurut, hingga ia pun terus memasuki ruangan tanpa cahaya itu tanpa pikir panjang.

Tangan kanan Benson  masih terus menggengam erat belatinya. Erat dan ia sungguh takut karena ia mulai merasa terancam akan sesuatu.

Dan seketika itu pula sesayup Benson mulai mendengar suara rintihan nenek tadi, berulang-ulang bagai radio yang rusak. Perlahan-lahan suara tersebut bercampur dan bagai bertabrakan, membentuk pusaran suara yang membuat kepala Benson pening tidak karuan.

Kebisingan menyebabkannya rasa mual, seperti ada sebuah tangan tak kasat mata menarik rambut di belakang kepalanya sehingga ia hampir terjerembab ke belakang. Ruangan nampak berputar; semua aspek dari ruangan nampak berputar-putra dan hanya Benson yang merasa menjadi sumbu rotasi. Ia berteriak dan terus menerus berteriak hingga parau. Pundaknya meregang tegang, begitu dahsyat sehingga putaran itu terhenti.

Benson hampir saja berteriak…

Kegelapan konstan yang kemdian datang menyambut. Lalu… bagaikan awal dari sebuah lagu, muncul letupan kecil tak bernada, diiringi sebuah nyala lilin putih di antara kegelapan. Satu letupan kecil, yang kedua, yang ketiga, dan seterusnya hingga seluruh ruangan sumpek ini diterangi oleh enam lilin-lilin putih yang berbentuk melingkar.

Pandangan Benson terpaku pada sebuah sudut di antara keenam lilin-lilin putih tersebut. Granny April di hadapannya; tersenyum, dan berdiri bongkok seperti mencoba memberi salam namun tertahan oleh sesuatu di punggungnya.

Sekilas Benson mulai menyadari suasana ruangan tersebut yang begitu berkilau. Empat muka dinding bergemilang bagai terbias usapan kilau emas, begitu pula dengan lukisan-lukisan lambang-lambang dan teks-teks aneh yang terpapar berserakan di dinding—di seluruh permukaan sisi dinding yang melingkupi mereka berdua. Anehnya, tulisan-tulisan dan simbol-simbol itu seakan-akan bercahaya kilau emas lebih cerah dan silau layaknya ruangan tersebut.

Benson sungguh terpukau. Semua kekaguman itu pun tak terhenti begitu saja. Selain terpukau pada warna dinding dan tulisan-tulisan aneh berkilauan itu, Benson sadar bahwa  nampaknya, pintu tempat tadi ia masuk kini telah lenyap entah kemana!

Perasaan kalut pun menyeruak tajam.

Penyihirkah?

Ia mulai mempertanyakan ke-validitasan Granny April sebagai seorang makhluk pengemis biasa.

Matanya! Benson memperhatikan mata sang nenek gempal kembali. Tetap biru, malahan… semakin biru benderang terang.

Semua menjadi emas kecuali kedua mata sang nenek gempal.

Apakah dia sang mangsa ataukah aku? Apakah aku yang terjebak selain dia? Apakah…

“Selamat datang Black!” seru Granny April yang parau mengejutkannya dari pemikiran yang hampir saja membuatnya putus urat kewarasan.

Mata Granny April begitu ramah. Namun, Benson tahu lebih baik, ia tidak bisa terkecoh dengan wajah memelas, apalagi wajah sok suci. Alih-alih mencoba bersadar, Benson segera mengacungkan belati tersebut ke arah sang nenek yang mulai benar-benar nampak tidak pantas ditakuti.

Bagi seorang pembunuh macam Benson, ia sudah menganggap si nenek di hadapannya layaknya seorang mangsa ynag memang harus dibunuh. Tidak peduli apakah ia penyihir ataukah pengemis.

“Black…” sapaan Granny April begitu halus. “Mengapa kau membunuh, aku bertanya padamu?”

“!!!” Dan di sanalah semua kegelisahan Benson yang selama ini terpendam mulai keluar seperti cahaya lampu badai yang berpendar di antara jalanan berkabut.

Alasan untuk membunuh…

“Perlukah aku alasan?” ujar Benson perlahan, seakan-akan ia sedang bertanya kepada Tuhan.

Konsep kekuatan akan nyawa seseorang, kesanggupan untuk menguasai sesuatu, kemampuan kasat mata dari jeratan hukum, dan berbagai macam konsep yang mendasari perbuatan-perbuatannya selama ini seakan-akan membeku bagai balok es dan ia tidak bisa memecahkannya. 

Benson tidak  mampu berucap sepatah katapun. Ia terikat di dalam emosi saat, sebuah ensiklopedia pun tak dapat menolongnya untuk memecahkan pertanyaan termudah baginya—seharusnya ia tahu jawabannya. Di mana semua pendeta-pendeta pun tidak dapat membuatnya tenang dalam doa dan nubuat-nubuat yang mereka berikan. Semua doa dalam injil, semua kitab-kitab agama, semua Tuhan di dunia! Semua jasa dan raganya seakan remuk sembari berputar dan tidak mau, tidak dapat berhenti.

Ya Tuhan! Mengapa aku membunuh pada awalnya? Mengapa?

Tidak dapat menahan kuasa yang tidak jelas datangnya dari mana, Benson pun berlutut di hadapan Granny April sembari tertegun. Hampir saja si pria paruh baya itu mengeluarkan air mata. Hampir saja.

“Mengapa kau… a-aku…” Benson berujar dengan nada begitu kalut.

Ia tidak tahu harus bicara apa. Nenek itu membuat matanya berkaca-kaca. Selintas, penglihatan Benson hampir buram karena air mata. Ia sungguh-sungguh mencoba menahan tetesan-tetesan itu, tetapi pandangannya begitu terbatas sehingga, ia yakin dengan alasan itulah ia harus melepaskannya. Benson harus menangis.

Dan air mata itu pun mengalir—
                           
Mengalir karena ia harus melihat nenek itu lagi dan bersiap-siap memberikan jawaban yang semestinya. Benson Black, anak pertama dari empat bersaudara Black itu tidaklah cengeng. Benson Black bukanlah pria melankolis, ayahnya seorang pastur, ia selalu diajarkan ketabahan karena ayahnya meyakini setiap inci jengkal kehidupan memiliki makna dari Tuhan.

Di ruangan emas ini, anak pertama Black menangis demi sebuah alasan! Untuk mencari jawaban atas pertanyaan alasa apa dirinya membunuh? Air mata itu harus ia keluarkan karena ia sekarang mempercayai bahwa air mata bisa saja menghalau otaknya untuk berpikir logis. Ya… itu alasan lagi baginya…

Benson memejamkan mata, dan berpikir keras. Ia mengepalkan tangannya dan seperi video rusak, memutar imaji tentang aksi-aksi liarnya dengan belati yang masih ia genggam itu. Ia menemukan begitu banyak alasan, tetapi semua itu tidaklah cukup jelas. Bukan itu jawabannya, Benson sadar akan hal tersebut.

Seakan-akan semua hanyalah topeng, lapisan luar dari kegilaan yang terpuaskan. Mencari-cari alasan agar ia bisa terus-menerus membunuh! Membunuh sang pencuri karena ia mencuri; lalu membunuh si duda penggila anggur itu karena ia amat mengganggu dengan suara radionya; dan membunuh sang pelayan di hotel itu kemarin karena ia tidak tahan dengan bajunya yang kotor.

Aku membodohi diriku sendiri… apakah aku sebegitu mudahnya terpancing emosi? Apakah aku bededah psikopat? Ayahku tidak gagal mendidikku, aku yakin itu… tetapi…

”Ya Tuhan! Aku tidak punya alasan yang sesungguhnya untuk melakukan…”

”Apa aku gila? Haus darah? Baiklah, kuakui aku gila,”

“Nenek terkutuk! Apa maksudmu? Jika kau ingin membuatku gila, lupakan! Karena semenjak aku membunuh mangsa pertamaku, aku memang… sudah… gila!” dan sekiranya Benson akan merasa tenang saat mengucapkan kata 'gila' itu. Sebuah alasan yang paling masuk akal dan aku sudah pasrah, ia meyakini bahwa ia memang sudah gila! Tetapi, mana ada orang gila yang merasa dirinya gila, itulah pemikiran berikutnya oleh Benson.

Ia tidak mau menyerah. Lebih baik ia gila ketimbang ia pasrah pada nenek gembul di hadapannya.

”Ah! Terkutuklah semuanya! Terkutuk!!! Aku…” ujar kasar seraya mengacungkan belati ke arah sang nenek. Sinar kilau emas bergemericik di atas permukaan belati seakan-akan disiram oleh cairan emas.

“Kematian yang berdasarkan alasan yang percuma adalah penyia-yiaan energi bagimu Black! Maksudku, untuk apa kau membuang rasa nafsumu, kepuasan batinmu dan rasa puasmu hanya karena sesuatu yang memang tak pernah ada?” Granny April itu berkata begitu elegan seraya memainkan rambut perak panjang sebahunya.

Dada Benson mendadak sesak. Kepalannya mengeras menguatkan emosi. Ia segera berucap tegas, “Kau tahu apa? Apa kau pernah membunuh seseorang? Apa kau tahu nikmatnya saat darah itu menyemburat dan rasa sesal itu…, rasa degup kencang jantung memacu. Lagipula, kau tak usah banyak bicara, Nek. Aku akan menghabisimu sekarang juga!”

Tanpa pikir panjang, Benson segera berlari ke arahnya dan mengacungkan belati itu.

Selang beberapa langkah, Benson merasakan kedua kakinya seperti enggan untuk bekerja sama. Ia mulai kesemutan dari pangkal paha hingga pinggang. Beberepa detik berikutnya ia sadar bahwa ia tidak dapat menggerakkan kakinya.

Langkahnya terhenti, akan sesuatu.

Saat Benson berhenti, di saat itu pula tiba-tiba seluruh ruangan menjadi semakin terang-benderang.

Di seberang ruangan, Granny April membelakakkan matanya dan sembari menatap belati di hadapannya ia memancarkan sinar haru di wajahnya, begitu bahagia menampikkan suka cita seperti lagu-lagu umat gereja dengan tangisan haru. “Belati itu… sungguh luar biasa, Black! Sungguh luar biasa! Aku tak percaya kau telah membunuh lebih dari puluhan orang dalam kurun waktu yang sedemikan singkat.” Mata sipitnya tangan kuat Benson yang masih mengacungkan belati tersebut.

Benson terkejut, ia masih tidak dapat bergerak. Seperti manekin usang.

“!!! Apa maksudmu, bagaimana kau… Tunggu dulu, ini semua jebakan bukan?” Benson mencari ke sekeliling ruangan untuk… entahlah apa, tetapi petunjuk. Rasa cemas yang ia rasakan semakin meninggi. Keringatnya semakin deras mengalir seperti spons terperas paksa.

“K-kau, siapa kau sesungguhnya? Apa kau polisi?” Pertanyaan yang cukup gila. Mana mungkin dia polisi, pikir Benson. Tetapi, ia sekarang sungguh berharap bahwa sekurang-kurangnya sang nenek mengakui bahwa ia seorang polisi atau apalah yang berkesan manusiawi. Benson begitu khawatir akan kewarasannya yang mulai rapuh.

“Lucu sekali Black!” Ia mendekat dengan kecepatan yang lambat, sambil memain-mainkan rambut peraknya ia lalu menyentuh bahu Benson lalu merangkul dan memeluk hangat tubuhnya yang masih terbalut jaket kulit usang itu seraya berkata, “Aku adalah wanitamu, karena engkau sudah sedemikian berharganya bagiku.”

Kakiku? Benson menyadari bahwa rasa kesemutan itu mulai pudar. Ia bisa merasakan dan menggerakan jemari kakinya di dalam snicker miliknya.

Seraya dengan usaha keras, Benson mengibas lengan sang nenek lalu kemudian segera mundur beberapa langkah menjauhi atmostif yang mulai tidak menyenangkan bagi dirinya.

Mata Benson semakin membelalak.  Diacungkan belati tersebut semakin kuat ke wajah keriput Granny April. “Ji-jika kau mendekat lagi aku… harus membunuhmu, Nenek Tua!” Benson memberikan isyarat dengan nada yang terkesan berani. Namun kedua kakiku menyatakan sebaliknya; mereka nampak sebegitu gemetarnya bahkan ia hampir yakin bahwa si nenek gempal di hadapannya bisa mencium ketakutan tersebut.

Granny April segera tertawa dan berujar dengan senangnya, “Baiklah, tak perlu cemas Benson Black sayangku, sesungguhnya kau memiliki sesuatu yang sebenarnya adalah milikku!” Ia menunggu sebuah jeda.

”Sebenarnya…” Ia menatap wajahku dengan pandangan yang penuh harapan.

”…belati itu adalah milikku!”

Belati? — Benson menatap belati di tangan kanannya yang mulai kehilangan cahaya.

Hampir setengah percaya. Benson sempat terheran-heran selama ini tentang; bagaimana ia bisa pada awalnya mengincar nyawa sang nenek. Selama ini… Mangsa-mangsa yang diambil nyawanya, setidaknya selalu memiliki alibi untuk  Benson habisi, entah apalah itu. Pastilah ada sebuah alasan. Dan hanyalah dialah, sang Granny April yang berada di depannya ini yang sama sekali ia belum menemukan alasan palsu itu.

Oh… itukah sebabnya ia bertanya, “Mengapa aku membunuh?” Membunuhnya? Apakah itu maksudnya?

Aku… ditariknya ke tempat ini? Belati inikah yang menarikku kepadanya?

Sungguh, kegilaan ini luar biasa sinting! Aku harus membunuhnya! Aku harus membunuhnya! Ya Tuhan! Maafkan aku karena hari ini aku harus membunuh tanpa sebab… Tunggu!!! Aku dapat membunuhnya dengan alasan kuat. Dia… dia membuatku hampir kehilangan akal sehat! Ya! Itulah sebabnya aku harus membunuh Granny April sekarang! Inilah alasan tersebut.

Seperti orang kerasukan, Benson mengguman sendirian dalam kilauan emas dan senyuman Granny April. Dalam ucapan terakhir dalam pikirannya yang terbuka seperti halaman-halaman yang tertiup angin, ia menetapkan satu keberanian. Ia harus melakukannya.

“Terkutuklah kau nenek!”  dengan segera Benson berlari ke hadapan sang nenek gempal.

Mati kau…

Ada sepersekian detik suara lembut sang belati menembus lapisan kain perca abu-abu dan sedikit bagian dari syal merah yang Granny April kenakan hingga akhirnya ada sentuhan spesial itu, sentuhan saat mata belati menancap menembus kulit manusia, seperti merobek beberapa kain katun yang lemuk seperti karet dan busa.

Belati itu akhirnya tertancap di dada rapuh Granny April.

Sekilas Benson dapat tersenyum saat aku mendengar suara belati ini menembus dan merobek jaringan kulit sang nenek terkutuk itu, saat belatinya begitu pelan menjilati darah.

”A-aku berhasil?” Benson mundur beberapa langkah.

Ia tidak terlalu nampak puas. Seharusnya ia puas, tetapi alih-alih mendapatkan kepuasan, ia tidak merasakannya sama sekali. Benson kecewa dengan dirinya sendiri. Ia mulai menyadari ada yang salah dengan sang nenek dan belati yang menancap di dada kanan atas sang nenek.

Perlahan-lahan, Benson mundur dan memperhatikan saat berangsur-angsur mantel usang Granny April perlahan menjadi gelap karena tersebarnya darah. Tubuh tuanya yang tersungkur kesakitan. Rintihannya… dan ia membungkuk ke arah sang pembunuhnya seakan-akan memuja orang ang mencabut nyawanya seraya menciumi tanah kayu di bawah kakiknyadengan khidmat.

Dan darah itupun mengalir deras di sekitar tubuhnya. Tetapi…

Ti-tidak mungkin… Benson bergidik ngeri. Ia melihat ketidakwajaran dengan darah Granny April. Dengan kematiannya yang perlahan.

Darah itu semakin melebar melebihi kewajaran.

Benson sering membunuh dan manusia manapun tak ada yang sedemikian mengeluarkan darah sebegitu banyaknya jika hanya dihujam dengan belati. Darah itu, terus mengalir melebar bagai sungai Colorado dan tak berhenti melewati sepatu snickers Benson beserta merayap melalui, melewati dinding-dinding emas itu. Dinding yang terus berkilauan tanpa cela.

Benson tak dapat bergerak. Terpesona dan takut. Ia mencoba mencari lagi sebuah alasan, darah sang nenek sebegitu banyaknya? Apa? Apa? Apa? Kepalanya berulang-ulang menginterogasi dirinya sendiri.

Dan setelah itu. Gerakan darah tiba-tiba terhenti setengah jalan begitu saja; saat keempat sisi dinding di sekitar mereka hampir setengah tertutup oleh sang nenek.

Benson menghela nafas lega. Kegilaan ini berhenti, “Syukurlah!”

Ia merasa tenang dan dapat merasakan bahwa ruangan ini perlahan meredup, lilin-lilin tetap menyala, namun, ruangan ini bukanlah lagi menyinarkan warna emas; tulisan-tulisan dan simbol-simbol menggelikan itu sudah tak bercahaya lagi, bahkan… perlahan-lahan Benson dapat melihatnya menghilang.

Ia tersenyum lega, puas sekali.

A-aku berhasil! Akhirnya! Aku berhasil membunuhnya. Benson berteriak riang dalam hati.

Dan saat ia membalikkan badan,   pintu keluar pun kembali keluar dari persembunyiannya. Ia sudah kembali ke dunia normal, tetapi seharusnya Benson tahu lebih baik—

Tanpa berlama-lama lagi, Benson segera beranjak keluar ke arah pintu karat tersebut.

Suara reot lantai kayu menggema diiringi langkah-langkah kecil gesekan sepatu snickers milik Benson. Suara itu terdengar sesayup, semakin lama melemah dan mulai tergantikan oleh sekelebat suara rintihan yang familiar dan mengganggu.

Saat Benson hampir saja meraih cincin pintu, seketika itu pula intonasi nafasnya berhenti. Walau masih terdengar lemah tetapi ia menyakini (walaupun tidak ingin) bahwa ia mendengar rintihan Granny kembali, “Black! Black! Saksikanlah kreasi apa yang telah kau berikan pada gadismu ini…”

Pria berambut ikal ini hampir lemas, jatuh, tersungkur tak berdaya. Perlahan-lahan ia membalikkan badan ke arah lilin-lilin tadi. Secara perlahan…

Apa yang Benson lihat setelah itu sungguh hampir membuatnya histeris ketakutan—

Dengan begitu cepat, resapan-resapan darah di sekitar dinding mulai mengering… bukan, bahkan dapat dibilang, teresap kembali bagaikan melihat versi ulang dari adegan saat darah itu keluar dan menceceri ruangan di mana mereka berada sekarang. Semua noda darah yang luar biasa itu kembali ke tubuh Granny April bagaikan disedot olehnya—Semua sisi ruangan, semua lantai, semuanya bersih, tanpa noda darah. Bahkan darah yang menempel di belati kesayangan Benson. Semuanya seakan tersedot.

A… a-apa! Bagaimana bisa!

Walau tidak kelihatan namun Benson gemetaran setengah mati. Lalu kepanikan itu belum berhenti sampai situ saja, jasad Granny perlahan-lahan mulai bangkit berdiri dengan gerakan yang tidak manusiawi seraya meliuk-liukan tangannya ke atas nampak menikmati sesuatu, kejadian ini terjadi begitu cepat hingga Benson baru sadar bahwa ada suara di dalam resahan dan desahan itu, Granny April sepertnya berujar dengan nada halus, “Oh sayangku, aku menikmatinya; nyawa sang aktris yang kesepian, sang pencuri, sang duda pencinta anggur, sang pelayan kumel, dan oh… bahkan saudara-saudaramu sendiri! Luar biasa! Teriakan mereka, keinginan dan hasrat mereka dan cita-cita itu. Aku… aku dapat meresapinya. Aku dapat melihat mereka dalam darahku, dalam setiap hembusan nafas…”

Entah bagaimana, cara si nenek mengetahui identitas semua korban-korbannya. Benson tidak habis pikir bagaimana si nenek mampu mengetahui semua pekerjaan ataupun status korban-korbannya dalam beberapa tahun belakangan yang ia telah bunuh dengan belati kesayangannya.

Jadi… jadi semua itu benar, belati ini memang miliknya. Tetapi… bagaimana ia tahu aku membunuh…?

Dan tak lama kemudian pertanyaan yang mencuat bagai kuncup mulai terjawab; Benson dapat melihat jelas Granny… tunggu! Yang ia mulai lihat di hadapannya bukanlah lagi si Granny. Di balik mantel usang dan syal merah tersebut ia melihat sesosok gadis muda.

Granny? Di mana ia?

“Inilah aku April, dalam darah dan daging yang telah disempurnakan, atau bisa kubilang, dikembalikan, disegarkan, dilahirkan!” Dan sang gadis, Granny April, tersenyum, memamerkan tangan mulus putihnya, dan mata biru yang sama. Rambut hitam ikal nan panjang. Bibir itu, plum segar menggoda dan lesung pipi yang luar biasa segar. “Aku sebenarnya…” perlahan ia mendekat seraya melepas syal merah dan jaket usangnya. Menanggalkan semua kecuali kaos putih yang tipis dan celana bahan yang compang-camping. Ia melanjutkan perkataannya, “…adalah seorang perapal jauh sebelum masamu. Kau… percaya sihir sayangku, Black?”

“Sial! Mau apa kau denganku!” Benson bergerak menjauhinya, menjatuhkan si belati tanpa sadar.

Perapal? Seorang penyihir? Jadi kakek afro tadi…

“Tenanglah! Aku tidak akan menyakitimu, malah aku ingin memberimu hadiah atas diriku ini yang kini segalanya sempurna.” ujar sang gadis.

“Apa maksudmu Granny?” balas Benson.

“Ha ha ha, Granny?” sang gadis melebarkan senyuman. Benson masih tidak percaya dengan kedua matanya, namun senyuman sang gadis di hadapannya telah menjadi ramuan cinta yang memabukkan dan ia ’agak’ mulai menikmati pandangan itu.

“Tolonglah Tuan Black, panggilah aku Aprillia atau April—itu pilihanmu.” rayu Aprillia.

“…tu-tunggu! Sebelum masaku? Jadi kau… usiamu?” Benson mencoba tenang. Namun mata itu terus menghantuinya, kini dalam rasa gairah yang nikmat seperti saat ia menjambak rambut seorang wanita saat mengiris lehernya yang putih.

Granny April yang kembali muda dan Benson yang merasakan keindahan seorang wanita dari dirinya.

Oh Tuhan! Aku ingin merasakan bibir merah plumnya yang segar!— pikiran Benson mulai meracau.

Ia mencoba bernalar, berakal sehat kembali, “Be-belati ini…” Benson terkejut saat tersadar sudah tak lagi memegang belati tersebut.

”Be-belati?” Apriliia menggodanya dan membungkukkan tubuhnya yang ramping menuju ke arah belati tersebut terjatuh.

Ia mengambilnya perlahan dan mencium ujung belati itu dengan pelan kemudian melihat Benson kembali. “Apa kau bisa mencintaiku?”

A-apa? Apa maksudnya?

“Maksudku, apa kau BISA mencintaiku? Dalam tubuh dan ragamu yang tak kekal oleh waktu. Yang tak abadi dalam rengkuhan alam semesta dan segala macam bintang dan cahaya terang. Sayangku Black, aku memilihmu untuk mendampingiku saat kau menemukan belati itu…”

Tunggu! Aku ingat. Belati itu. Semenjak aku menemukan belati itu, aku mulai membunuh. Apakah… “April… apakah belati itu dapat membuatku membunuh? Apakah aku memang menjadi pembunuh karena benda itu?” Benson tidak percaya ia menanyakan hal seperti apa yang baru ia ucapkan. Namun ia pun menunggu, berharap dengan terengah-engah, apapun jawabannya ia yakin Aprillia tahu segalanya. Aprilliayang muda, segar, dan membara sejuk.

Aprillia lalu merespon dengan senyuman manis, “Ya! Semacamnya. Sebenarnya… belati ini kubuat untuk mengambil nyawa orang lain untuk ditukar sebagai lingkup tahun-tahun kemudaanku. Dan suatu saat, aku begitu bosan membunuh dan aku sengaja memberinya pada orang yang acak, dan pilihanku…” ada jeda sejenak sembari mata birunya berputar memandang tajam seperti ke menembus ke mata cokelat Benson, ” jatuh padamu…”

Benson terdiam.

“Ada apa sayang, dengarkanlah aku yang hina ini. Sesungguhnya aku mencintai segala macam tindak tandukmu saat kau habisi pencuri itu dengan keliaranmu. Aku… aku menunggu saat kau menyerahkan tanda cinta ini kepadaku, dan saat ini memang saat yang tepat. Aku sudah cukup kenyang dengan nyawa mereka yang telah kau binasakan dengan gairahmu itu. Kau…memang dapat diandalkan.”

Ia... apa aku menjadi budaknya? Apa ia memainkanku?

“Kau, kau memanfaatkanku wanita hina!!” Benson begitu marah.

Aprillia seketika itu pula hening dan segera mendekat dan memeluk Benson. Kali ini, pelukannya tidak dapat (atau tidak mau) Benson halangi. Ia menyukai tubuh mulus hampir telanjang itu memeluknya. Hangat dan rasa getaran listirk yang membuatnya ingin mencium dan membelai setiap helai rambut hitam ikalnya.

Benson pun secara tidak sadar—seperti ada sebuah keharusan—merangkul kepala Aprillia dan memberinya pandangan jelas ke wajahnya.

Aprillia berujar pelan menikmati buatan pria paruh baya di hadapannya, “Bagaimana, jika aku berikan separuh nyawaku padamu sayang! Kau… akan abadi sama sepertiku. Aku sudah muak membunuh, sedangkan kau, amat sangat ingin membunuh bukan? Ingatlah sayang! Selama ini kau membunuh tanpa sebab bukan? Dan kau jangan menyalahkan belati ini!” Ia membuang belati itu ke tanah. “Belati ini hanyalah replika dari nafsu orang yang memilikinya, kau memiliki gairah akan darah itu. Belati itu hanyalah sebagai perantara antara aksimu dan otak kecilmu itu.” Ia menatap Benson dengan gejolak sendu, “Sekarang kau telah menemukan alasan untuk membunuh; untuk melindungi yang kau cintai dari usia tua dan mati. Bukankah itu sangat berarti?”

Benson termenung dan ia pun akhirnya mulai tersadar, semakin lama, semakin ia mencintainya. Rasa itu, sukar dijelaskan. Ia terperangkap dalam jebakan sang perapal sebelum masanya itu tetapi, tetap saja ia menyukai rasa tersebut. Ia rela mati deminya sekarang. Selamanya, maka tanpa ragu Benson pun semakin giat membelai pipi Aprillia yang semakin terlihat cerah dan kemerahan seraya berucap dengan senyuman, “Aku mencintaimu dan aku… tidak akan membuatmu mati dalam hal apapun, berilah sedikit nyawamu padaku dan kita akan bersama selamanya…”

Aprillia tersenyum bahagia dan ia memberikkan kecupan hangat pada bibir yang pucat. Getaran hangat dan dentuman jantungnya dapat Benson resapi, seakan-akan ia dapat meneriakkan umpatan-umpatan kasar dan ia tidak akan peduli.

Di sanalah Benson akhirnya sepenuhnya sadar. Bahwa, ia sudah menjadi miliknya—budak atau pelayan, tetapi, ia mencintainya, sungguh! Kini… Benson sudah bisa tenang untuk menghabisi mangsa-mangsa berikutnya, karena dalam darah itu tercipta sebuah karya seni. Dan seni itulah yang akan membuat kekasih, pujaan hatinya, tetap hidup selamanya—menemaniku si pencabut nyawa. Selamanya. “Aku mencintaimu Aprillia… Selamanya, dan kau akan menjadi yang terakhir bagiku.”

###