PSEUDO 01: Within the Fire

Within the Fire
Ash Hunter
1998

MALAM ini adalah sebuah malam yang sesungguhnya wajar di dalam raungan-raungan khas kota Manhattan. Tetapi hal tersebut hanya kebetulan berlaku di lapisan atas kota, layaknya gunung es yang menyembunyikan fondasi terkuatnya, kehebatan malam ini tidak mungkin terjadi di atas.

Di sebuah jalur bernama Sektor 4, kobaran api menari-nari, menjilati jalur dari segala macam jalan keluar yang memungkinkan. Kereta itu, gerbong kereta satu-satunya yang kini sedang terjebak, setengah remuk dan hampir tenggelam bersama dengan api yang mengekangnya dalam terowongan hampir lebur ini.

Cahaya lampu… seakan tergantikan—bukan! Ini melebihi cahaya mentari—

Ini adalah api. Sebuah rentetan dan kobaran panas dari iblis yang berpesta di antara nyawa-nyawa penumpang kereta.


Satu gerbong kereta yang selamat. Setengah hancur oleh panas. Dan isi dari gerbong itu adalah penuh dengan harapan untuk selamat. Lima orang penumpang; seorang kakek tua, seorang pemabuk gemuk yang selalu berteriak, “Oh Sial!”, lalu ada seorang wanita pekerja dengan make-upnya yang tebal, dan seorang pria tegap berkulit hitam yang memakai topi knit ski abu-abu, lalu yang terakhir adalah seorang pria Kaukasia berwajah suram dan tampak tak terawat.

Mereka semua tertahan kini dalam satu gerbong yang sama dan nampak serupa. Garis nasib mereka nampak statis, tidak bergerak—mati kutu dalam kobaran api.

Terdiam, histeris, teriak, menangis, dan mencoba mati-matian untuk tegar…

Saat satu persatu gerbong lain meledak kala itu, semua hanya tertegun dan hampir pingsan. Apalagi sang wanita pekerja tersebut—ia beberapa kali mencoba keluar dan berteriak histeris sembari memanggil nama, “Rick! Rick! Tolong aku! Siapapun!”

Para penumpang tersebut tahu bahwa berteriak seperti orang gila tidak akan membantu banyak.

Ketika saat sang wanita itu kembali terdiam dari gemetar rasa takutnya, kemudian ia diam tersungkur dan kembali menangis sehingga matanya pun nampak lebam seperti baru saja dihajar dengan pemukul baseball. Dan… tak ada satu pun yang berbicara kepadanya, bahkan tak satu pun dari keseluruh lima orang ini yang saling berbicara kecuali menahan setiap gerakan dan emosi itu sendiri.

Mereka semua tenggelam dalam ketakutan. Keegoisan yang semestinya; mencoba tegar.

###

TAK beberapa lama… Sang kakek tua itu yang akhirnya memulai percakapan yang membuat mereka semua, akhirnya mulai bercakap; atau setidaknya berkomunikasi seraya tersenyum. “Ah! Tenanglah kalian semua, bantuan pasti datang. Kalian… dengar suara itu bukan?”

Ya! Semua mendengarnya. Selain dari suara kobaran api dan letupan-letupan dari benda-benda yang terbakar, mereka dapat sesayup mendengar suara-suara sirene-sirene itu saling bersahutan di atas kepala kereta. Mereka pun akhir sabar. Menunggu.

“Jadi, kurasa kakek itu benar!” Si pemuda Kaukasia pucat itu berdiri di dekat pintu seraya merogoh kantung jaket jeansnya.

“Hei! Jangan terlalu dekat dengan kaca nak! Nanti kau bisa…” sang kakek itu mencoba berbicara dan tiba-tiba si pemuda kaukasia itu segera mengeluarkan pistol dari dalam jaketnya dan menembak sang kakek tersebut.

DOR!!!

“Aaaah!” sang wanita itu histeris dan berteriak kencang. Dan segera semua memandang kepada sang pemuda Kaukasia tersebut.

Si pemuda jangkung itu nampak gusar dan setengah tertawa. Ia pun segera mengacungkan pistol itu kearah sang wanita yang masih  gemetar itu seraya mengancam, “Kau! Kau! Pelacur sialan! Diam!!! Apa kau mau kutembak juga hah?”

“A-a-ah tidak tuan! To-tolong…”

“Jadi! DIAMLAH WANITA SIAL!” Dan pemuda pucat itu kembali mengacungkan pistol itu kepada seluruh penumpang yang kebetulan berada tepat di hadapannya; sang pria hitam tegap beserta si pemabuk gemuk tersebut yang hanya terdiam heran, berdiri tanpa bergeming.

Semua keheningan itu membuat mereka melupakan gemericik kobaran api yang melalap seluruh permukaan subway dari dinding sekitar. Seakan-akan suara maut inferno itu tak membuat gentar mereka lagi. Dan hanya sebuah pistol besi itulah yang kini menjadi fokus mereka.

Sang wanita itu hanya tertegun diam sembari memegang dan merangkul tiang seraya bergetar, menangis dan berkata-kata tidak jelas layaknya hampir setengah kehilangan akal sehat, “A-ah! Aku ha-harus beke-… ah ha ha! (menangis pelan) A-aku harus pu-pulang… yaa…”

“Hei! Apa maumu! Jika kau ingin melakukan kejahatan nak! Kurasa ini bukan waktu yang tepat!” Sang pemabuk gemuk itu segera berucap seraya mengacungkan botol minumannya dan menunjukkan bibir tebalnya di balik kumis dan jenggot pirangnya.

“Ya! Kita semua sekarang di sini dalam kondisi yang sama ok nak!” Sang pria berkulit hitam itu segera menimpal dengan nada berbicara bijak.

Dan saat semua hendak menunggu jawaban, sang pemuda Kaukasia itu segera menembak ke arah langit-langit sehingga membuat ketakutan yang luar biasa. Keterkejutan. Apalagi, karena tekanan angin yang kecil membuat api di sekitar menjadi berkobar, dan beberapa kaca pecah dengan sendirinya.

Kembali, sang wanita itu berteriak sembari menangis dan semakin kuat memeluk tiang tersebut.

Sang pemuda pucat itu pun maju ke arah kedua penumpang yang berwajah penuh dengan gosong dan keringat kotor itu sembari mengacung-acungkan pistolnya seraya tersenyum bangga, “Ya! Ya! Orang dewasa tak akan pernah mengerti insting dari seorang pembunuh!”

Pembunuh!!! Semua pun nampak terkejut dan saling bertukar pandang—bahkan sang wanita karier tersebut sempat tertegun dan tak lama setelah itu kembali menatapi lantai gerbong kereta yang berlapiskan seng itu.

“Oh Sial! Malam yang hebat, aku terjebak dalam api dan kini, terjebak pula dengan seorang pembunuh gila!”

Mata sang pembunuh pucat itu membelalak tajam. “A-apa! Apa kau mau memakan peluru ini pemabuk tua keparat!”  Si pemuda segera mengacungkan dan merenggut jaket usang sang pemabuk gemuk tersebut. Ia memenatapnya dengan tajam. “Apa kau mau mati seperti si kakek tadi hah pria tua?”

“Hei! Hei! A-aku hanya bercanda nak! Maksudku sebaiknya kita te-tenang saja dulu ok?” Si pemabuk mencoba tersenyum, dan sang pembunuh pucat hanya tersenyum balik dan segera menjauh.

Ia tersenyum, lalu sang pemabuk itu pun membalas, tersenyum—kepalsuan konkrit.

Ketakutan dan pengharapan itu kembali berbalik arah. Dan seketika itu pula sang pemuda pucat menembak kedua kaki sang pemabuk.

DOR!! DOR!!

Dan ia tersenyum dan bekata, “Aku tidak suka jika ada orang yang sok akrab denganku, dan… aku tidak suka jika ada yang tersenyum padaku. Apalgi jika orang itu seorang pria!” Ia pun segera kembali menembakkan pistolnya ke arah pria itu—kali ini tepat di keningnya.

DOR!!!

Sang pria mabuk itu pun segera terdiam dan rapuh—jatuh tersungkur di lantai panas ini. Seketika itu pula, sang wanita itu hanya terdiam dan menatap ngeri melihat pembunuhan tersebut, “Apa dosaku? A-apa dosaku?” Sang wanita itu kembali mengucap ulang kata-katanya bagaikan paranoid telah menginvasi akal sehatnya.

Segera, sang pembunuh berkulit pucat itu berjalan kearahnya yang masih merangkul tiang sembari bergetar, “Hei! Hei! Pelacur sialan! Apa kau mau mati juga?” Dan ia segera menekan pengamannya kembali dan saat hendak menembak, sang pria tegap itu segera bergerak dan menyergapnya dari belakang. Ia membantingnya dan segera menjatuhkan pistol itu dari tangan sang gila pucat tersebut. BRAK!

“Sial! Mau apa kau negro! Jangan… (terjatuh) Ugh!… jadi sok pahlawan!” Si pembunuh itu nampak terdesak ke dinding oleh serangan pria hitam tegap tersebut.

Sembari membenarkan topi ski abu-abunya, sang pria hitam itu meninju muka pria tadi dan berkata, “Sebaiknya kau punya alasan untuk perilakumu nak! Atau kau akan masuk penjara untuk seumur hidupmu! Atau, kau mungkin akan di hukum mati! Kau lihat dua orang itu!!!” Sang pria hitam itu segera memegangi wajah sang pemuda putih ke arah mayat-mayat kedua penumpang tadi yang ia tembak. “Inikah yang kau mau malam ini? Apa kau sadar kalau kita semua dalam kondisi yang sama? Nasib kita semua di ujung tanduk! Kita semua hampir mati, bodoh!” Si pria itu kembali meninjunya sehingga hidungnya sang pemuda mengeluarkan darah.

Si pemuda tersenyum—intimidasi… “Aha ha ha! Lalu apa pria negro sialan! Apa kau pikir kita bisa keluar dari sini? Apa kau pikir orang-orang itu akan datang tepat pada watunya? Cih! Kau lihat saja Gerbong—… Aku… aku hanya membantu mempercepat proses itu saja!”

“Pro-proses apa nak! Ah… kau kira kau Tu-tuhan?” Di balik kemarahan semua itu, seketika sang wanita rapuh tersebut berdiri dari ketakutannya dan mendekat sembari memegang… pistol yang tadi yang sang pemuda putih itu jatuhkan.

“No-na! Sebaiknya jangan!” Sang pria tegap itu nampak ketakutan, sang wanita itu nampak sangat marah, tetapi nampak, di balik kemarahan itu pun ada rasa takut dan merinding. Dan juga para pria itu pun nampak menyadari bahwa sang wanita itu pun tidak pernah memegang pistol sebelumnya. Tangannya bergetar!

“Hei! Wanita sialan! Pelacur hina! Apa kau mau menembak? Aha ha ha! Si-la-kan! Tapi yang mana?”

“A-aku tidak tahu! Tuan! Tolong! Bagaimana ini?”

Si pria hitam dengan segera memberikan tangan kirinya ke arah sang wanita itu—menandakan untuk ia menyerahkan pistol tersebut dengan segera, “Ok! Tenanglah dulu nona! Kau tentu tidak tahu cara menggunakannya bukan,.jangan gegabah…”

“Ta-tapi, ia membunuh ayahku!!! Ia membunuhnya!”

Apa! Yang mana? Pria-pria itu tertegun.

“Kakek tua itu.”

Semua nampak terkejut. Ya! Malam yang beraroma keterkejutan. Panas semakin memuncak.

Entah bagaimana, tapi kemarahan sang wanita itu pun mulai nampak alami. “A-aku mencoba berbicara dan mendekatinya beberapa minggu ini. Dan, dan hari ini… (hampir menangis kembali) Sial! Seharusnya aku sempat berbicara dengannya dan… jika bukan karena kau dan kebakaran ini! Aku…”

“No-nona! Kumohon…!” Sang pria tegap hitam itu kembali mencoba menenangkan. Dan kali ini, tanpa sadar ia melepaskan pegangannya pada si pembunuh pucat itu.

“Kumohon… baiklah aku tahu perasanmu. Aku pun pernah kehilangan orang yang aku sayangi, tetapi, kau… tentu tidak mau jadi pembunuh bukan, menjadi sama menjijikkan sepertinya?”

“A-aku…tetapi tuan…”

Semua percakapan itu tiba-tiba terhenti saat si pembunuh pucat segera mengambil pecahan kaca dan menusuk punggung si pria tegap itu. Si pria hitam tersebut tersungkur—kesakitan.

“Aha ha ha! Jangan jadi sok pahlawan negro sialan! Kau tidak pantas menyentuhku! Akulah yang berkuasa di kereta ini sekarang. Aku tahu! Jika aku… mengambil harta-harta kalian dan pergi dari sini, aku pun tidak akan dituntut bersalah karena bukti dari para korban sudah hangus dan aku pun sudah pergi jauh! Mengerti?”

Ah! Ide bagus………

"Argh! Si-sial…” Si pria hitam tegap meninju lantai dan nampak kesakitan.

Saat itulah, sang wanita karier tersebut melihat gelagat aneh sang pemuda pucat Kaukasia tersebut; tersenyum layaknya rubah, begitu perlahan… meniti maju, dan segera, mencoba kembali menikamkan kaca besar itu kembali—kini lebih terarah ke kepala sang pria hitam,

“Mati kau!”

Sang wanita itu pun menutup matanya, menarik pelatuk pistol tersebut dan berteriak dengan kejujuran, “Tuan! Awas!”

DOR!!! DOR!!! DOR!!!

Dan ketiga tembakan itu pun mengenai dada sang pembunuh gila.

Ia terjatuh—

Darah mengucur deras di balik jaket jinsnya. Dan semakin lama, kereta ini pun semakin panas.

Ya! Suasana panas itu membuat semua menjadi semakin kabur layaknya fatamorgana gurun; dengan segala macam gerakan alam yang semampai dan bermain-main. Apakah karena da-rah ini ataukah api yang masih menari-nari itu? Iblis Infernia yang hadir pada malam ini.

Kembali, sang wanita itu tersungkur lemas dan ia menjatuhkan pistol seraya menangis terisak, “hik…hik… a-aku membunuhnya! Aku membunuhnya! OH TUHAN! AKU MEMBUNUHNYA!” Ia pun berteriak histeris dan merebahkan diri kearah dinding kereta.

Saat itu pula sang pria hitam mencoba berdiri dan menanyakan, "Apa kau tidak apa-apa nona? Tenanglah! Kau tidak membunuh dengan sengaja. Kau… hanya mencoba menyelamatku, dan aku ucapkan… terima kasih Nona.”

Sang wanita itu berhenti terisak dan menatapnya sekali lalu…  kembali menatapi lantai besi itu sembari menahan panas di punggungnya. Ia mencoba tabah dengan dinding yang ia rebahi. Ia mencoba tahan dengan udara yang semakin menekan kulitnya. Ia mencoba…


DUAAAAR!!!


Seketika itu, tanpa peringatan, kaca-kaca mulai berhamburan— meledak—ledakan besar. Luapan amarah merah dari gas itu semakin membesar. Sang wanita yang berada di antara dinding tersebut tak hendak terkena pecahan-pecahan kaca dan nampak kesakitan. Ia meringis pelan di lantai panas tersebut, “Äh! To-tolong! Sa-sakit… Tolong aku!”

Pria itu terdiam. Sembari manahan sakit di punggungnya, ia pun nampak terkejut. Dan… sesayup ia mulai mendengar sesuatu…

Suara orang-orang itu pun datang,…


“Hei! Kalian semua! Apa kalian dapat mendengarku?”


Kedua penumpang itu nampak berbahagia dan menangis dalam penderitaan dan luka-luka mereka.

Sekilas, sang pria itu dapat melihat bayangan dua atau tiga orang di antara kobaran api di salah satu sisi kereta.

Keselamatan…

Ia segera melangkah maju ke arah wanita yang berbaring kesakitan itu dan menatapnya. Segera, si pria hitam pun berteriak, “DI SINI! CEPATLAH!”

Ia menatap kembali wanita itu dengan dua mata cokelatnya, dan ia tersenyum. Sang wanita mencoba menahan rasa sakitnya dan tersenyum kembali, “Ki-kita selamat tuan! Aku senang…”

Sang pria itu menatap pistol yang berada tak jauh dari mereka, “Kosong…”

“Uhm?” Sang wanita itu nampak heran.

“Ah! Tidak! Sudah habis! Aku senang!”

“YA! Aku juga tuan… kita selamat.”

“Oh! Bukan kita nyonya!”

“A-pa!” Sang pria itu pun segera memeluknya, memegangi lehernya dan… ia segara memutar kepalanya sehingga leher wanita itu patah. Sang wanita karier tersebut mengeluarkan banyak darah dari mulutnya.

Pria itu tersenyum… Puas… Aku telah membantumu nona… Kau kini bisa bersama ayahmu?

“Aku selamat! Ha ha!”

Si pria tegap—dan satu-satunya penumpang yang masih hidup itu segera bendiri dan menuju ke arah mayat sang pembunuh tadi dan menendanginya beberapa kali sembari tersenyum sadis, “Dasar amatir, apa kau tahu apa yang terjadi pada seorang pembunuh amatir yang menodongkan pistol ke seorang pembunuh profesional? Jawabannya…? Hei— ”

Ia mengangkat alis dan berlagak seolah-olah menunggu jawaban .Lalu, ia tersenyum, “Ah! Aku lupa! Kau sudah mati… Amatir!”

###

SANG pembunuh itu segera mengambil dan merogoh beberapa benda-benda di anatra mayat-mayat itu sembari bersiul lega.

Panas dari api itu nampak hilang dari dalam ari-ari kulitnya.

Ia begitu sibuk… kelegaan… dan… Saat semua itu selesai, suara itu pun kembali…


“Hei! Kau dimana?”


Segera, sang pembunuh berkulit hitam itu pun keluar dari gerbong itu seraya berpura-pura sekarat…

Beberapa petugas pemadam kebakaran segera memanggulnya dan salah satu di antaranya bertanya“ Apa masih ada yang tersisa Tuan?”

Sang pembunuh menatap ke arah belakangnya. Ia tertegun sedih.

“Uhuk! Uhuk! Tidak, yang lain… telah mati tuan…” Si pria hampir hangus itu pun menangisi dan seraya tertatih; ia segera menatap pintu keluar dari terowongan Sektor 4 itu dan segera, para petugas  membawanya pergi. Untuk keselamatannya.

###

PARA orang-orang itu tak lagi menatap gerbong yang kini semakin termakan oleh kobaran iblis api Infernia. Semua orang-orang itu; tenggelam dalam indahnya nuansa gerakan erotis sang fana dari merahnya senja…

Sementara itu, sang pria tegap hitam dengan topi ski abu-abu itu nampak terbatuk-batuk dan tersiksa, tetapi, di dalam hatinya, ia hanya berkata sembari merasa bangga, Ah! Janganlah kau pernah menodongkan pistol di hadapanku nak! Sebab Ash Hunter… tidak pernah kalah dengan peluru! Ah aha ha! Dasar Amatir!

Merekapun akhirnya meninggalkan terowongan subway Sektor 4 tersebut.

Akhirnya… .udara sejuk dan lampu-lampu kota. Dan kini si pembunuh sebenarnya telah diselamatkan dan dia lah yang kini di sanjung-sanjung karena… ia adalah satu-satunya. Dari api—dari maut—dari dosa.

###