ARDOR 02: Mindless Symphony

Mindless Symphony
Phillipe Gustafo
1938

REDUP bulan dan deru angin Bosnia masih baru bagi kulit seorang anak polos macam Phillipe. Semenjak orang tuanya tiba di negara yang penuh dengan rasa perih dan geram ini, mereka dalam kurun waktu yang konstan, seringkali bertengkar—meninggalkan Phillipe kecil di tengah-tengah. Suara-suara dan cacian-cacian. Kepalanya diliputi berbagai rasa cemas dan pertanyaan yang terbendung, seandainya salah satu di antara mereka akan memicu pertengkaran.

Dan saat itu terjadi, Phillipe kecil akan segera bersembunyi… Entahlah, lama-kelamaan Phillipe mulai menganggap ini sebagai sebuah gaya hidup. Setiap kali jika ia keluar pada siang hari, ia akan selalu menundukkan kepalanya. Rumah yang ia tempati sekarang memiliki dinding yang tipis. Oleh sebab itu, bahkan untuk menatap, Phillipe menjadi malu. Di hatinya selalu merasa ditekan dan dicabik dengan pertanyaan macam, “Apakah mereka semua mendengar kami semalam?” Dan semenjak itu pulalah Phillipe seakan terbelenggu dengan dunianya yang pasif dan sendiri. Merunduk sedih, tak pernah tersenyum, seperti malam ini; layaknya warga sekitar sudah mengetahui… si anak aneh yang gemar bercengkrama sendiri di taman pemakaman umum Herzog.


Jika saja waktu itu ia dan keluarganya masih tinggal di Montreal, mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Phillipe yang malang mungkin tak akan selalu berbicara sendiri dengan cermin, pecahan kaca, nisan-nisan di Herzog ataupun menangisi keluarganya layaknya mereka telah mati. Mungkin Phillipe tidak akan mengalami kepedihan yang amat saat ia merasa dilecehkan oleh kata-kata sang ayah dan ibu padahal kata-kata itu tidak tertuju padanya. Malu itu. Dan semuanya seakan sudah menjadi konsep dasar dan regulasi nafasnya yang permanen.

Phillipe yang begitu polos, dengan rambut khas belah tengahnya yang coklat dan kusam, bocah yang begitu mendambakan teman bicara. Semua itu ia dapatkan dengan rasa sepi di sebuah taman kuburan umum bernama Herzog. Setiap malam. Selalu. Tidak pernah jera, bagaikan candu baginya. Dimana ia akan berlari dengan tangan terbentang seakan-akan dunia telah di depan matanya; dan lahan bagi orang mati itulah yang menjadi dunianya yang konkrit. Ia merasa yakin bahwa mereka yang tercantum nama-namanya di sana mendengarkan Phillipe berbicara pedih dengan airmata, menemani rasa diam dan pasifnya. Dan ia sudah cukup puas dengan sugesti tersebut.

Rasa yang tiba-tiba muncul itu layaknya hadir seperti malam ini—seperti malam-malam semenjak ia tidak tahan dengan kata-kata cacian itu. Sebuah luapan percaya diri setelah ia merasa nyaman dan senang saat mengetahui bahwa ia sudah terlepas dari teritorial rumahnya sendiri.

Sepotong roti isi tuna ia kantungi di jaket tebal hitamnya yang kusam dan agak lembab. Segera ia berjalan seraya menutupi lehernya yang kurus pucat dengan sebuah syal berwarna orange terang. Dan mulailah ia berjalan. Menantang angin malam yang begitu dingin, hampir mendung dan menyebabkan perasaan bergidik. Dan beserta lolongan serigala-serigala yang agak sayu. Tetapi, langkah Phillipe tetap tak terhiraukan. Ia tetap teguh dalam usahanya mencapai Herzog. Seperti biasa. Ketenangan yang abadi, selalu menemani.

Perlahan-lahan ia mulai melihatnya, gerbang perak yang berkarat dan tinggi, disertai tulisan 'Herzog' tepat di atas gerbang berpintu dua tersebut.

Segera, ia berjalan agak cepat dan begitu cepat hingga ia berlari dan tanpa sadar ia menjatuhkan roti isi tersebut.

Hampir saja ia sampai dan ia terhenti untuk mengambil roti isi tesebut. Dan tangannya terhenti saat seekor anjing kecil meringis lemah, dan ia menatap Phillipe kecil dengan pandangan yang sama; rasa perih karena merasa diacuhkan.

“Nampaknya kamu lapar ya?” Ia menanyakan anjing kecil yang agak kurus tersebut. Ia merasakan simpatik, layaknya ia melihat dirinya pada kedua mata anjing itu. Dan untuk pertama kalinya, di negara yang baru ia tinggali setahun ini… ia tersenyum. Dan senyuman itu bersambut dengan ringisan anjing kecil itu ketika ia mengunyah roti isi yang Phillipe berikan. Phillipe membelai tubuh kurusnya dan sang anjing menyalak pelan, seakan-akan berteima kasih. Philipe mengerti dan segera berkata sambil berdiri tegap kembali, seraya bertolak pinggang dan tersenyum, “Sama-sama anjing kecil…” dan Phillipe segera berjalan kembali mendekati gerbang lalu berpaling sebentar dan melambaikan tangan kepada anjing kecil tersebut yang masih asyik mengunyah.

“… hati-hati ya!”

 Sesaat, wajah perih dari Phillipe sempat terlupakan. Bahkan saat ia bertemu dengan penjaga Herzog; seorang kakek tua bernama Alfonso Berginz—kakek yang kurus, agak memilki rambut perak di tiap sisi kepalanya, dan selalu memakai jaket tebal abu-abu dan syal wol berwarna hitam yang panjang sampai ke lututnya yang kecil. Dan, walaupun banyak penduduk tahu dan memanggilnya hormat dengan sebutan  'Tuan Alfonso', tetapi Phillipe selalu memanggilnya dengan sebutan si 'Kakek Batu Nisan'.

“Halo Kakek Batu Nisan! Hari ini… uhm… Phillipe…” Ia menggigit bibir bawahnya sambil menundukan kepala.

Dan si Kakek Batu Nisan itu segera sadar akan kedatangannya dan tersenyum seraya menopang cangkul kuburnya di bahu kanannya dan membuka gerbang di belakangnya. “Hm! Apa?” Ia bercanda sambil menaikkan alis putihnya yang tipis, “…lagi Phillipe? Sudah berapa kali kau ke sini nak? Apa kau tidak takut?”

Phillipe hanya tersenyum dan segera melewati kakek itu dan berkata sambil memasuki lahan pekarangan awal, “Ah Kakek! Phillipe bukan seperti anak kecil biasa! Aku kan anak si Dokter jenius serba bisa!”

“Ha! Ha! Ha! Ya, ya Kakek tahu, kau memang keturunan si keras kepala Dr. Sigmund Gustafo. Hm… hati-hati saja oke nak!”

Dan Phillipe kecil menghilang di dalam pekarangan itu seraya memberikan senyumannya.

Sekilas Kakek itu mengguman dan Phillipe sempat mendengarnya, “Ah! Akhirnya bocah kecil itu tersenyum juga. Nampaknya tempat ini memang dapat membantumya… Syukurlah…”

Tak beberapa lama kemudian…

Bulan semakin kelam dan awan semakin menebal. Phillipe berjalan agak pelan karena memang taman pemakanan itu tidak begitu terang. Phillipe segera menuju ke lokasi favoritnya, di sebuah nisan seorang prajurit kenamaan dan beberapa lainnya yang tewas karena perang. Nisan-nisan yang tersusun rapi dan berjejer bagai pasukan yang sesungguhnya. Dan ia mulai mengitarinya seraya menyapa halus dengan gapaian di tiap-tiap nisan—yang ia lakukan seperti biasanya.

Dan Phillipe segera duduk di salah satu batu besar yang berdekatan dengan sebuah pohon beringin yang tinggi dan lebat. Ia merenggangkan kakinya dan melepaskan ketegangan tangannya seraya memainkan alur pernafasannya. Sekali-kali ia menguap dan tak lama, ia berkata pelan layaknya berbisik, “Malam semua!” Dan matanya hanya tertuju pada satu fokus—sama sekali tidak sebuah benda, tetapi ia hanya tertegun acak.

“Ternyata…” ia menghela nafas dan berdiri kembali seraya melihat langit yang semakin mendung, “…tersenyum itu menyenangkan ya? Kalian tahu tidak? Hari ini, Phillipe tersenyum. Akhirnya!” Ia melihat nisan-nisan itu seakan-akan mereka juga tersenyum dan gembira mendengar kabar tersebut. “Kalian percaya tidak, Ibu tadi menyiapkan semua makan malam dengan topping tomat! Aw! Phillipe tidak suka tomat! Dan lagi…”

Phillipe terus berbicara dan berbicara tentang keluarganya, tentang kesukaan dan ketidak sukaannya, semua tentang hari ini dan semua kegalauan. Dan ia percaya dengan ucapan dan percakapan ini, esok hari ia akan tersenyum dan menatap jendela kamarnya dengan sebuah senyuman seperti layaknya tadi yang ia alami. Dan nampaknya ia yakin semua akan membaik.

Semua begitu menyenangkan dan ucapan Phillipe terus-menerus tiada henti, semua pembahasan nampaknya keluar dari bibirnya secara alami dan polos, hingga… rintik-rintik hujanpun turun, dan semakin lama, semakin cepat dan banyak, dan akhirnya… hujan deraspun tiba. Phillipe segera berhenti dan mencari tempat berteduh. Ia langsung berlari ke arah pohon beringin lebat tadi.

Tak lama kemudian, Phillipe membersihkan sisa-sisa air di jaket kusamnya, ia membuka jaket dan syalnya yang agak basah. Lalu ia melebarkan jaket dan syal tersebut di sebuah batu, tepat di mana air hujan tidak akan mengenainya. Phillipe segera duduk di bawah pohon dengan hanya memakai setelan tidur biru dan celana bahan putih. Ia mengusap-usapkan kedua tangannya dan meniup hangat. Cuacanya semakin dingin, dan riuh air hujan yang menetes terjam seakan mengacaukan indera pendengarannya. Ia tak dapat melihat yang lain kecuali butiran-butiran air yang nampak bagai kristal kaca ketika mengenai tanah.

Hujan pun berlangsung terus, dan tak lama kemudian, akhirnya mulai perlahan, menderu pelan. Dan di saat itulah Phillipe mendengarnya; suara seseorang mencangkul tanah di sekitar. Ia melirik, mencari sumber suara tersebut. Ia berpikir pasti si Kakek Batu Nisan, dan ia mau meminta tolong untuk sebuah payung atau tempat perlindungan. Ia masih mencari dan ia melihat sesosok tegap sedang menggali sebuah kuburan. Dan Phillipe, entah bagaimana, merasakan ketakutan. Ia tahu itu bukan si Kakek. Dan ia tahu bahwa hanya Kakek itulah yang seharusnya menjaga batu-batu nisan ini. Maka perlahan-lahan ia memperhatikan dari dekat. Deru hujan pun semakin melambat.

Phillipe kecil semakin dapat mendengar suara cangkulan tanah dan suara desahan kesal si sosok besar dan gelap tersebut. Semakin jelas—

“Sial! Kenapa harus hujan! Pekerjaanku bisa terhambat kalau begini… Aku harap si tua itu tidak ke bagian ini.” Sekilas walaupun pelan ia dapat mendengar ucapannya. Suara yang kasar dan tegas. Dan ia pun dapat melihat redup pancaran bengis sosok tersebut; seorang pria dengan jenggot dan kumis yang nampak tidak pernah tercukur rapi. Dengan rambut keriting dan cerutu di mulutnya yang mendengus kasar.

Di balik semak-semak dan lindungan pohon-pohon, Phillipe dapat melihat jelas apa yang pria berwajah seram itu lakukan. Nampaknya ia seorang pencuri makam; orang yamg selalu mencuri sesuatu dari makam orang lain. Phillipe tahu ini karena ayahnya yang seorang dokter juga mengajarkan ia tentang masalah hidup dan mati, seluruh obat-obatan dan cara penggunaannya secara umum.

Maka… Phillipe segera bergegas mencari si Kakek. Tapi…

Ia tidak perlu bersusah payah. Sebelum ia bangkit dari tempat ia bersembunyi. Mata polos Phillipe menyaksikan sesuatu yang amat sangat mengerikan; sang Kakek Batu Nisan datang dan memergoki si Pencuri Makam, dan segera mereka bertengkar dan berkelahi.

Phillipe amat takut. Ini… ini menyerupai rumahnya. Ia tidak bisa bergerak, hatinya ingin pergi tapi tubuhnya seakan-akan tertahan di sana, kakinya terpaku oleh rasa takut dan rasa gigil yang masih tersisa. Semua pertarungan dengan cangkul tanah. Dan semua itu berakhir sama seperti tetes air terakhir yang jatuh di wajah pucat Phillipe.

Sang kakek mati dengan mengenaskan.Luka di sekujur tubuhnya dan lebam di sepanjang tangan dan kaki. Wajahnya hampir remuk oleh cangkul si Pencuri Makam. Matanya hampir keluar… Phillipe spontan tersentak dan hampir teriak.

Si Pencuri Makam segera tahu keberadaan dirinya dan ia segara mendekat.

Phillipe segera berlari. Melewati semak-semak dan batu-batu nisan. Ia melewatinya dan dapat mendengar langkah kaki sang Pencuri Makam yang berlari dengan cepat. Suara rumput yang terinjak dan teriakannya yang parau,“Tunggu kau anak kecil!!!”

Phillipe tidak bisa berteriak, matanya terbuka lebar, dan nafasnya terengah-engah. Namun… ia terus berlari tanpa arah. Dan saat itu ia terjatuh karena sebuah tengkorak. Ia terseret ke dataran rendah dari pemakaman ini dan terjatuh ke sebuah kuburan yang setengah terbuka. Nampaknya ini juga salah satu bekas dari penggalian liar si Pencuri Makam. Ada rasa anti-ketertarikan saat melihat tengkorak dan ulat-ulat yang menempel tersebut. Putih dan daging busuk. Phillipe hampir muntah karenanya. Ia terjerembab jatuh dan tangannya tak sadar menyentuh sebuah kepala tengkorak dan saat itu ia mendengar sesuatu.


Ah! Prajurit! Maju semuanya! Kita harus…


Phillipe segera melepaskan tangannya dan ucapan tegas itu berhenti. Ia bingung dan syok. “A-apa ini?” Ia mencari seseorang, ia merasa tadi adalah seseorang. Dan jika itu adalah seseorang, ia mungkin bisa selamat. Tetapi… tidak ada, sama sekali sepi. Dan ia yakin bahwa sekarang di Herzog ini, hanya ada dia, si Pencuri Makam dan jasad mati si Kakek Batu Nisan.

Sekali lagi ia mencoba menyentuh kepala tengkorak itu…


Cepatlah platoon lima! Pergi ke bagian frontal dan…


“Ah!” Phillipe melepaskan kembali tangannya. Terpana. Tanpa kata. Seluruh kaidah bahasa nampak lenyap dari pemikirannya.

“Apa maksudnya? Phillipe tidak paham! Mama? Papa? Tolong…” Dan ia pun menangis layaknya seorang anak kecil seharusnya lakukan ketika merasa takut dan tak ada lagi yang bisa diperbuat dengannya. Pasrah akan nasib. 

Phillipe pun seraya terisak mencoba memanjat kembali ke dataran atas, secara perlahan agar ia tidak ketahuan oleh si Pencuri Makam.

Seiring matanya yang tertuju ke atas, ia semakin sadar bahwa dataran yang tempat ia jatuh tadi nampaknya tempat utama dimana si Pencuri Makam telah menggali. Karena begitu banyaknya lubang kubur yang terbuka, dan mayat-mayat tengkorak yang berserakan, semuanya tergeletak seperti terbengkalai oleh waktu.

Dan sesekali, seiring Phillipe memanjat usahanya ke atas, ia beberapa kali tak sengaja (atau malahan sengaja?) menyentuh beberapa kepala tengkorak yang terbengkalai tersebut dengan tangan putih mungilnya. Dan suara-suara itu pun selalu kembali, banyak… dengan rangkaian kata dan memori…

Ya! Memori!

Phillipe mulai menyadarinya…


Ah! Sayangku, aku mencintaimu…
ungguh aku ingin kita…

Cukup sampai di sana Hans!
Aku benci dirimu yang hina!

Oh Tuhanku! Maafkan diriku yang berdosa…
Amien!

Selama ini aku selalu hidup dalam kegelapan konstan bagai kematian adalah aku…


Suara-suara itu… Ya! Phillipe mengerti! Phillipe sudah mulai mengerti akan arti kalimat-kalimat yang acap kali tersiar di kepalanya. Mereka, adalah, memori dari orang-orang mati tersebut, atau lebih tepatnya… kepala mereka. Bagaikan radio yang dapat dipermainkan. Phillipe mulai menghapus air matanya dan mulai menampakkan kesenangan batin yang menyentuh. Seakan langit telah benar-benar berhenti memancarkan hawa dingin menusuk. Baju piyamanya yang kusam dan penuh dengan noda lumpur tidak menjadi masalah. Rasa takut itu seakan menghilang dari benaknya. Malahan… suara-suara itu ia cari. Ia cari dan ia lupakan ketakutannya akan si Pencuri Makam.

Ia pun telah berada di dataran tinggi kembali. Ia… Phillipe kecil mulai berjalan dengan satu tujuan; kini, bukan menghindari si pria besar itu tetapi, mencari seongok mayat yang mungkin saja tergeletak tanpa minat di antara nisan-nisan dan kabut tipis Herzog. “Ayo, berikanlah memorimu,” perkataan yang mulai menancapkan teror di wajah mungil Phillipe. Seakan-akan ia telah berganti rupa. Dan sang anak tadi yang ketakutan seakan menjadi seorang pemangsa… Lebih mengerikan di banding si Pencuri Makam.

Satu, dua, dan tiga kepala mayat ia sentuh. Entah bagaimna seakan-akan ia sudah tahu ada di mana kira-kira mayat yang tergeletak hasil perbuatan si Pencuri Makam tersebut dan… semakin lama, ia semakin kuat. Phillipe semakin percaya diri. Ia sadar akan satu hal dari semua memori-memori itu; bahwa ia sebenarnya melebihi kuasa Tuhan! Bahwa ia lebih bahagia daripada mayat-mayat, seonggokan daging busuk tersebut. Phillipe sungguh telah kehilangan senyuman polosnya, dan rupanya kini layaknya separuh iblis kecil yang rupawan.

Pemikiran-pemikiran itu, pemikiran-pemikiran orang-orang dewasa, dan orang-orang sebelum masanya. Semua itu dapat ia selami bagaikan mendengarnya mereka hidup kembali dan bercerita dengan nada echo yang menggema. Rasa mual dan senang bukan kepalang. Dan ia pun selalu membelakangi angin seakan-akan alam sudah tak menjadi temannya. Gila! Phillipe kini benar-benar menikmati mayat-mayat itu selayaknya teman. Semua itu kini benar-benar terfluktuasi menjadi nyata. Kebahagiaan yang semestinya ia dapatkan. Teman bercerita. Ya! Phillipe luar biasa girang. Ia tertawa, benar-benar membentangkan kedua tangannya ke angkasa seraya berlari liar dan semakin lama, semakin gila.

Dengan tangan kecilnya ia mulai menggali layaknya si Pencuri Makam. Dan kesenangannya berhenti saat Pencuri Makam itu tiba-tiba telah berada tepat di belakangnya. Menyekapnya dengan tangan besar berbulunya yang penuh akan lumpur dan batu-batu kecil.

“Bedebah kecil! Mau kemana lagi kau!” Ia segera mencekik dengan rangkulan tangan besarnya. Sesak…

Phillipe merasa tersendak dan ia mulai mencari akal… Mencari. Mencari pertanda, mencari bulan dan bintang di awan kelam itu. Mengingat…

“Mama… Papa… Mengapa kita…ugh! Tidak bahagia di sini?” Ia meringis sembari menahan sakit. “Mengapa Phillipe tidak bahagia di sini, tidak seperti dulu… Phillipe… ugh… Tidak mengerti jalan  pikiran Mama dan Papa… ”

Seketika itu ia mulai kehilangan nafasnya, kesadarannya, kegilaan simpatiknya terhadap mayat-mayat itu. Philiipe mulai menghilang akan kesadaran. Phillipe mulai


DOR!!!


Tiba-tiba muncul sebuah letusan yang luar biasa kencang.

Phillipe sempat merasakan sebuah tekanan hebat layaknya gemuruh kecil gempa bercampur petir di tubuhnya. Sang Pencuri Makam berteriak kesakitan dan melepaskan pegangannya pada leher sang anak kecil tersebut dan… ia pun jatuh ke tanah, terhempas dengan gerakan yang lambat. Dan matanya yang besar masih menatap hampa ke Phillipe. Mata yang masih ingin berjuang untuk membunuh. Dan oh! Seumur hidup mungkin Phillipe akan mengingat mata itu sebagai sebuah penggalan trauma masa kecil.

Seketika itu Phillipe terdiam. Hening. Ia baru sadar ternyata di sekitar baju piyama dan wajahnya terpapar noda darah. Darah!!! Dan ia baru sadar akan pekatnya darah itu. Milik dari para manusia sebelum mereka mati. Ia baru sadar, berdiri tegap sembari memandangi kedua tangannya yang juga bersimbah darah karena terciprat dari si Pencuri Makam yang kini sudah benar-benar tak bernyawa lagi.

“Jadi… darah ini…”

Phillipe tertegun dan tak menyadari kedatangan beberapa polisi lokal. Nampaknya si Pencuri Makam di tembak oleh mereka.

Segera, dua polisi mendekati Phillipe dan beberapa lainnya nampak menyebar. Kemungkinan mereka mencari si Kakek Alfonso.

“Nak! Apa kau tidak apa-apa?” Salah sau perwira polisi yang berbadan agak tambun menanyakan Phillipe yang masih berdiri tak berkedip menatapi tangannya. Sang anak yang nampak akan kekaguman.

“Nak! Uhm…” Ia kebingungan. Phillipe tidak menjawab.

Lalu polisi ynag satunya segera berkata pelan ke telinga polisi tambun tadi, “Hei! Mungkin anak ini masih trauma…Kau tahu lah Jack!” Dan polisi tambun tadi segera mengangguk dan berkata sembari menyentuh pundak Phillipe dan membawanya berjalan, “Ok nak! Paman akan membawamu keluar dari sini, Ok! Ayo!”

Dan Phillipe pun mengikutinya, matanya sudah tak tertuju pada tangannya. Ia sudah menurunkan tangannya yang bersimbah darah itu. Phillipe hanya menatapi lumpur dan rumput-rumput liar. Seperti biasa, di mana khalayak menjadi ramai, ia akan selalu merunduk malu.

Beberapa polisi nampaknya telah diberitahu oleh penduduk sekitar akan kejadian-kejadian tentang hilangnya harta-harta yang dipendam dalam makam-makam saudara-saudara mereka. Kegeraman mereka kini berbuah hasil. Sang Pencuri Makam akhirnya mati seketika. Dan Phillipe sempat bahagia dengan rasa itu. Kepuasan batin yang amat.

Akhirnya mereka telah sampai di gerbang. Nampak banyak sekali polisi dan beberapa penduduk lokal yang kumuh menyaksikan kehebohan ini.

“Hm! Jack! Bornkov! Sepertinya anak ini anak dari Dr. Sigmund Gustafo. Kalian tahu alamatnya bukan?” Salah seorang letnan yang berada di lokasi memberitahu dengan nada yang tinggi. Dan ketika ia melihat Phillipe, ia sempat memberikan jaket hangat padanya yang nampaknya menggigil karena kedinginan.

Kini sudah hampir jam tiga pagi dan suara sirene masih terngiang-ngiang di kepala Phillipe. Dan setelahnya, perwira Jack dan Bornkov segera mengantarkan Phillipe kecil dengan mobil patroli ke rumahnya yang memang tak begitu jauh dari Herzog. Sepanjang perjalanan, Phillipe hanya tertegun dan tak berbicara. Ia hanya berpikir akan satu hal, Tidak paham, pemikiran, memori-memori itu adalah…

Pemikiran itu terus, berulang-ulang di kepala si bocah pendiam tersebut bagaikan radio yang rusak.

###

BEBERAPA menit kemudian…

Kediaman Dr. Sigmund Gustafo.

“Hei! Bagaimana kita mengatakan hal ini pada si dokter?” Jack bertanya sembari menyindir tangan Bornkov. “Well, kita langsung saja! Aku yakin Tuan Gustafo tidak sebegitu menyeramkan… Lagipula…”

Ketika Bornkov sedang asyik menerangkan, Phillipe segera memotong, “Sudahlah ketuk saja pintuku. Papa dan Mama tidak jahat terhadap orang lain kecuali pada Phillipe…” Dan Phillipe tetap menatapi kakinya yang kotor berlumuran lumpur.

Terkejut dan heran. Kedua perwira  itu saling berpandangan dan menghela nafas. Lalu, Bornkov segera mengetuk pintu cokelat yang berada di depannya tersebut. Rumah dengan tatanan sederhana namun agak besar dan memiliki dua tingkat.

Pintu tersebut terbuka dan disambut dengan keterkejutan sang ibu, Nyonya Gabrielle Gustafo. “Ah! Phillipe! Ya Tuhan! Ada apa ini!”

Tak lama, Jack dan Bornkov segera mengantispaasi kekalutan sang ibu dengan keterangan mendetail tentang tragedi di taman pemakaman umun Herzog tersebut. Mereka pun dipersilahkan masuk dan berbincang sebentar tentang keadaan Phillipe. Sang ayah menemani para polisi tersebut dan sang ibu menyiapkan air hangat untuk Philipe dan mereka berdua tidak berkata-kata sama sekali. Sang ibu segera meninggalkan Phillipe setelah ia berendam dalam bak. Satu hal yang terdengar dari sang ibu adalah gumaman menggerutu, “…merepotkan…” Dan Phillipe hanya terdiam menahan pedih.

###

PHILLIPE telah selesai berendam dan kedua polisi tadi sudah kembali ke Herzog untuk penyelidikan lebih lanjut. Perlahan-lahan si bocah itu akhirnya sudah berada di kamarnya, sembari mendengar pertengkaran mereka kembali—

“Sudah kubilang Gaby! Phillipe harusnya kau larang untuk bermain ke sana!”

“Apa kau bilang! Kau sendiri sebagai ayah tidak becus! Sebenarnya kau mau apa setiap hari kita seperti ini!” Mama Phillipe berteriak lebih kencang. Dan Philipe tahu, bahwa tanpa dia pun, tanpa kondisi dan kasusnya pun, mereka akan tetap bertengkar, bertengkar hingga mungkin jika Phillipe mencoba terjun dari lantai dua, mereka juga tak akan sadar.

Tetapi, Phillipe tidak mau menyerah dengan kondisi ini. Dulu, mungkin sebelum malam ini ia mau saja mati. Tetapi! Tetapi kini berbeda. Phillipe kini bukan menjadi lagi seorang murung melainkan bahagia; tentulah dengan kondisi tertentu. Dan… malam ini terlewati dengan senyuman di wajahnya dengan sebuah minat.

###

KEESOKAN paginya,

Phillipe bangun dengan senyuman di wajahnya. Kegelapan yang terjadi dalam waktu semalam ternyata membuahkan hasil yang luar biasa. Phillipe tahu jam seperti ini sang ayah sedang menyiapkan alat-alat kerjanya dan sang ibu sedang memasak sarapan. Dan seketika itu pula Phillipe memiliki pemikiran yang cukup kekanak-kanakan.

Ia segera beranjak dari tempat tidurnya dan pergi ke ruang tempat di mana ayahnya menyimpan obat-obatan dan segala macam racikan ramuan lainnya. Ia memilah-milah beberapa jenis dan ia mencampurkannya dalam sebuah gelas kaca. Ia mengaduk yang merah, serbuk kuning, cairan menthol dan beberapa serbuk yang serupa dengan daun ganja kering. Lalu ia berikan sedikit garam. Phillipe begitu asyiknya memutar dan mengaduk isi gelas itu hingga semua bahan tercampur dan berubah warna. Dan setelah itu, ia segera membawa gelas tersebut ke ruang dapur.

Ia melihat ke kanan dan ke kiri. Mama nampaknya sedang tidak ada.

Mata Phillipe segera menuju ke tempat panci di mana sup jagung yang Mama biasa buat masih dimasak. Dan, ia segera menuangkan beberapa, bukan, bahkan lebih dari kewajaran, ramuan ajaib Phillipe kecil tersebut. Hebatnya… ramuan itu menyatu dengan sup tersebut sehingga warnanya tidak tampak berubah sama sekali. Dan Phillipe segera mematikan kompor sang ibu ketika ia mendengar suara langkahnnya. “Ah! Mama! Supnya sudah matang,” Ia berkata manis. Ibunya hanya tersenyum. Dan menyuruhnya kembali ke ruang makan dan menemani ayahnya.

Sekilas Phillipe melihat lebam di mata kiri ibunya. Dasar orang dewasa! Gila! Semuanya gila! Ia hanya menaikkan alis dan membuang gelas itu keluar.

Tak berapa lama, sang ibu telah menyiapkan segala macam hidangan di meja. Ayah membaca koran seperti biasa. Dengan pipa cerutu di mulutnya dan kacamata bulat yang digantungkan di kerah bajunya yang elegan. Tentu saja, setelah ini ia hendak membuka prakteknya kembali.

Lalu sang ibu segera menyajikan masing-masing semangkok sup jagung—sup yang tadi telah 'diberkahi' oleh Phillipe. Beberapa potong ayam panggang dan sayur-sayuran matang telah tersaji di meja. Tetapi Phillipe tidak menyentuhnya. Ia hanya ingin melihat hasil dari ramuan itu. Dan semua itu,.semua kesenangan itu akan terjadi, jika saja…

Dan mereka memakannya. Mama dan Papa memakan sup itu. Akhirnya.

Phillipe segera membelalakkan mata seolah terkejut saat sang ayah dan ibu nampak kesakitan.Wajah mereka berdua mulai pucat dan mereka merengkul dada mereka masing-masing. Mereka memberikan wajah yang saling mencurigai, “Kau…” Dan kata itu keluar seolah menuduh masing-masing pihak membunuh. Dan Phillipe hanya duduk di sana terdiam dengan ekspresi kaget. Semua hidangan seakan-akan menjadi berputar dan mereka berdua tersungkur di lantai. Dengan, mulut berbusa dan wajah yang biru pucat. Mata yang setengah terbuka dan hanya putihnya saja yang terlihat. Mati. Selesai.

Ramuan itu berhasil! Ya! Sempurna.

Dan setelah itu… setelah ia yakin benar bahwa kedua ayah dan ibunya telah tewas. Phillipe segera berkata dengan lancar—dan tersenyum riang—“Ayolah! Sekarang berikanlah aku jawaban akan kebingunganku. Sebagai orang dewasa. Aku ingin menjadi dewasa. Ajari aku, seperti layaknya kalian berdua harusnya lakukan sebelum itu. Oh Mama dan Papa. Phillipe harap ini berhasil. Phillipe harap Phillipe dapat mengerti pemikiran kalian selama ini mengganggu Phillipe dengan makian dan cacian kasar itu.”

Sang bocah sempurna bahagia tersebut segera menyambut kedua mayat orang tuanya ke lantai dan menyentuh kepala-kepala mereka dengan tangan mungilnya. Dan ia menunggu sambil tersenyum dan berkata beberapa kali, “Oh! Ternyata… ”, “Jadi selama ini mereka,”, dan seterusnya; hingga Phillipe benar-benar menemukan jawabannya. Jawaban yang selama ini ia hanya dapatkan dalam keheningan. Kini, Phillipe sudah memiliki hobi baru. Kini, ia bukan hanya bicara kepada yang telah mati. Tetapi kini, ia mendengarkan mereka semua yang telah mati. Mudah-mudahan ini adalah jalan baginya, untuk mengetahui cara untuk menjadi semakin dewasa.

###