ARDOR 03: CRIMSON

CRIMSON
Annui
2001

ZURICH. Penghujung musim dingin. Kota di mana keseragaman sudah menjadi intensitas utama alurnya. Hidup para penduduknya yang bagaikan mobil-mobil tersebut yang berlalu-lalang dengan asyiknya di bawah sorotan mentari pagi yang menyegarkan.

Annui belum lama tinggal di sini namun ia sudah menyukaianya Ia menyukai bunyi aliran sungai di samping Katedral Grossmunster dan juga, ia menyukai Swiss karena ia amat sangat membutuhkan rasa dingin.

Annui, si gadis berambut merah yang panjang, dengan mata dan bibir yang juga teramat merah. Ia memang penyuka warna merah. Wajahnya yang terlihat oriental sayu dan pucat memberikan kesan mistikal asia minor yang memukau dengan dentingan dawai beserta semilir angin besertanya. Dan selain itu, ia juga sangat suka segala sesuatu tentang jenis-jenis minuman. Segala macam pelepas dahaga yang paling baik di musim dingin seperti ini seperti; segelas bourbon dengan tiga atau empat es batu atau mungkin yang lebih ringan, segelas anggur merah pinot noir (favoritya) dan sepotong steak tenderloin yang renyah dan panas. Tetapi, segelas sampanye baginya juga agak lumayan…


Annui memang merupakan jenis wanita yang biasa orang definisikan egosentris dan manja. Ia ingin semua kenikmatan dan rasa hangat itu selalu mengalir dan dapat memuaskan semua inderanya yang memang tak begitu mentolerir butiran-butiran salju yang sedang turun sekarang ini.

Cafe Le'Bleu, tempat ia berada sekarang, adalah sebuah cafe bernuansa cokelat dan wangi kayu cedar dan bau anggur yang kuat. Kadang ada sedikit wewangian semacam lavender dan jeruk bercampur menjadi satu. Di ruangan depan ada beberapa orang yang duduk-duduk meminum kopi dalam cangkir teramat kecil sembari menikmati brownies ala kadarnya. Sementara di layout dalam ruangan yang bermandikan lampu neon kekuningan dan kipas bertenaga rendah diisi oleh para pengunjung dengan selera makan dan minum yang lebih berat.

Semenjak ia pindah ke Zurich tiga bulan yang lalu, Annui memang sudah jatuh hati pada cafe bernuansa jazz 80-an seperti ini. Suasana pilar-pilar kayu yang dibuat seperti pilar yunani—dengan gantungan bunga-bunga lavender di atasnya, dan juga tentu, permainan audiophile para tua yang amat sangat memanjakan telinganya dari keriuhan kota Zurich… Semuanya sepertinya memang harus dinikmati oleh siapapun yang amat sangat mengejar sesuatu seperti yang ada di dalam buku semacam ”100 hal-hal yang harus dilakukan sebelum meninggal”. Cafe ini setidaknya masuk golongan 50 ke atas.

Di balik kenikmatan cafe yang memukau, sesungguhnya Annui mulai meremuk di dalam. Sungguh permainan 'Anjing dan Kucing' ini sudah terlampau melelahkan baginya. Dan lebih parah lagi, ia amat benci dengan akhirnya yang selalu konstan. Semuanya, pasti dan akan selalu berujung kepada kematian seseorang, entah siapapun itu. Para orang yang mengejar Annui membuat seakan-akan Annui-lah sang penjahat dan dialah yang bersalah! Bahwa dialah yang membunuh.

Tetapi bagi dirinya, bukan Annui yang sesungguhnya berdosa. Sialan! Rasa sampanye ini mulai semakin hambar. Aku baru saja memesannya dan karena pemikiran tentang mereka… Aku… aku! Ah!

Ia bergidik kesal sekali lagi.

Mengapa!?

Annui selalu penasaran dengan orang-orang yang mengejarnya. Dari luasnya kawasan Alaska, Milan, San Paulo, Kowloon, Bangkok, dan hingga sampai ke Zurich ini, dirinya terus dihantui oleh pandangan mereka, rasa keadilan mereka. Ia begitu benci dengan semuanya itu, dengan teriakan mereka yang khas;


“Hai kau Annui! Menyerahlah pada kekuatan dan berkat Tuhan!”


Selalu saja Annui mendengar ucapan itu keluar dari mulut para orang-orang berbaju putih tersebut yang selalu mengejar dirinya.

Mereka… Mereka merasa Annui-lah dosa dan mereka adalah laskar kesucian. Tetapi, di mana kesalahannya? Di mana dosa Annui semestinya? Ia pun ingin tahu jawabannya.

Setahun yang lalu di Bangkok Annui sempat menangkap dan menginterogasi salah satu dari mereka yang berusaha membunuh dirinya. Annui hanya membiarkannya hidup dengan kedua tangan dan kakinya hangus terbakar, tetapi sial! Dia keburu tewas lantaran Annui terlalu bergejolak. Yang Annui tahu dari saat itu adalah; sebuah organisasi besar berusia ratusan tahun; entah apa namanya, sedang mengincar kekuatannya. Atau lebih tepatnya lagi, berusaha membunuhnya karena merasa terancam akan kemampuan Annui untuk membuat api dengan keinginan.

Sampai sekarang Annui merasa setidaknya sungguh terberkati. Lagipula ia memang benci dingin.

Tetapi… Apa yang telah kuperbuat? Apa aku pernah membunuh salah satu dari mereka atau… Atau mereka mengetahui kekuatanku dan aku dianggapnya iblis yang harus di…

Dengan satu hirupan hangat di gelas berisikan teh camomile, tiba-tiba indera penglihatan Annui memotong pemikirannya ketika seorang pria muda dengan jaket jins biru tiba-tiba mendekatinya seraya menawarkan minuman—

“Hai! Boleh aku duduk di sini?” ia bertanya dengan sopan. Matanya begitu biru terang, rambut pirangnya yang pendek dan wangi memabukkan Annuia. Seperti wangi musky gel rambut yang amat identik dengan maskulinitas. 

Terpesona. Annui hanya melebarkan senyuman seraya menggangukkan kepala dan bertingkah heran seraya menatap ke meja-meja sekitar. Ia harus curiga bahwa pria manis di hadapannya bisa saja salah satu dari mereka…

Dengan waspada Annui mengawasi cafe ini. Ia sudah tahu orang-orang itu—mereka yang berbaju putih—yang menenteng salib perak yang berkilauan kala tertempa sinar matahari. Mereka yang mengincar sang gadis berambut merah. Annui tahu pemburunya ada di sini; mengawasinya—lagi. Dan menunggu saat yang tepat untuk membunuh dirinya.

Tetapi wajah pria di hadapannya mulai meluluhkan kewaspadaannya.

Ah! Mustahil, ia terlalu polos… pikirnya.

Maka, Annui pun berasa mendengarkannya—

“Uhm, dengar, aku tahu ini terdengar aneh tetapi, aku sudah memperhatikanmu semenjak sebulan yang lalu dan… aku…” akhirnya terdengar sebuah suara sedikit terdengar polos seperti masih berumur 17 tahun.

Nampaknya ia pemalu. Ok Annui! Nampaknya ia bukan salah satu dari mereka.

Annui merespon hanya berkata dengan pelan sambil memainkan sendok di cangkir putih tehnya. “Ya… lalu ada apa Tuan…?”

“Ah! Maaf,” sang pria tertawa seraya menaruh gelasnya di meja Annui, “Namaku Cheston Abraham, tapi, kau dapat memanggilku Chaz uhm Nona…?” Ia segera mengambil bangku dan duduk bersebrangan sembari mulai menatapi Annui dengan dengan senyuman.

Dari seumur hidupnya, ia sudah tahu bagaimana berhadapan dengan berbagai macam lelaki, dan ia tahu bahwa lelaki di hadapannya sama sekali tidak berbahaya. Suaranya, parasnya, kulitnya, bahkan pergeseran kulit di kedua pipi tirus Chaz menandakan bahwa ia pria baik-baik.

Annui pun tertawa dalam hati. Sekilas ia tersenyum, melihat gelagat Chaz. Pria yang nampak alami, Lalu dengan segera Annui mulai menatapnya dengan mata merah gelapnya yang bulat seraya mendekatkan wajahnya ke wajah Chaz.

 Anehnya Chaz pun tidak mau kalah, iamendekatkan wajahnya seakan-akan mereka berdua hendak berbicara sesuatu yang amat rahasia. Dan tak lama, Annui-lah yang memecah ketegangan seraya ia berbisik, “Annui. Namaku Annui, Tuan Chaz.” Dan Chaz tanpa ragu pun menatap wanita di hadapannya; dari rambut Annui yang panjang dan merah, berlanjut ke bibirnya yang memang disaput dengan lipstik merah gelap—hampir segelap kedua mata Annui.

Nampaknya Chaz sebegitu terpesonanya.

Annui pun dapat merasakan gairahnya yang menggelora, keinginannya untuk bersamanya, menyentuh tangannya, bercinta dan semua tentang tubuhnya, kulitnya yang polos dan matanya, atau—mungkin itu adalah keinginan Annui sendiri akan Kaum Adam? Apakah ia sendiri yang merasakan ini semua? Itulah pemikiran Annui.

Chaz dan Annui mulai merasakan sebuah getaran kimia yang amat konversif. Sempat terpikirkan untuk segera ia menciumnya dengan bibir merah gelap tersebut.

Annui begitu terhanyut dalam arus pandangan mata biru Chaz yang menawan. Begitu dalam dan semua itu seakan-akan menarik nafas di dadanya yang penuh untuk segera mendekat, mendekat, perlahan-lahan dan hembusan nafas yang hangat mulai menjalar di sekujur tubuhnya.

Kedekatan mereka mulai mempengaruhi sesuatu di dalam tubuh Annui.

Chaz mulai berkeringat. Menatap gadis di hadapannya ke atas dan ke bawah tanpa bergeming dari wajah, dada dan semua jubah dan baju hitamnya.

Annui semakin sadar saat Chaz sudah berada sangat dekat dan tangannya yang kokoh memeluk pundaknya dan seakan dirinya terhanyut dalam hangatnya gapaian itu. Semua aliran udara seakan-akan enggan untuk menghentikan mereka.

Aku… aku begitu rindu akan hal ini. Oh Tuhan! Biarkanlah semuanya terjadi di sini, sekarang! Aku tidak peduli dosa! Aku tidak peduli dengan orang-orang berbaju putih itu! Biarkanlah—biarkanlah mereka berurusan denganku nanti. Oh! Biarkanlah aku membara bukan karena marah tetapi cinta dan gairah ini…

Semua letupan itu dapat Annui rasakan di dada; Sesak dan memabukkan. Indah.

Chaz…

Semua layaknya terhenti. Palung waktu yang dapat Annui  kuasai dengan tangan api. Dengan mata dosanya. Ia memegang penuh kendali atas Chaz dan Chaz pun memegang kendali penuh atas bibir merah Annui.

Hangat—

Annui menutup mata deminya. Chaz… Ia sadar bahwa ia tidak begitu mengenal Chaz tetapi, seakan-akan pria polos itu merasuki pikiran Annui… Pikiran yang panas menggelora sepanjang abad karena amarah tiba-tiba meluluh,  mencair bagai salju di pertengahan bulan Januari

Oh Chaz… Bagaimana kau dapat melakukan keajaiban ini? Apakah ini cinta?

Chaz…

Mereka mengobrol cukup lumayan, tetapi Chaz mulai kehilangan konsentrasi, beberapa kali ia mendecak protes sembari melihat kipas murahan yang masih berputar pelan di atas kepala mereka.

”Panas sekali ya…” ujar Chaz.

Annui hanya terdiam dan terlanjur tenggelam dalam jiwa akil baliknya. Ia menggagumi Chaz, wangi gel itu masih membuatnya mabuk.

Kemesraan itu tidak lagi berangsur lama…

BRAAKKK!! Chaz menjatuhkan kursi yang ia duduki sembari ia berusaha bangkit.

”PA... PANAS SEKALI!” teriak Chaz sembari terengah-engah.

Hal itu terhenti seketika.

Begitu saja. Hilang.

Oh tidak! Jangan lagi…

Ada aliran udara panas kasat mata berputar-putar di dalam cafe tersebut. Terpental-pental seperti menabrak pilar-pilar kayu lalu kembali berputar. Panas itu benar-benar mempengaruhi Chaz. Annui menyadarinya…

Terbakar.

Perlahan-lahan asap mulai menyebar dan wajahnya mulai memerah… Annui mulai merasa ketakutan. Ia begitu takut kejadian ini akan terjadi lagi. ”Aku sudah tahu ini pasti akan terjadi (cepat atau lambat)” gumamnya.

”Ugh… a-apa yang terjadi denganku? A-annui?” Chaz berusaha berdiri tegap, tubuhnya memerah dan berasap. Semua tamu cafe mulai menyadari kejanggalan tersebut dan berteriak.

”A-annui?”

Suara-suara bisikan, erangan kecil dan beberapa peralatan makan yang terbanting tidak sengaja, Annui sudah tahu akan mendengar suara-suara itu…

Oh tidak! Jangan yang ini! Jangan Chaz!

”Aaaaarrrgh!” Erangan Chaz menggema saat tubuhnya mulai melepuh secara cepat. Kulitnya memerah mengelupas dan membuka gambaran baru tentang merahnya daging dan otot. Rambutnya yang indah rontok menguap.

Chaz tersungkur tidak lagi berteriak kesakitan, matanya masih membelalak menatap Annui yang megap-megap.

Di antara butiran-butiran salju yang dingin di pagi yang cerah ini, sekali lagi Annui telah membunuh orang yang sekehendaknya dapat membahagiakan dirinya. Dan ia lakukan itu seakan-akan tahu bahwa dirinya telah dikutuk. ”Aku tidak menginginkan ia mati! Sungguh!” teriaknya. Tetapi sesuatu telah membuatnya sedemikan sedihnya. Ya! Itu adalah dirinya dan pemikirannya sendiri. Gairah Annui yang menyebabkan Chaz tewas.

Sialan! Apakah aku tidak bisa mencintai? Apakah setiap pria yang aku inginkan— Apakah aku harus membunuhnya pula?

Annui segera beranjak dari mejanya dan berdiri dengan imaji teror. Demikian pula para pengunjung yang lain.

Musik itu… berhenti; dentuman bass dan suara berat dentuman bass terhenti dengan singkat. Suara keheranan dan angin dapat terdengar jelas, beserta suara bisingan Chaz yang sudah kering terbakar… Annui  hampir pingsan dan menangis tetapi—

Beberapa pengunjung mulai bangkit dan berlari berhamburan keluar.

Di antara yang berlalu, Annui menatap beberapa yang masih terdiam, berdiri dan nampak menantangnya. Ia tahu siapa mereka.

”Aku melihat kalian. Kalian sudah menunggu saat ini, bukan?” bisiknya seolah-olah pengunjung-pengunjung yang tidak kenal takut itu mendengarkan bisikannya.

Mereka bahkan tak memberiku kesempatan untuk menangisi kekasihku?

Annui pun tak mau kalah. Segera sigap dalam mata dan hatinya, amarahnya ini ia sadari tidak akan dibiarkan turun. Sempat terpikirkan untuk langsung menyerang tetapi ia punya ide gila lainnya.

Annui pun segera duduk kembali dan menunggu…


“Annui!”


A-ha! Mereka mengetahui namaku. Ternyata dugaanku benar. Ternyata aku memang diincar oleh mereka. Organisasi keparat!  Bisiknya dalam hati.

Dalam posisi tetap duduk tenang di bangkunya, Annui melihat ke sekeliling; Pria dan wanita masih berhambura keluar. Ia harus menunggu hingga mereka cepat-cepat keluar tetapi waktu yang ia punya pun tidak banyak. Maka— ia pun menutup mata kembali—Mencoba meresapi bagian terkecil dari cahaya, lilin dan kembali lagi menjadi gelap, dan merasakan saat-saat ia memasuki bara api yang bergejolak dalam setiap tarikan nafas.

Semuanya menjadi kemerahan, terang-benderang dan silau layaknya mentari yang tiba-tiba bangkit dari ufuk barat.

Dan dalam sekejap detik saat Annui mengapai merah tersebut, ia dapat melihat aura-aura jingga dan merah menari-nari liar dari dalam kulit matanya yang menutup tersebut. Ia dapat mendengar jeritan mereka semua.

”AAAAAAAAAAAAaaaaargh…”

”Mundur…”, ”Tidak, ia terlalu…”

Hangat itu dan bukan panas yang membara. Beserta suara-suara tulang dan daging yang terbakar, garing dan kering. Bau dari terbakar. Hangus. Semuanya karena sang gadis merah menginginkannya demikian.

Demi keselamatannya. Demi keselamatan hidup dari sang gadis berambut merah yang menawan layaknya dewi yang mulai langka.

Dunia fana ini sudah mulai kehilangan berkatnya atas yang terberkati. Dan Annui meyakini bahwa ia adalah salah satu dari yang terabaikan.

Mengapa? Mengapa mereka mau meghancurkanku! Kurang ajar! Bedebah sialan!

“Aku adalah dewi yang mulia. Semestinya engkau semua mendoakan aku! Menjilati kakiku dan mempersembahkan rangkaian bunga. Bukannya mencoba menodaiku dengan gapaian tangan kalian yang kotor akan pesona nafsu dan dosa dunia yang tak akan aku mau menatapnya walau sedetik!!!” kutuknya perlahan bersamaan dengan kebisingan letupan daging dan tulang.

Tetapi… Kadang aku menangis dan demi mereka aku mengasihani dunia.

Annui menjadi layaknya api karena dinginnya tempat ini. Ia merasa tidak bersalah. Dan jika siapapun mendekat dan mengancam, ia tentu akan membela diri untuk hidup—apapun resikonya. Mungkin semua orang di sekitarnya akan hilang, musnah, terbakar bersama dengan perjuangannya untuk hidup. Dan oleh karena itu, ia benar-benar tidak bersalah!

Ini adalah tindakan preventif untuk membela diri. Hukum alam yang adil.

###

Akhirnya, letupan-letupan itu mereda dan kemudian menghilang pelan…

Dan semua itu, dalam hitungan menit hancur layaknya debu yang ditiup angin. Para pengunjung cafe, para anggota yang mengejarnya tersebut, sang bartender, sang pelayan-pelayan, Chaz… semuanya lenyap.

Yang tersisa hanyalah perabotan-perabotan dan lampu beserta alat--alat musik yang masih terpampang bersih dari noda perjuangan Annui.

”Oh! Sungguh aku tidak bermaksud seperti ini.” lirihnya.

Dan lebih malang adalah Chazku sayang…

Annui segera bangkit dari tempat duduknya. Seraya ia berjalan, melewati apa yang tersisa dari Chaz,  menuju ke jasad-jasad kering berasap para anggota organisasi keparat tersebut, dengan hentakan kokoh diinjaknya beberapa tulang mereka dan diremukkannya bangkai hangus mereka. Dan oh, betapa senangnya Annui mendengar tulang-tulang mereka yang hancur; begitu rapuh di bawah kakinya.

Jasad Chaz.

Annui menunduk dan bersimpuh di hadapannya. Ia segera membuka jaket hitamnya dan menutupi jasad hangus kekasih barunya yang masih agak berasap. Ia sadar bahwa kini ia sendirian lagi dan, tidak akan pernah bisa lepas dari mereka, yang memburunya, untuk selamanya.

Dan di sanalah akhirnya ia menangis. Menangisi seseorang yang baru aku kenali beberapa menit. Dan juga menangisi jasad-jasad itu yang tak pernah dikenali sebelumnya.

Akhirnya ia tahu bahwa, dirinya akan selalu hidup seperti ini. Di balik bayang-bayang kutukan keluarganya dan mereka… Selamanya.

Di mana ada Annui, di sana ada mereka, para prajurit Tuhan berbaju putih dan bersalib perak. Maka, di sana pulalah akan ada seorang dewi penuntut balas yang akan memberikan konklusi atas hidupnya dengan membeberkan gairah panas yang menggoda iman.

Begitulah ia menyusuri tapakan hari demi hari, bahkan mungkin seluruh sisa hidupnya akan selalu terkutuk dalam dosa yang tidak pernah berniat dilakukannya… seperti saat ini…

Pertanyaan simpel itu muncul kembali…

Apakah aku sekarang masih bisa menangisi Chaz?

Lagi… Annui hanya terdiam, berdoa, membuat tanda salib di dadanya dan beranjak pergi tanpa kata.

”Dunia memang kejam, itu memang… sudah aku ketahui.” lirihnya seraya beranjak pergi dari Cafe Le’Bleu.

###