PSEUDO 03: Miles away...

Miles away…
Helena Jones
1944

MENENTANG angin. Melewati perbatasan jalan di tebing nan terjal. Melintasi malam senyap dengan kecepatan penuh. Bagaikan dikejar oleh sesuatu yang luar biasa mengancam kewaspadaan. Kafein yang tertenggak secara mendadak tanpa sadar.

Helena Jones menatapi suaminya dengan perasaan cemas. Ia tak tahu apa yang telah membuat pria yang ia sangat cintai itu nampak kalap dan khawatir.

Sesekali Helena menatapi kehampaan trotoar aspal yang licin dan agak becek itu, ia hanya menatapi kelamnya malam dan jalanan yang diterangi lampu mobil mereka…

“Paul, pelanlah sedikit! Ada apa denganmu sayang?”

Paul hanya terus mengemudi, tangannya beberapa kali mengganti gigi dan membanting setir dengan sangat cepat sehingga Helena dapat mendengar derit ban, mobil yang ia tumpangi bersama suaminya itu, seperti hendak terhempas dari tebing nan curam.


“Paul…”

“Kumohon sayangku, biarkanlah aku berkonsentrasi pada jalan ini, Ok?” Paul segera menimpal dengan agak kasar.

Pa-paul…

Helena terdiam. Kemudian, wanita berwajah sendu itu segera mencoba mencari arah, entah mengapa, tetapi ia mencoba menuruti pria yang dulu telah membuatnya jatuh hati karena mampu mengalahkannya dalam kontes menari Tap saat pertama kali mereka bertemu itu.

Namun… kenangan itu nampak kabur dan yang hanya dapat Helena rasakan adalah kegelapan dan cemas.

Awan sama sekali tidak terlihat. Di sepanjang jalan hanyalah bebatuan tinggi yang menutupi tiap sisi jalan dan di sebelah kanan sisi tebing itu akan selalu terhampar kekosongan yang luas seperti kabut dan dingin yang mencekam. Seperti hendak jatuh dan terlempar menuju ke batas horizontal tersebut. Ketidakadaan. Dengan mobil mereka, dengan…

“Tunggu, ini bukan mobil kita bukan?”

Paul hanya mencoba terus menekan gas itu semakin kencang, ia nampak gusar dan berbicara tidak karuan, “Ah! Mengapa harus dia? Mengapa harus sekarang? Sial! Harus segera… Ah! Jalan itu, seperti dulu.”

“Sayang…”

Paul terus bergumam sembari memukul setir, “Ah… gelap sekali, seharsunya jika aku mengikuti jalan ini… Sudah kembali, ya! Kembali, Ah Helena-ku… mengapa sekarang?”

“Sayang…Paul! Apa yang terjadi, di mana kita, mengapa kau begitu kalut? Sayang…” Helena berkata.

Paul sekilas menatapi sang istri tercintanya dengan pandangan itu; sebuah keperihan dan matanya hendak menangis, ia nampak seperti ingin berbaring di pangkuan Helena dan hendak terisak pelan. Tetapi nampaknya tubuhnya tetap tertahan pada setir dan pandangannya selalu kembali lurus pada jalanan aspal yang masih terbias cahaya mobil yang bukan milik mereka itu.

Mobil VW hitam, ini bukan mobil mereka. Helena menyadari hal tersebut. Tetapi ia tak mau menyinggungnya lebih jauh. Entah alasan apa tetapi, ia yakin bahwa suaminya merasakan rasa ketakutan untuk suatu yang hal yang ia percayai, dan ia percaya bahwa suaminya mencoba menyembunyikannya dengan susah payah.

Mata itu… saat seperti…

“Helena sayang?”

Helena segera menjawab dengan ketegangan, “Y-ya?”

“Aku… aku sangat mencintaimu. Kau tahu itu bukan?”

Apa maksudnya ia berbicara seperti itu? Tentu saja aku tahu. Selama ini…

“Kalau begitu. Aku mohon, begitu kita sampai, segeralah pergi dari hadapanku!”

“A-apa! Apa maksudmu Paul! Apa kau mau meninggalkanku di tempat—” Ia menatapi kekelaman malam  dan merasakan ketakutan signifikan. “Apa kau mau meninggalkanku di sini seorang diri? Mau kemana kau?”

“Helena…”

Percakapan mereka sempat terhenti saat Paul memutar mobil itu keras ke kanan—KRITTT!

“Aku…” Paul kembali melanjutkan setelah arah mobil mereka tenang, “Helena…”

Tetapi, Helena tidak bisa tenang. Ia tidak mendatapkan jawaban yang menenangkan saat ini. Ia hanya ingin tahu kebenaran di balik mata berair dan kelamnya jalan yang mereka lewati.

Seharusnya aku sudah berada di mana… Pesta Dorothy bukan?

“Helena…”

Ah! Helena terkejut dan kembali tersadar. Menatap sang suami dengan pandangaan menunggu, “Ya, ada apa?”

“Kumohon, percayalah padaku. Setelah kita sampai di sana, kumohon tinggalkanlah aku dan pergilah ke cahaya itu!”

“Cahaya? Pergi kemana kita sebenarnya Paul? Cahaya apa yang kau maksud?“ Helena menjadi semakin cemas. Sang suami tidak seperti biasanya, dengan hening beserta kelam ini. Suasana angin dapat tersiar luas di tiap celah jendela mobil yang bukan milik mereka itu. Suara deru angin yang berbisik dengan mengundang maut. Kecepatan yang luar biasa bagi sebuah VW dan angin itu membuatnya berpikir bahwa sang suami adalah seseorang individu yang berbeda. “Sayangku… katakan padaku dengan jelas, kumohon… Kau membuatku… Kau… membuatku takut, Paul!”

Helena mengeluarkan air mata, dengan penuh perih ia merunduk, mengusap eye-shadownya yang luntur dengan sapu tangan sutra ungu. Lipstiknya yang merah, tersaput oleh tangannya sehingga warnanya luntur dengan tidak sengaja. Wajahnya seperti boneka rusak. Seperti ketakutan itu bersimbah di hadapannya dan semua teka-teki seakan tidak menolongnya sama sekali.

“Helena…” Aku tidak mau kau bersamaku lagi saat ini. Kau… mempunyai kehidupan di sana,”

“Tetapi, Aku hanya ingin bersamamu, Paul!” Helena menatap Paul dengan merengkul bahu sang suami yang masih menyetir cepat itu, “Aku sungguh ingin bersamamu!”

Paul terus memicingkan mata di depan kaca spion mobil, “Tetapi… kau tahu sekarang sudah tak mungkin lagi bukan?”

Apa maksudnya. Mengapa tidak mungkin? Aku tidak paham.

“Maksudku, aku hanya ingin…”

Tiba-tiba—

Percakapan mereka terhenti.

Di antara keindahan hitam dan asap kabut. Paul menghentikan minat bicaranya. Ia nampak gemetar, wajahnya terlihat beku layaknya angin dan awan. Lalu ia membelalakkan matanya di antara cahaya mobilnya yang membiasi jalan. Perlahan tapi pasti, akhirnya mobil yang bukan miliknya itu berhenti. Matanya menatapi sesuatu di hadapan mereka berdua dengan penuh amarah tersembunyi.

Ah! Ia berhenti. Ada apa di depan?

Helena segera sadar saat melihat sebuah mobil yang nampak tertabrak oleh sebuah pohon besar yang menutupi jalan. Kelihatannya tumbang karena dihantam petir.

Ada kecelakaan?

Helena segera membuka pintu mobil setelah mobil telah benar-benar menepi.

Helena

“Helena… Jangan!” Paul segera memegangi tangannya dengan segera, “Jangan ke sana! Lebih baik kita berputar dan mencari jalan lain. Kita harus pergi dari sini! Pasti ada jalan lain, ya…jalan lain…”

“Paul! Ada orang yang mengalami kecelakaan di tengah jalanan seperti ini! Apa kau tidak punya perasaan? Bagaimana jika itu kita? Apa kau tidak mau ada yang menyelamatkan kita!?”

Paul hanya terdiam dan tetap mencoba menahan genggamannya di baju katun sang istri yang ungu. “Helena… kumohon. Kau tidak tahu apa yang terjadi bukan?”

“Ah ya… Aku tahu, aku tahu benar sayang! Kau… sudah berbeda sekarang. Aku seperti sudah tak mengenalmu lagi. Kau… Di mana Paul yang dulu melamarku di Pesta Teh itu? Katakanlah! Atau ia sudah mati?”

Saat Helena melepaskan genggamannya dan Paul pun melepaskan genggamannya sesaat ia mendengarkan kata 'mati' keluar dari istri tercintanya. Ia hanya merunduk di dalam mobil itu.

Helena segera mendekat sembari berlari dan berteriak. “Hei! Apakah ada orang?”

###

“HELENA! Oh Helena! Aku mohon kembalilah ke mobil ini dan biarkanku mengantarmu pulang.” Paul hanya meringis dengan kedua tangannya di setir sembari merunduk. Ia tidak sanggup menatap Helena. Ia nampak pasrah dan segera perlahan, menghilang dari kursi itu. Menghilang perlahan. Air matanya pun jatuh di antara kursi kulit yang ia duduki. Dan saat angin menjemputnya, suara desir dari suara sendu sang suami hanya terlintas parau, “Jadi, aku telah gagal membawamu pulang. Oh Sayangku…”

Paul pun menghilang bersamaan dengan mobil yang bukan milik mereka itu.

###

HELENA akhirnya sampai di mobil merah yang nampak rusak tersebut—Seperti mobilku! Oh Tuhan, aku harap penumpangnya tidak apa-apa!

Saat ia hendak mendekat, Helana segera berhenti sejenak saat menatapi nomor plat mobil tersebut.

Sa-sama denganku! Apa maksudnya ini?

Helena segera berlari. Ia khawatir, takut akan terajadi hal yang tidak masuk akal.

Sesaat ia berlari, ia mulai teringat akan sesuatu—Paul! Tunggu, aku bersama Paul? Bukankah ia sudah… Oh Tuhan! Oh Tuhan! Apa yang terjadi tadi?

Helena semakin tidak karuan saat ia melihat bahwa yang berada di dalam mobil itu adalah… dirinya; wajah dan tubuh yang sama, yang bersimbah darah, wajahnya rusak separuh remuk.

“OH TUHAN! OH! Tidak mungkin! Ap-apa ya-yang terjadi, Paul! Paul! Di mana kau?” Helena segera mencari ke sana kemari, tetapi ia sudah tak menemukan jejak baik Paul ataupun mobil yang tadi mereka naiki.

Ia sendirian.

“Paul! Apa apa ini? Paul!”

Mengapa… Aku… A-aku tidak tahu…Paul? AH! Tidak Tuhanku… A-aku baru ingat! Pa-paul sudah mati dua tahun yang lalu!!!

Saat kesadaran itu sudah terkuak. Saat itulah Helena mulai merasa perih yang amat di seluruh tubuhnya. Perih yang menyayat dan siksaan batin yang meringkuk di antara kelam dan angin. Sebuah hukuman dengan gubahan skrip yang merusak alam bahagianya bersama Paul.

Sebuah bualan alam dan manusia. Ia tidak nyata. Ia sudah bersimbah darah. Ya! Helena mulai merasakan darah-darah itu mengalir di sekujur tubuhnya; mulai dari tangan, kaki dan baju ungunya yang anggun. Seluruh rasa lenget dan perih mulai tersiar.

Seharusnya ia memang pergi ke Pesta Dorothy. Tetapi ia terlanjur minum terlalu banyak sebelum hendak berpesta. Mengenang Paul—di daerah sekitar jalanan ini…

Oh Paul!

Saat itulah kedamaian menyerang dengan kiasan baik. Perih itu perlahan menghilang. Dan suara angin berbisik nampak menenangkannya. Matanya hampir tidak dapat melihat apa-apa lagi dan kilatan-kilatan cahaya beserta memori nampak berterbangan mengitarinya bagai kunang-kunang dan jelmaan malaikat-malaikat kecil seperti ngengat cahaya. Mereka berputar ke manapun kepala Helena berada. Pandangannya selalu menangkap ngengat-ngengat pembawa kedamaian itu seperti tertawa dan mengajaknya serta berbahagia.

Ia pun tersenyum dan mencoba menangkap ngengat-ngengat itu dengan segenap senyuman.

Tak beberapa lama, Helena mulai merasakan cahaya ngengat-ngengat—malaikat-malaikat kecil itu mulai merasuk dalam matanya.

Abu-abu, cahaya pelangi yang tersamar cahaya putih menutupi mata dan pandangannya akan kengerian 'mati' yang sekarang.

Kebahagiaan. Ia merasakan ringan yang luar biasa membuatnya ringan.

Kata yang terucap dengan alamiah adalah, “Paul”

Tentu saja—

Helena akhirnya terlelap dalam keadaan cahaya putih ditemani ngengat-ngengat yang masih mengitarinya dengan senyuman misterius.

“Paul…. Kau… tadi, ternyata berusaha menolongku. Itu… sudah lebih dari cukup. Maaf aku membentakmu. Aku akan menyusul di manapun kau berada. Aku tidak menyesal.”

Air mata kebahagiaan pun keluar dari kedua mata biru cantiknya yang perlahan tertutup. Dengan istilah indah yang sesungguhnya tergores luka dan darah.

Helena Jones pun sudah mencapai titik itu, dimana sebuah argumen telah ia selesaikan dengan sangat mulus dan tanpa hambatan ataupun koma. Setidaknya, ia sudah mengubah persepsi tentang alam dan suaminya yang kini menjadi layaknya awal. Kala itu… dan kebahagiaan mereka…

###

DI TEMPAT lain. Pria bertubuh kurus dan berbaju kotak-kotak yang bernama Paul itu hanya duduk di sebuah batang pohon yang tertidur di tanah lembek, di temani sinar rembulan sabit yang memberikan biasannya ke punggung sang suami yang penuh kesetiaan tersebut. Ia menangis dan merunduk, “Jadi… aku… akan menunggumu di sini, sayang…”

Air mata pun kembali mengalir di pipinya. Sinar biru dan cahaya beku. Sepi. Dan menunggu. Kesetiaan yang fana.

###