PSEUDO 02: NIGHT SERPENT

NIGHT SERPENT
Dr. Edmond Kingston Jr.
1982

Kedua mata berbinar cokelat yang sedang sibuk menerawang malam adalah sepasang mata dari seeorang dengan jiwa mistis yang mencintai reptil berdarah dingin dan juga seseorang yang memahami struktur anatomi tubuh secara medikal.

Mataku mungkin kadang nampak merah menyala layaknya darah dari aurat yang tersirat. Sesungguhnya aku membenci keramaian dan kesukaanku, sebenarnya adalah pada hal yang bersisik itu; reptil berdarah dingin yang memberikan sensasi menggelora.

Liuk elok tubuh para ular yang menawan dan meliuk-liuk indah. Bagai seorang penari timur tengah yang melantunkan irama syahdu melalui gerakan-gerakan; meliuk-liukkan pinggul dan perutnya yang erotis seraya menggoda iman kesucian—yang telah tertanam semenjak diriku masih belajar apa itu dosa sesungguhnya. Seorang pria Kairo setengah baya dengan alkisah seekor ular dalam jiwa.


Entah apakah itu kerasukan ataukah kewarasanku patut dipertanyakan. Bau anyir dari bangkai-bangkai tikus yang kadang mereka tinggalkan—beserta pemandangan bangkai setengah lumat yang dikerubungi lalat, membuatku sadar dalam setiap hari bahwa mereka, para ular, adalah sebuah maestro melata tanpa kuas ataupun kanvas untuk melukis sebuah seni kehidupan. Darah dan bangkai itu telah menjadi sebuah simfoni keindahan, layaknya aku mencintai segala sesuatunya yang lain tentang para ular.

Apapun dan di manapun.

Sekarang kecintaan yang buta telah membuatku berada di dalam sebuah bus antar kota untuk segera menuju ke kota Hombata di selatan Cape Town  yang sebagian teritorialnya adalah gurun kering— tempat yang cocok bagi para ular berdarah dingin untuk berhabitat, bersarang, bercinta dan memamah biak sesuka hati mereka.

Namaku adalah Dokter Edmond Kingston Jr. Tetapi banyak orang yang mengalamatkanku sebagai si pawang ular. Nama tersebut bisa saja muncul  dikarenakan keahlianku dalam menenangkan para ular-ular dalam beberapa situasi tertentu, entahlah.  Maksudku…

Entah bagaimana, aku sendiri tidak pernah tahu bagaimana aku dapat menenangkan mereka. Aku hanya… tahu. Itu saja.

Edmond, seorang dokter hewan lokal yang amat sangat bergairah pada ular dan segala hal tentangnya.

Sekarang ini firma tempatku bekerja memerintahkanku dalam sebuah kasus istimewa. Kota kecil Hombata yang bernuansa rerumputan dan pertanian padi tersebut telah mengalami masa mengerikan dalam masalah investasi terburuk dalam masa panen mereka. Teritori ini mengalami inflasi mengejutkan dalam kuantitas para ular yang tiba-tiba muncul dan tentu hal ini amat sangat memprihatikan, bisa mereka mungkin saja  yang paling mematikan. Aku harus memastikan dahulu jenis-jenis ular tersebut.

Sekarang, masalah mengapa mereka menyuruhku mungkin karena, yah… mereka mempercayai seorang dokter dari negara Mesir, atau mungkin mereka telah mengenal nama julukan dan juga berita-berita tersebut? Entahlah…

Jujur ada sesuatu yang mengganjal dalam berita acara dan surat kerjaku; firma Syaden Al’Faroq mengirimku bukan untuk mengobati para penduduk Hombata  yang (menurut berita acara) terkena demam dikarenakan bisa para ular tersebut.

Aku pun sebenarnya meraka bahwa buru-buru mengejar waktu untuk menyelamatkan mereka adalah hal  yang sudah tidak mungkin, lagi pula mereka tentu sudah terlanjur meninggal sebelum aku sampai di sana.

Yang sekarang hanya bisa aku yakini adalah bahwa aku ditugaskan untuk menyelidiki—hanya menyelidiki. Nampaknya ada sebuah spesies ular baru! Diperkirakan otentik karena sampel bisa ular yang diberikan ke firmaku adalah juga tidak diketahui nama dan jenisnya. Seluruh riset penelitian firmaku tidak menghasilkan apa-apa. Di saat seperti itulah, seorang Dokter Edmond diperuntukkan bagi keselamatan mereka. Akhirnya.

###

Sekarang sudah hampir jam sebelas malam, bus besar ini masih berjalan melalui lalu lintas padang rerumputan yang kasar dan berbatu.

Bus sumpek ini hanya mengangkut penumpang sekitar 20 orang dan seluruhnya adalah penduduk asli tidak seperti aku yang berasal dari sebuah negara indah yang memilki banyak legenda firaun berkuasa dan egosentris berlebih.

Di depan dan belakang bus ini hanya ada beberapa mobil dan bus-bus lain yang berjalan begitu pelan. Jalanannya sendiri hanya memiliki dua jalur yang amat sempit.  Cukup sempit bahkan untuk dilalui empat aktor gemuk sebesar badak.

Sebenarnya jika jalanan itu lebih lebar tentu tidak akan kami semua berjalan begitu lambat. Bagaikan seperti macet di siang bolong. Untung saja aku tidak dalam begitu keadaan terdesak.

Tanganku yang berbalut Rolex masih memegang erat tas dokter hitam yang berisi serum-serum dan vaksin penangkal bisa dalam jumlah yang lumayan. Anggap saja ini sebagai perumpamaan dalam perkiraan.

Bukan, aku tidak bisa lagi memikirkan nasib para pendudukHombata. Hanya ada satu hal di kepalaku sekarang…  Sudah kubilang bukan? Aku mungkin akan menangkap ular jenis baru tersebut, kemudian akan kucocokkan dengan bisa ular yang selama ini telah kupelajari.

Kesadaran bahwa di tanganku adalah vaksin-vaksin yang amat membawaku lebih dalam ke dalam dunia para ular membuatku bergidik senang. Aku begitu amat sangat girang. Sesekali wajah nyengir akan terpampang di jendela di sampingku—tampang seorang Edmond yang berkulit gelap, bermata besar dan berbibir tipis. Kebetulan saja,  posisi dudukku memang dekat dengan jendela dan pintu keluar bus malam ini.

Malam ini begitu tenang dan pelan, bahkan bunyi kendaraan-kendaraan di depanpun sayup terdengar. Seperti bunyi mesin-mesin pendingin yang masih baru.

###

Tak berapa lama, setelah sudah hampir dua jam kita semua melewati jalanan sepi dan berbatu itu. Tiba-tiba seluruh laju kendaraan berhenti. Semua membunyikan klakson secara serentak sehingga menimbulkan kebisingan yang luar biasa pekik. Suara-suara rentetan orang-orang yang menanyakan keadaan menambah keruh suasana. Malam yang senyap dan dingin itu berubah menjadi panas dan penuh emosi. Semua menyalahkan kendaraan yang berada paling depan—

“Hei! Cepatlah maju brengsek!” salah seorang pengendara mobil VW merah dengan corak karat di sana-sini berteriak lantang kepada mobil di depannya.

Tak lama kemudian, sebagian orang di sekitarnya mulai ikut-ikutan berteriak, “Ada apa sebenarnya, apa ada mobil yang mogok? Ya Tuhan! Ini sudah hampir tengah malam, Cepatlah kalian semua!”

Suara-suara itu memberikan imaji bahwa mereka nampak begitu kalut. Selama beberapa menit berikutnya, para penduduk asli ini sama sekali tidak ada yang mencoba saling menenangkan suasana dan malahan menambah rasa gerah dan dengki yang menjadi-jadi.

Aku hanya berusaha mengalihkan pendengaranku pada gemericik suara rumput hijau yang bergoyang di sekitar ladang tersebut. Aku mengalihkan kedua mataku ke sebuah gunung yang agak gelap dan tinggi. Beberapa lampu jalanan yang nampaknya sudah sangat tua dapat terlihat jelas menggantung di tiap tiang-tiang tinggi—agak tidak begitu terang, mungkin karena listrik di sini tidak begitu bagus alirannya.

“Hei! Bus yang di depan. Ada apa berhenti?” Tiba-tiba aku tersadar dari ketenangan maya yang kubuat karena suara pria hitam tua dengan baju overcoatnya yang tebal, muncul di hadapan pintu bus kami seraya mengetuk-ngetukan tongkatnya ke kaca pintu. Semua mata memandangnya dengan marah.

Oh hebat, nampaknya akan ada pertarungan… Aku melirik mereka sambil berpikir.

Aku hanya bisa menghela nafas. Aku tidak peduli jika mereka berkelahi, jika mereka berlumuran darah, atau bahkan jika mereka meninggal. Aku hanya ingin cepat sampai di Hombata untuk mendapatkan bisa ular yang dikatakan 'baru' tersebut. Oh betapa hatiku kembali berdegup kencang saat aku mengingatnya lagi! Tanganku yang besar ini akan segera menyentuh cairan bisa yang hangat dari ular yang diperkiraan orang sebagai langka. Mataku seakan melebar dan aku sehendak akan tertawa girang. Tetapi tidak! Aku mencoba menahannya.

Aku segera berdiri dari bangkuku dan segera berkata, “Tenanglah kalian semua. Mungkin ada mobil yang mogok di depan. Setidaknya mari kita turun dan bantulah mereka, maka kita semua dapat jalan kembali bukan?” Aku berharap perkataanku dapat menenangkan para penduduk yang nampaknya akan memukul orang tua yang berada di luar jendela itu. Orang tua bertongkat yang menaiki sepeda tua.

Memang seharusnya sebuah sepeda dapat muat melalui jalur kecil. Tetapi aku sudah bilang bukan, bahwa sekarang malam, dan jalan ini memilki parit yang tidak dangkal di setiap sisi jalannya. Dan sekarang malam pula. Kurasa seorang tua cerewet itu juga agak takut unuk mencoba menyempil melaluinya.

“Siapa orang sok tahu itu?” Aku dapat mendengar nada sinis diantara kerumunan penumpang tersebut.

“Huh… Walau tubuhnya besar tetapi aku tidak takut.” Seorang wanita bersuara menyindir.

Nampaknya perkataanku tak dapat mempengaruhi mood mereka untuk tenang. Maka… aku kembali terdiam. Dalam kursi busku. Aku mencoba acuh terhadap mereka yang nampaknya begitu tenggelam dalam kekesalan. Hanya karena macet. Seharusnya mereka tenang. Mereka tidak tersasar dan mereka sedang tidak kelaparan bukan? Maksudku, apa yang mereka takutkan dari macet ini. Bukankah setiap jalanan pasti macet? Heran sekali.

Aku menutup mata seraya mencoba tidur. Semoga saja setelah aku bangun aku sudah tiba di stasiun Hombata.

Perlahan aku mengejapkan kedua mata bulatku. Sekilas aku mengelap dahi lebarku yang berkeringat dengan ujung kemeja krem yang kupakai hari ini. Cuaca malam nampaknya semakin panas bukan hanya karena meraka, tetapi memang kondisi alam yang mendukung.

Sesayup aku mendengarkan percakapan para penumpang yang nampak kesal.

“Sial! Aku tak mau terjebak disini. Sudah malam pula. Lebih baik kendaraan di depan segera maju atau…” Suara parau seorang pria setengah baya nampak berbicara sendiri.

Dan seorang pria membalasnya, “Lalu apa? Apakah kau hendak turun seperti orang tua bodoh di bawah itu? Dasar tak berotak. Lebih baik kita diam di dalam bus ini saja mengerti!” Ia nampak marah dan memberitahunya dengan nada memerintah.

Ada apa ini? Mengapa aku merasakan ketakutan ini begitu meruak?

“Ya benar, biarkanlah kakek tua rewel tersebut mati. Kita lebih baik tenang dan diam di sini.” Seorang wanita tua yang nampaknya adalah penumpang yang tadi duduk di depanku akhirnya dapat menenangkan situasi.

Akhirnya

Pikirku dalam mata yang tertutup. Seperti mencoba tidur, walaupun sebenarnya aku agak tersadar.

Tetapi mengapa? Mengapa mereka tidak mau turun? Dan, mengapa mereka menyumpahi kakek tua rewel tadi untuk mati? Apakah mereka takut sesuatu…

Tunggu! Mereka memang takut sesuatu!

Semua suara klakson dan keriuhan ini. Tak ada seorangpun yang keluar dari kendaraannya semenjak macet ini terjadi—hanya kakek tadi. Dan mereka menyumpahinya… Apakah ada sesuatu diluar yang menyebabkan mereka—?

Tiba-tiba saja… Aku mendengar teriakan seorang wanita dalam busku ini. Aku tersentak dan bangun dari kursiku. Aku melihat apa yang sebenarnya terjadi. Teriakan tersebut membuatku kembali lupa tentang apa yang telah kusimpulkan sedari aku menutupkan mata. “Ada apa ini?” Aku segera bertanya pada salah seorang penumpang pemuda tanggung yang layaknya dapat menjawab dengan tenang tanpa emosi.

“Ka-kakek tua tadi. I-ia menghilang… ia… ap-apakah…?” Ia nampak ketakutan dan mundur beberapa langkah dari jendela. Dan bukan hanya dia, bahkan yang lain juga. Lalu serentak—KLIKK!! KLIKK! KLIK!—aku dapat mendengar banyak sekali suara seperti kunci yang tertutup dari, bukan hanya bus ini tetapi seluruh kendaraan yang berada di depan. Meraka semua nampaknya mengunci rapat-rapat pintu dan jendela mereka dan… mereka semua pun segera mematikan lampu.

“A-apa?” Aku tercengang.

Langsung aku pun merasakan teror yang luar biasa. Mengapa mereka semua seperti ini, aku tidak tahu; dan ketidaktahuan itulah yang membuatku juga bergerak menjauhi jendela. Perlahan dan seakan teror itu sudah berada di jendela, di sekitar ladang dan semuanya—seakan semua itu adalah kematian yang perlahan mendekat. 

Aku mencoba melirik ke arah lampu-lampu redup tadi. Semua mati. Semua seakan menjadi hening.

“Ada apa ini? Ada apa? Katakan!” Aku berteriak kepada… Kepada siapapun yang mau menjawabnya! Aku begitu cemas. Dahiku kembali berpeluh dan itu aku biarkan. Kami semua kini telah bersatu dalam jalur tengah antara bagian bangku kiri dan kanan. Menyatu layaknya saling mencoba melindungi. Dan sepertinya, mereka semua berusaha tidak bersuara. Dan aku pun terdiam dan tak mengharapkan jawaban kembali.

Mataku kembali mengawasi reumputan rindang di ladang gelap tersebut.

Lalu aku mendengar salah seorang dari kerumunan ini mencoba menjawabku, “Sebenarnya—”

Uhm… Siapa? Ya…

Suara wanita tua yang duduk di depanku tadi dapat kudengar; berbisik dan ia segera bejalan pelan ke arahku sembari tetap berdekatan dengan penumpang yang lain sekan-akan semua tubuhnya menempel oleh suatu lem yang tak bisa terlepas. Ia kembali melanjutkan perkataannya dengan tetap berbisik setelah ia sampai tepat disebelahku, “… Tuan, sebenarnya, di daerah ini sudah sangat terkenal akan keangkeran Night Serpent.”

Night Serpent?” Aku mengulang perkataannya sembari mengenyitkan dahi.

“Ya, Night Serpent. Seekor ular besar yang setiap malam selalu memangsa manusia. Ladang ini dikatakan sebagai sarang ular tersebut. Yang jelas, Hombata dan teritorial di sekitarnya adalah milik Night Serpent. Di kala malam dan suara nyaring tak lagi terdengar.” Wanita itu menghela nafas seraya melihat ke arah ladang kelam berumput.

Aku tertegun. Dalam hati aku sungguh, begitu girang. Tetapi aku tidak bisa mengungkapkannya di sini. Aku tidak bisa. Aku harus memiliki empati bukan?

Aku masih manusia.

Maka, aku pun kembali tertegun. Sekedar pura-pura terkejut dan merinding.

Kuakui memang aku merinding. Tetapi aku merinding tak sabaran. Aku ingin segera melihat wujud dari ular raksasa Night Serpent tersebut. Aku ingin melihat seberapa besar dia berkembang dan seberapa hebatkah bisa dan sisiknya yang menawan. Jantungku berlompatkan dan bersuara lantang. Seperti parade malam gemilang. Pesona yang tertunda. Aku menunggunya sekarang di sini.

Dan akhirnya—


“Apa itu!”


Tiba-tiba aku mendengar seorang pria berteriak di antara mobil-mobil yang terjebak hening tersebut. Serentak seluruh penumpang bus malam ini segera melihat ke sana kemari. Perlahan aku mendengar deru angin dan gemericik rumput yang tidak manusiawi dan tidak alamiah. Seperti terseret oleh sesuatu yang besar.

“… Night Serpent-kah?” Aku bertanya dalam ketegangan.

Tak lama kemudian aku mendengar suara parit seperti sedang diselami oleh segerombolan ikan dalam jumlah yang banyak. Seperti riuh ombak dan suara mendesis yang membuat tercengang.

“Suara itu… Simfoni!” Aku seperti tak kuasa melebarkan bibirku. Hendaknya aku tertawa dan memeluk semua orang. Tetapi aku terdiam. Sekali lagi, aku adalah manusia yang memiliki empati bukan?

Tetapi aku tak sabaran. Aku ingin melihatnya.

Itu pasti Night Serpent bukan?

Aku segera mendekatkan diri ke jendela. Semua penumpang tampaknya mencoba mencegahku dan menarikku masuk. Namun… sebelum aku kembali ke pusaran penumpang yang terpusat rapi tersebut, aku masih tak dapat menangkap pemandangan apa-apa di luar sana. Yang ada hanyalah kegelapan dan suara rumput dan desiran alur parit yang tampaknya masih dilewati oleh sesuatu yang megah.

“Apa yang kau lakukan.Apa kau ingin membuat kita semua celaka!?” Pria bersuara parau tadi nampaknya sangat ketakutan. Tangannya membuat isyarat seakan-akan untuk segera menyuruh yang lain menurunkan posisi badan mereka ke lantai bus. Semua nampak menurut. Begitupun aku. Spontan dan sangat sopan.

Keheningan itu berputar begitu lama.

Semua seakan terhenti. Begitu kosong hingga telingaku dapat mendengar detak dari jam Rolex-ku yang sedang kupakai. Sepi. Sama sekali tidak hidup. “Apakah 'dia' layak ditakuti daripada dikagumi?” Aku berbicara seakan-akan semua penumpang adalah penganut fanatik ular.

Aku mndapatkan jawaban bahwa; sesungguhnya tidak! Ya, tidak akan! Dan itu terlihat dari sorotan mata yang tiba-tiba menjejaliku dengan seluruh hinaan dan cercaan yang tidak bernada dan bersuara. Maka, akupun kembali terdiam.

Tiba-tiba—


AAAAHHHH!!!


Sebuah keramaian tampak di depan. Seperti gempa! Seperti sebuah bom yang bertubui-tubi menghantam bumi. Tanah dan rumput bergoyang bagai kemarahan dewa yang tak tertafsirkan. Semua penumpang di bus ini—termasuk aku mencoba menahan pada sebuah pegangan yang dapat membuat kami berdiri sempurna.

Tetapi percuma!

Seluruh goncangan ini, seluruh getaran yang memabukkan ini, semua rapuh layaknya boneka tanah liat yang hendak runtuh.

Kuakui aku sangatlah takut. Getaran setan mana yang dapat membuat begitu banyak gelora dalam sebuah hitungan detik.

Semua membuatku semakin kembali takjub akan 'dia'—sang Night Serpent.

“Tidak! A-aku tidak mau mati!” Salah seorang wanita menjerit histeris seraya ia merangkul tas besarnya.

Seluruh guncangan ini membuat tubuhku menjadi tidak stabil. Kepalaku seakan berputar melaui jalur-jalur kursi bus.

Seketika itu… kepalaku terbentur oleh sesuatu—nampaknya palang besi. Dan di saat itulah aku merasa lemah dan tersungkur.

Nampaknya aku mulai tak sadarkan diri.

Perlahan semakin aku mengatupkan kedua mataku dan serta, aku menjatuhkan tubuhku ke permukaan lantai bus, aku melihat segelimpangan bentuk jalur coklat besar yang meliuk dan berjalan cepat; merambat seperti… ular di hamparan kaca-kaca jendela bus ini!!!

Dan hanya itulah yang kulihat terakhir kali sebelum aku benar-benar tak sadarkan diri. Kulit dari ular yang sangat besar. Berdiameter ukuran tinggi pintu bus. Kecepatan yang tidak masuk akal. Dan… bunyi gemericik dari sisiknya. Sayang sekali aku… menjadi… tak sadarkan… diri…

###

MATAKU perlahan kembali terbuka.

Hal pertama yang kulihat adalah kelenganan.

Bus ini kosong?

Tak ada wanita yang tadi duduk di depanku, tak ada pria tadi yang memaki, orang tua yang sedang memegang cerutu, anak kecil yang sedang menangis, tidak ada! Semuanya lenyap.

Perlahan aku mulai bangkit dan merapatkan tubuhku yang nampaknya telah banjir akan keringat ke salah satu bangku bus. Secara hati-hati dan waspada aku mulai memutar pandangan kedua mataku ke sana dan kemari. Mencari sesuatu; atau mungkin seseorang karena aku mulai merasakan kecemasan dalam keheningan ini. Begitu tenang dan mengusik. Sangat berbeda dengan lingkup yang sebelumnya ketika aku terkapar karena palang sialan tadi.

Uhm… Di mana semuanya? Apakah…?

Mataku melirik ke kanan dan ke kiri. Mencoba mencari nadi-nadi kehidupan. Tersirat dan aku berusaha menyelidiki keberadaan dari tiap helai urat nafas itu.

Lalu di sanalah aku melihat, di luar bus sialan ini; onggokan mayat yang berjubel dan berbentuk sebuah piramida layaknya sebuah obral tanpa ampun.

Terpana dan jijik.

Orang-orang yang tadi kulihat dan beberapa orang yang tak kukenal sama sekali. Semuanya tercampur. Berderet tinggi, berdarah, tercabik paksa dan tak berbentuk sempurna. Sebuah abstrak dalam teror!

Segera aku keluar dari bus ini.

###

PERLAHAN aku mulai paham kembali akan deru angin dan sendunya lambaian rumput makam. Sudah beberapa jam atau mungkin menit aku telah di dalam bus sialan itu. Dan sekarang aku mulai merasa bebas.

Sejenak aku dapat melupakan tumpukan mayat-mayat tersebut. Tetapi… semua tiba-tiba kembali muncul saat aku mendengar suara gemericik air di telaga-telaga tersebut. Bergemerick dan berlalu sangat deras layaknya arus ombak yang menderu tajam.

Night Serpent! Night Serpent!

Melihat keadaan yang sekarang, seharusnya aku sudah amat ketakutan tetapi, aku malah amat senang dan benar-benar menunggu kehadiran si makhluk dewa. Aku sungguh menantikannya.

Sungguh!

Saat itulah… aku melihatnya datang.

NIGHT SERPENT? Akhirnya—

Dengan sisik sedemikian berkilau dan coklat. Bintik-bintik hitam dan bau anyir dari darah. Layaknya menyatu dengan simfoni gesekan-gesekan air telaga dan rumput-rumput kering. Ah! Ini… ini begitu indah. Bau khas dari ular dan rasa hangat pancaran… semua itu…

Ia datang!

Luar biasa…

Ular besar yng dinamakan 'Night Serpent' itu memang patut disebut sebagai monster! Panjang dan diameternya melebihi Anaconda terbesar uang pernah ada dua kali lipat. Dengan mata kuning bagai gundu raksasa dan sebuah pupil mata kucing yang mengkilat.

Sisiknya… sisiknya yang bercampur coklat tanah dan hitam yang nampak terukir dalam kulitnya yang terus bergerak naik dan turun saat ia bernafas. Seperti sebuah lukisan hidup dari Tuhan!

Ya! Sang legenda dalam dosa, Sataniel bagi Adam dan Hawa. Penjerumus nenek moyang manusia dalam lingakaran setan fana! Ia hadir dalam bentuk yang kian sempurna!

Night Serpent… Oh kau… begitu indah.

Sang ular raksasa itu segera nampak bertapa dan melingkarkan tubuhnya di hadapanku.

Menatapku…

Aku hanya memperhatikan saat lidah panjangnya sesekali keluar sembari mengeluarkan suara desis yang menggangu.

Aku berusaha tersenyum…

Jadi, ia tak menyerangku, membunuhku? Mengapa? Apakah ia melihat atau mengetahui bahwa aku sangat mencintai ular-ular itu? Tunggu! Apakah aku memiliki 'bau' khas dari para ular yang telah aku rawat?

Ia mendekat perlahan, aku dapat memperhatikan lebih detail saat tubuh panjang coklatnya berputar mengelilingiku dan ia terus mengitariku dengan tubuhnya yang penuh sisik dan bau yang hampir membuatku mual. Seperti kotoran dan tanah basah!

Mau apa dia?

Terus menerus, di antara suara-suara gesekan rumput dan tanah, ia berputar hingga akhirnya ia berhenti dan menatapku dari atas seakan-akan aku ini adalah budaknya. Lidahnya kembali menjulur sembari berdesis.

Ada sebuah keheningan dari pandangannya, ada sebuah—

A-APA!!

Secara tiba-tiba, ia berputar sangat cepat, semakin cepat sehingga tubuhnya yang tadi berputar-putar kini telah mengikatku dalam kulit dan sisik kasarnya yang membuatku geli.

Argh! Sial!

Aku hampir tercekik. Tetapi… aku sepenuhnya ikhlas…

Aku ikhlas karena aku sempat melihat 'legenda' itu sebelum aku mati. Dan malahan, aku akan dihancurkan daripadanya. Sebuah peristiwa yang mengucap syahdu. Ah! Tuhan, inilah surga bagiku.

###

SETELAH selang beberapa detik, ia terus menekan dan semakin lama jeratan tubuhnya yang besar membuatku sesak. Aku terus terpana akan kebesaran dan keindahan warna sang legenda yang masih menatapiku dengan kedua mata kuningnya yang layaknya emas besar.

Apa yang kau lihat sedari tadi oh Dewa?

Ia terus melilitkan, ini mungkin terdengar aneh tetapi ia seakan-akan menungguku untuk berucap sesuatu.

Maka… aku berkata, “Apa yang mau aku lakukan?”

Ia terdiam. Tak bergeming dan tekanan tubuhnya semakin meremukkan tulang… aku hampir dapat mendengar suara remuk tulang igaku sendiri dan hebatnya, aku sudah tidak merasakan sakit lagi! Sama sekali. Tubuh bagian bawahku sudah sepenuhnya mati. Yang tersisa hanyalah kepala dan nurani yang masih melihat, berdecak kagum dan bernafas tegang dalam sinkronisasi simfoni desis sang Night Serpent yang begitu menjulang tinggi. Menatapiku…

Aku heran? Mengapa ia tidak menangkapku tadi ketika membunuh semuanya? Apakah karena aku di dalam bus? Tetapi, bagaimana orang-orang dalam busku dapat ia tangkap? Apakah mereka semua keluar dari kendaraan mereka masing-masing? Bodohnya kalian! Seharusnya kalian tahu bahwa yang teraman adalah tetap berada dalam kendaraan! Bukankah kalian yang mengajari aku?

“Urgh, mengapa Kau tidak membunuhku tadi oh Dewa? Mengapa kau terus menatapiku? Matamu membuatku berpaling…”

Tiba-tiba, setelah ia mendengar pertanyaanku, dengan semakin cepat ia menambah tarikannya dan semakin lama aku semakin mendekati kegelapan absolut. Suara-suara remuk tulang dan perih mulai tersiar di penjuru ladang gelap ini. Aku berteriak kesakitan sendiri. Mati perlahan-lahan sendiri…

“Me-mengapa? Apa salahku? Apa karena perkataanku?”

Perkataanku? Oh sial jadi ia…

Aku mulai menyadari bahwa bukan hanya manusia yang dapat mengendalikan keinginan,… tetapi  juga hewan layaknya—

Jadi kau menungguiku menjadi penasaran dan ketakutan akan kehadiranmu? Jadi kau mengharapkan kekagumanku berganti?

Kencang! Sakit sekali! Mataku tak dapat melihat gambaran jelas. Kabur. Aku tahu aku sudah akan mati. Mati! Aku tidak percaya aku memikirkan ini! Sebuah konklusi di padang kering dan dingin. Sendiri bercinta dengan ular sakit yang mengharapkan aku mati karena matanya!

Sakit… Oh Tuhan! Semuanya semakin gelap? Jadi… jadi… ia hanya mempermainkan emosiku? Ia menunggu semua korban itu keluar… Ya! Aku rasa begitu. Ia hanya ingin membunuh manusia yang takut padanya. Dan ia rela menunggui mereka. Sama seperti aku!

Sepeti tikus masuk dalam perangkap. Keju itu adalah… ketakutanku sendiri. Penasaran yang dibuat-buat.

Aku mulai ma-mati… Ya! Mati! Ia mendekat—sungguh…

###

SUARA gesekan sisik dan rerumputan kering.

Hal terakhir yang kulihat hanyalah kepala Night Serpent yang secara cepat dan gesit mendekatiku dan ia membuka rahangnya yang besar—memperlihatkan kedua taringnya yang tajam dan mematikan. Dengan lendir sebagaimana bisanya yang agak kelabu.

Suara desis dan angin…

###