ARDOR 05: Talking with a God

Talking with a God
Arsen Hougal
1986

SIANG ini adalah sesi kedua bagi Tuan Arsen Hougal. Seorang mantan pesulap, dan mantan pengajar. Kehidupan yang dikiranya sukses kini berbalik arah dan hanya bayangan-bayangan dari rokok murahan dan tenggakan minuman akohol yang layaknya mahal, yang dapat memuaskan arogansinya yang dulu sangat ia banggakan di antara usia muda segala mata yang ia anggap ada di bawah telapak kaki dan tangan keriputnya.

Sifat dan arogansi bagaikan sebuah telapak tangan. Ia… sang mantan pesulap handal. Dan ia pun merasa akan kebenaran itu berpihak daripadanya. Ia merasa bagaikan… Dewa atas segala!

“Saya selalu benar! Kalian selalu salah!”

Setiap hari, ketika ia menjadi pengajar, maka ide tersebut akan ia tanamkan dengan konstan. Selalu. Di balik kericuhan dan ketidak jelasan ucapannya. Tetapi, hanya kalimat itu yang selalu jernih terdengar dan amat ia banggakan. Amatlah bangga dengan segala pengetahuan. Dan… ia berani bertaruh nyawa; Ya! Masa-masa itu, jika ada satu orang yang menyangkal teorinya maka, ia akan berspekulasi dengan taruhan dan membuat hal tersebut sedemikian menariknya dan ia akan bersumpah; jika ia salah; bahkan setelah kematian, ia akan datang dan mengakuinya pada yang menang.


Hantu? Jadi ia percaya pada hal semacam itu? Jadi ia akan mendatangi pihak yang menang dengan wujud setelah kematian itu?

Dahulu… selalu, sang mantan pengajar itu percaya akan hal-hal macamnya mistik—bahkan kemungkinan besar memujanya bagaikan lebah menjilati madu bunga. Tetapi, hari ini; sesi kedua—ia datang karena hal itu. Isu kepercayaan akan sesuatu yang masih selalu diperdebatkan oleh awam dan agama. Kepercayaan akan arwah, roh, setan, iblis, apapun namanya. Ia kini sudah menutup gerbang mata dan telinga untuk ini. Ia kini telah memiliki sesuatu yang amat ia banggakan—lagi, seperti biasa. Walaupun kini dengan situasi yang berbeda.

Ia amat sangat tidak percaya hantu dan hal semacam itu. Tetapi… ia amat mempercayai akan adanya iblis. Dan ini bukan sekedar metaforikal kata bahwa; iblis berada dalam setiap hati manusia dan bersarang. Bukan! Si tua arogan ini sudah merasa yakin akan teorinya dan hari ini, setelah percobaan pertamanya di ruang konseling Dokter Weaver Beagalson ini tak membuahkan begitu banyak hasil bagi pengharapan si tua ini. Kali ini, ia datang. Ke tempat, ke sebuah ruangan yang penuh dengan nuansa kayu dan jendela jati yang sejuk. Ia datang kembali untuk kedua kalinya untuk meyakinkan dokter berkulit hitam itu bahwa teorinya mengenai alam semesta adalah benar. Ia ingin menanamkan ide itu seperti ia selalu menanamkan ide bahwa kebenaran adalah dia… dahulu pada murid-muridnya.

Ah! Dokter konseling ini cukup hebat, ia berhasil menemuiku untuk yang kedua kali…

Entah apa maksud ucapan hatinya—hatinya yang mencurigakan. Dan ia tersenyum seraya membuka pintu ruangan dokter konseling yang bertubuh agak gemuk itu.

Arsen segera mendapatkan dirinya berhadapan dengan si dokter hitam itu dan ia tersenyum. Mereka tersenyum dan seakan-akan mengucapkan selamat pagi pada masing-masing pihak.

Dan percakapan itu pun dimulai. Sesi sebuah diskusi yang menyangkut alam semesta dan kepercayaan…

“Pagi Tuan Hougal! Bagaimana keadaanmu hari ini, Uhm…” Ia menaruh beberapa buku sembari mempersilahkan si tua arogan itu duduk di sebuah sofa merah panjang berkulit yang terlihat mahal dan mengkilap. “Dan, bagaimana kabar si Luztac tuan?

“Hei! Kau mengakui atau menghina dokter?”  Arsen bertanya seraya tersenyum. Jadi… apa ini pertanda bahwa ia percaya?

Sembari ia berpikir, sang dokter berkulit hitam dan bertubuh gemuk itu duduk bersebrangan sembari merapikan jas hitamnya.

“Mungkin saja keduanya Tuan Hougal. Tetapi, aku ingin memanfaatkan saat ini dalam sesi kedua kita…”

“Ya… aku melihatnya.” Dan seketika itu Arsen menunjuk ke sebuah kamera yang terpampang di samping sang dokter. “Aku tahu, kau ingin merekam diskusi kita hari ini bukan?”

“Ah! Kau mengetahuinya. Well! Seperti itulah. Sesi pertama seminggu lalu cukup membuatku kacau. Aku tidak bisa memfokuskan tentang  'Luztac' itu. Dan kali ini…”

“Tapi dok! Apa kau percaya padaNya?” Arsen berkata dengan wajah yang penuh pengharapan akan rasa hormat. Dan kacamata tebal yang ia pakai pun menampikkan cahaya silau mentari di luar.

Ada sebuah keheningan dari si konselor hitam itu. Ia menggumam pelan seraya menghela nafas dan, KLIK! segera ia menyalakan tombol kamera  yang berada di dekatnya.

“Tuhan maksudmu?”

“Ah! Bukan. Aku tidak mau membicarakan tentang semesta sebegitu rumitnya. Aku hanya ingin menanyakan tentang; apakah kau percaya pada Luztac-ku itu? Apa kau telah menerimanya seperti aku menerimanya dalam diri ini?”

Mata sang tua arogan itu memancarkan cahaya yang menari-nari. Dan di balik kacamata tebalnya, sang konselor itu hanya terpaku dan tanpa sadar, ia melakukan gerakan-gerakan seolah-olah mengelak pertanyaan tersebut. Begitu jelas.

Tak lama kemudian, sang dokter alias sang konselor itu hanya tersenyum dan mengalihkan ke sebuah pertanyaan sederhana, ciri khas seorang konselor taraf standar, “Baiklah, bagaimanapun juga. Aku di sini. Maksudku kita di sini untuk mencapai sesuatu bukan. Kita ingin mendapatkan keterangan setara, bukan?”

Bicaranya bagaikan amatiran! Arsen tua berargumen dalam hati sembari kembali merebahkan diri di sofa itu dan menatapi langit-langit yang berlukiskan gambar lukisan khas Da Vinci. Ia menghela nafas menandakan ketidakpuasannya dan memberikan gerakan tubuh seakan-akan ia sudah pasrah dengan konselor gemuk tersebut.

Ah! Aku nampaknya tidak begitu memahami pemikiran si dokter ini? Aku harus mengakuinya.. Entah apa ia sebegitu bodoh atau sebegitu intelek…

“Dok! Aku harus memberimu selamat!”

“? Maksudmu Tuan Hougal?”

“Kau sudah membuatku lelah. Kau sudah membuatku malas memberikan sebuah pernyataan, kebenaran sejati, alam semesta ini dan segala macam dosa di dalamnya. Dosa yang selama ini tertulis atas nama iblis dan sebagainya. Aku tahu itu semua! Dan semua orang yang telah aku temui…”

Ada sebuah sanggahan nafas dari pria kulit putih arogan tersebut.

Tak lama kemudian, Arsen tua menatap dokter hitam dan gemuk itu dengan malas dan seakan-akan kehilangan semangatnya. “Aku sudah bosan dengan permainan ini. Aku… sudah lelah me'wahyu'kan kehadirat dari paras semua mahluk ini.”

Dan dokter itu segera mencatat sesuatu dan matanya berbinar. Ia sadar akan sebuah tindakan yang dapat terjadi—

Maka, ia segera bertanya dengan nada seakan-akan terbawa oleh rasa bosan sang pesulap itu, “Luztac? Jadi makhluk itu, mahluk sperti 'dia' ada lebih dari satu Tuan Hougal?”

“Hm?” Sang pesulap itu nampak tertawa kecil dan kembali menatap langit-langit itu dan seakan-akan senang akan pertanyaan sang dokter tadi, “Aku… Ya! Justru aku ingin membuktikan pada diriku bahwa aku gila. Atau, jika aku benar, maka sebuah wahyu ini, sebuah berita besar ini, haruslah aku wartakan pada semua. Dan kau harus membuktikan kewarasanku dulu Doc! Karena… Karena aku tidak mau memberikan kebohongan atas mitos buatan manusia. Aku mungkin sudah gila Doc! Aku mungkin seorang psikopat dan seorang atheis. Aku… aku mungkin iblis itu sendiri, kau juga Doc! Kau pun bisa seperti halnya Luztac. Yang keberadaanya seperti sebuah keinginan.”

“Tu-tunggu dulu! Aku tidak paham Tuan Hougal! Tujuan anda sebenarnya selama ini untuk membuktikan teori anda sendiri? Anda merasa diri anda… uhm… agak tidak waras?”

“Gila! Ya! Ucapkan saja Doc! Aku tidak keberatan, justru karena sebuah kenyataan ini aku ingin membuat diriku gila! Aku ingin mati, tetapi jika aku mati tanpa menyebarkan ini pada semua makhluk di bumi, maka aku akan menyesali hidup, merasa bersalah sepenuhnya dan, lebih baik aku mati—terbakar inferno abadi Doc! Aku lebih baik dicabik dan dibenahi seluruh jiwa dan ragaku sehingga aku bahkan tak sempat menjerit dan menangis. Oh Doc! Andai kau tahu penderitaan yang aku, si tua ini alami. Semua orang-orang itu… yang telah kuberitahu… semuanya…”

“Ya…” Dan dokter itu seakan menelan ludah, menunggu kata-kata lagi darinya, “Teruskanlah Tuan!”

“Semua itu… semua yang sudah mengetahui tentang apa iblis dan asal mereka, mengapa mereka lahir dan, mengapa mereka… Aaah! Aku menyesal memberitahu mereka semua itu. Bahkan, para konselor sebelum anda Doc!”

“Ada… dokter, uhm… konselor sebelum aku Tuan? Dan… bagaimana mereka? Maksudku hasil dari sesi-sesi mereka?”

Keheningan.  Sebuah jeda dan alur angin dari awan mendung mulai menderu pelan terlihat dari jendela besar ruangan di lantai tinggi tersebut.

Mata Arsen menatap sang dokter. Dan ia menunggu sebuah momen. Lalu…  ia membuka mulut… mengucap…
“Mati.”

A-apa?

###

SAAT-saat dimana kata itu keluar dari mulut Arsen Hougal, sang dokter itu hanya terdiam dan ia mulai merasakan teror dan seakan-akan kepalanya dikelilingi oleh segala macam cerita rakyat dan segala macam khobtah-khotbah gereja yang biasa ia dengar. Semua itu bercampur dengan teori-teori JungFreud, bahkan Adolf!  Semua itu seperti memecahkan kepalanya dan ia mulai merasakan azimat misteri dalam ucapan sang mantan pesulap tua tersebut.

Naluri dokternya perlahan menghilang dan ia seakan-akan mendengarkan saat seorang pendeta itu melantunkan khotbah—layaknya Arsen—layaknya saat di gereja. Akhirnya, sang dokter itu pun menampakkan gelagat menyimak utuh.

“D-dan semua, mati?”

“Kurasa, aku harus menceritakan mengapa aku salut akan dirimu Doc.”

“Ya—”

“Baiklah, entah apakah kau tidak mendengarkan pembicaraanku dalam sesi pertama seminggu yang lalu, tetapi, pada saat itu aku telah memberitahumu semua tentang asal-usul iblis—menurutku dan… aku mengharapkan lebih dari pada jawaban, 'ok!' atau 'lalu…' darimu. Aku… lebih mengharapkan penyelesaian seperti biasa. Ya… kematian itu Doc! Dan…”

Ketegangan itu seakan-akan terhenti secara samar saat sang dokter mencoba menyangkal ketakutannya akan sang pasien arogan ini dengan tertawa seraya melepas kacamata kerjanya, “Aha ha ha! Jadi kau mengharapkan aku mati seminggu yang lalu? Aku penasaran Tuan. Apa teori 'Iblis'mu ini?”

Arsen hanya menghela nafas.

Si arogan pun kembali pada posisi duduk dalam sofa mahal itu dan ia mulai berbicara dengan halus, “Kau… sungguh tidak mendengarkan seminggu yang lalu bukan Doc?”

Well! Aku akui… kemarin begitu banyak pasien dan aku, baiklah dokter pun tidak selalu benar. Bukankah begitu Tuan Hougal?”

“Ya! Tetapi aku selalu benar, Doc!” Ada nada keberanian yang terlalu berlebih dari ucapan si tua arogan itu.

Sang konselor itu pun merasa tertantang…

“Kau yakin Tuan? Jadi percuma kau hadir dalam sesi ini.”

Dan keheningan itu terjadi lagi, kali ini sang dokter merasa telah memenangkan kondisi ini dan ia kembali tersenyum sembari menatap langit yang  mulai mendung.

“Jadi kau ingin tahu, teori yang telah diberikan Luztac? Kau mau mendengarnya lagi?” Arsen bertanya pelan.

“Ya! Seperti halnya aku tidak paham, tentang asal Iblis Luztac ini yang kau bilang ada dalam tubuhmu dan memberitahu semua ini.”

Arsen menggelengkan kepala dan segera berkata dengan nada sinis, “Jika Luztac dalam tubuhku, maka bukankah lebih baik aku ke dukun Voodoo Doc! Mengerti?”

“Uhm, baiklah maaf. Jadi, dapat kau ceritakan semua, dari awal sampai sekarang!”

Arsen nampak mencari-cari sesuatu di karpet itu. Ia nampak masih sedikit gusar dan bimbang. Dan tak lama kemudian, nampaknya si tua arogan tersebut telah memberikan sekali lagi kesempatan pada dokter konseling itu untuk mendengarkan kembali.

Maka… Ia pun segera berucap.

Ucapan yang masih terekam dalam kamera…

“Luztac… Iblis itu, ia suatu saat hadir dalam suara di dalam otakku, bukan! Lebih kepada diriku lebih. Tetapi, ia tak memiliki tubuh apalagi berada di dalam!

“Dia… tiba-tiba muncul saat aku hendak ke kamar mandi pada suatu malam dan hendak menggosok gigi—aneh bukan?”

Sang dokter tersenyum kecil dan menganggukkan kepala seakan memberi tanda untuk si tua arogan melanjutkan.

“Dan ia memberitahukan kepadaku, rahasia alam semesta ini, dunia ini. Semua itu. Ia memberikan wahyunya dalam bentuk kata yang sedemikian rupa sehingga aku terbuai dan aku pun larut dalam kalimat-kalimat tersebut. Bagaikan mendengarkan sebuah simfoni atau layaknya melihat visualisasi konkrit dari mitos itu. Sebuah fakta, dan suara Luztac adalah yang aku yakini sebagai mahakarya tersebut…

“Dokter… ia memberitahukan kepadaku bahwa,…”

Arsen menunggu kembali dan ia segera berucap kembali bagaikan kesurupan dan girang.

“Sesungguhnya kitalah yang menciptakan iblis semenjak dahulu kala!

“Ya! Kitalah 'Tuhan' bagi iblis-iblis itu. Apa? Kau tidak menyadarinya? Semua mitos-mitos tentang bagaimana iblis berada dalam hati kita? Dokter! Oh Dokter, justru hati kitalah, perasaan, keinginan, nafsu, amarah dan gairah inilah yang membuat mereka lahir, hidup dan bertahan. Dan… wujud mereka adalah tak sekedar dari imajinasi buatan kita. Dokter! Kita telah membuatnya hidup karena kita mempercayainya!!!”

Dokter itu segera membelalakkan mata, “A-apa maksudmu! Kitalah yang menciptakan iblis. Apa maksudmu Tuhan itu ada karena kita berpikir demikian?”

“Aha aha ha! Aku tidak peduli dengan resiko Yerusalem itu. Teori itu membuatku mual! Aku lebih tertarik pada apa yang ada dihadapanku. Dalam lingkup kewarasanku. Oh Dokter! Tunjukkan padaku bahwa aku adalah… tunjukkan padaku bahwa Luztac itu tak ada seperti layaknya para murtad menunjukan bukti ketidak absahan Tuhan kita! Dokter… tolong aku… tolonglah, siapakah kita yang begitu hebatnya menciptakan Iblis dan itu adalah nyata?”

“Te-tetapi Tuan Hougal…”

“AKU… BE-lum… se-le-sai! Aku belum… (menunduk)

“Maaf, tetapi, setan itu tidak ada. Ya! Setan, roh atau apapun itu, sebenarnya mereka adalah perwujudan iblis yang tidak sempurna. Mereka tidak pernah terwujud karena keinginan para orang-orang yang mengharapkan atau berpikir mereka ada tidaklah kuat. (Menatap sang konselor) Baiklah aku bertanya padamu, apakah kau sendiri kadang mencoba menyangkal bahwa hantu itu tidak ada?”

Dokter itu pun memiringkan kepalanya dan hendak menjawab, tetapi ia terhenti saat Arsen kembali berbicara layaknya kesurupan.

“Ya! Justru karena ajaran kuno, dan kita diharuskan mempercayai iblis layaknya mempercayai Tuhan. Maka 'Iblis' itu tercipta utuh! Sempurna, dan kita telah membuang jauh-jauh mitos hantu itu sehingga keberadaan mereka tidaklah nyata bagi kita. Dan alam mereka tak lebih dari cahaya silau yang tak dapat kita lihat karena bingarnya matahari bumi.

“Jadi… apakah kau mengerti Doc! Apakah kau paham bahwa Luztac telah mengatakan bahwa akulah yang menciptakan mereka, akulah Tuhan-nya. Dan, banyak diantara kita adalah Tuhan bagi para Iblis ini. Ayah dan Ibu dari segala macam dosa. Dokter! Setiap kau berpikir, kita manusia, berhasrat untuk mempercayai dan bahkan mencoba membenci… Maka Iblis itu akan hadir dan ia akan 'memakan' keinginan kita layaknya kita mengunyah kentang dan steik setiap hari. Mereka akan tumbuh dan hidup, dan entah kapan… Saat manusia benar-benar percaya bahwa memuja kebencian itu layaknya memuja Tuhan dan… wujud mereka akan sepenuhnya sempurna bagaikan bulan penuh!!!

“Dokter! Kitalah penciptanya! Kita melahirkan dan mereproduksi mereka setiap saat kita berpikir, setiap ucapan, tindakan adalah nyawa bagi mereka. Oleh sebab itu… aku… tidak bisa… sanggup menahan dosa ini. Dosa untuk mengetahui kebenaran—dan itu jika semua adalah benar. Jika saja Luztac benar, maka aku tidaklah gila! Dan jika aku tidaklah gila! Maka seluruh umat manusia adalah orangtua dari segala Iblis, dan… jika semua itu adalah kebenaran yang dapat dijunjung alam; maka sebenarnya kitalah sendiri yang menyebabkan kepunahan dunia dan seluruh umat manusia! Dokter, apakah aku gila? Apakah aku bisa dipercaya! Tolonglah aku sebab aku sudah tidak tahu, karena mengetahui lebih daripada yang lain…”

Seketika itu si tua arogan hampir menangis seraya matanya memerah dan urat-urat keluar dari lehernya seakan-akan menahan api dalam jiwanya.

Tanpa sadar, sang konselor itu gemetar dan ia mulai merasakan sesuatu…

Ketakutan…

Teror. Kenyataan yang tak pernah ia duga sebelumnya. Aku harus objektf! Aku harus konsisten dengan teoriku… Dokter itu terus berucap dalam hatinya…

Keheningan. Kembali. Kini dalam situasi berbeda.

Arsen tua merasa telah memberikan kemenangan bagi dirinya  sendiri karena kini, ia melihat bahwa sang dokter konseling itu mulai nampak gemetar karena ucapannya. Gerakan tubuh alami seperti yang lain…

“Baiklah…” Segera Arsen beranjak dan berdiri seraya menghapus keringat dan air mata dari wajah keriputnya. Sekilas ia menampakan kehebatan yang luar biasa. Layaknya sang konselor itu akan segera mencium kaki sang mantan pesulap tua tersebut.

“Sudah satu jam aku di sini… kurasa…”

“A-ah ya!” Sang konselor itu pun melihat jam. Ia masih heran betapa cepat waktu berlalu bersamanya, tetapi ia lebih terpana dengan teori Luztac tadi beserta pada perubahan mimik wajah yang cepat dari si tua arogan itu. Ia merasa bahwa si tua itu memiliki kegilaan yang harus segera diobati atau… ia akan membuat banyak orang terpengaruh dan membuat semua menjadi tidak waras sama sepertinya—seperti diri sang konselor pula…

“Ba-baiklah, kita bertemu lagi minggu depan, Ok?”

Arsen Hougal pun memakai kacamatanya kembali dan segera merapikan kemejanya dan memberikan senyuman kecil seraya berjalan ke arah pintu keluar ruangan sang konselor. “Uhm… kita lihat saja nanti dok.”

“Ah… maksudmu?”

Si tua itu pun segera bergegas dan ia pergi seraya berucap dengan nada yang mengintimidasi, “Sebaiknya tolong kau pertimbangkan kewarasanku dan, nilailah apakah aku gila atau tidak. Dan jika tidak, apakah aku benar? Dan… jika aku benar, apakah kita semua bersalah atas terciptanya mitos-mitos ini Doc?”

Dan ruangan itu pun kembali sunyi saat seorang Arsen tua pergi dan meninggalkan sang dokter konseling tersebut seorang diri.

KLIK! Kamera itu berhenti merekam.

###

SESAAT, ketika Arsen memasuki Lift yang menuju ke lantai dasar, di ruangan konselor itu; sang dokter hanya termenung dan ia terus berpikir keras…

Luztac… kitalah yang menciptakan iblis karena kitalah yang membuat mereka hidup dengan kepercayaan kita dan segala macam ajaran yang memberitahukan bahwa mereka nyata. Dan… semua kemarahan, dan pikiran manusia; diriku? Adalah nyawa bagi meraka? Jadi… keberadaan manusia sendiri adalah makanan bagi sang iblis? Dan pikiran kita adalah sambungan nyawa mereka? Oh Tuhan! Tolonglah aku. Apakah Hougal itu gila! Apakah ia benar?

Sang dokter itu berdiri dan menatapi jendelanya. Hujan pun mulai turun.

Dan jika ia benar, maka aku mengerti perasaanya. Mengetahui akhir dunia melebihi siapapun. Melebihi para petuah agama. Dan sebenarnya… kitalah yang membuat mitos-mitos itu ada dan hadir dalan realita. Jadi…

###

SESAAT itu pula, Arsen keluar dari Lift lantai satu dan ia sebenarnya telah berhitung mundur semenjak keluar dari pintu sang konselor tadi. Dan hitungannya pun semakin mundur dan ia pun semakin menuju ke arah pintu keluar, “Sepuluh… sembilan… delapan…”

Sang dokter itu masih di dalam ruangannya, mencoba memahami dan, ia pun menyadari sesuatu. Sesuatu dalam sebuah pengharapan. Ia menemukan sebuah pengharapan dalam keingian dunia baru yang damai.

Semua manusia telah mengkontaminasi bumi ini dengan pemikiran mereka sehingga mereka telah menciptakan sesuatu diluar batas kewarasan mereka sendiri! Mereka takut akan diri mereka layaknya mitos-mitos itu lebih berkuasa dibanding dengan udara yang mereka hembuskan. Aku…

###

ARSEN terus menghitung seraya ia membuka pintu berputar itu dan tersenyum kecil; melewati beberapa orang yang hendak masuk ke gedung tersebut, “enam… lima… ”

###

“JIKA aku hidup…” sang doker itu segera membuka jendela besar ruangannya tersebut dan berdiri di daun pintu, “Maka aku pun akan membuat para iblis itu muncul. Baiklah Tuan Hougal. Aku telah memutuskan bahwa dirimu waras. Dan aku… mengerti penderitaanmu. Aku akan memberimu sedikit bantuan dalam misi wahyumu…”

Seketika itu pula ia segera menutup mata dan merasakan angin itu dan tersenyum, sembari berteriak dan ia merasakan telah melawan gravitasi Tuhannya—

“AKU KINI BEBAS DARI DOSA!!!”

###

“DUA… satu.” Dan segera Arsen tua sudah berada di trotoar jalan. Dan segera itu pula semua berteriak histeris saat sebuah tubuh jatuh terhempas ke tanah dari gedung yang sama di mana si tua arogan baru saja keluar.

Isi kepalanya berserakan—otak dan daging. Semua bagaikan menjatuhkan semangka dari ketinggian. Suara remuk…

Sang tua keriput itu segera kembali berlalu seraya bernafas pelan dalam rintik-rintik hujan, “Jadi, ia juga menganggapku benar? Jadi aku harus bagaimana? Apakah aku harus mewartakan semua ini pada dunia… Aku tidak sanggup Doc! Sial! Mengapa kau pun percaya ucapanku padahal aku sendiri masih bingung akan Luztac!”

Keheningan, kembali.

Sang tua itu menunggu di sudut jalan.

Dengan lengangnya jalanan dan ramainya mobil-mobl yang berlalu dengan cepat.

“Aku lelah dengan pewartaannya ini. Dan… sebenarnya aku sudah tahu Luztac! Aku pun berdosa karena telah membuat banyak orang tahu akan kehadirat Iblis yang sesungguhnya. Aku pun lelah terhadap beban ini.”

Ia menatap sebuah mobil pengangkut barang dari kejauhan yang berjalan sangat cepat.

“Aku tidak akan memberimu nyawa lagi Luztac! Aku akan membiarkan dunia ini berjalan seperti semestinya. Semuanya mungkin akan harus berakhir tetapi, aku tidak akan turut campur dalam proses itu lagi! Luztac… maafkan aku. Oh Tuhan… maafkan aku…”

Dan seketika itu pula, orang-orang yang berada di sekitar perempatan jalan tersebut melihat dalam ketertakjuban mereka; seorang tua berlari ke tengah jalan dan dengan sengaja menabrakkan dirinya ke sebuah truk pengangkut barang yang berlalu amat cepat.

Tubuhnya terlempar dan terhempas ke jalanan yang basah tersebut. Sembari tubuhya kejang dan matanya membelalak. Sang tua yang sekarat itu hanya berkata pelan, matanya mencerminkan pencerahan,  “Aku telah bebas. Amien!”  Dan semenjak itu pulalah Iiblis yang bernama Luztac pun hilang layaknya angin dan tak pernah terdengar lagi.

###