PSEUDO 04: Fetish Culprit

Fetish Culprit
Damien Fuller
2001

PEMANDANGAN yang begitu rupawan sesaat aku memasuki apartemennya yang penuh dengan nuansa kelembutan; warna pink yang begitu mendominasi dan paduan perabotan beserta tirai-tirai seputih susu. Aku tak percaya bahwa aku sekarang memasuki kamar Regina!!

Ya! Regina yang begitu putih dan mulus… Regina sang model…

Semua pujian, dan Regina-ku akan selalu mendapatkannya dari tiap pria di kampusku kala itu.

Tetapi, aku tak menyangka setelah malam ini, pesta reuni dan cocktail tersebut… semuanya berlalu begitu cepat dan kini, aku bersamanya di apartemen kecilnya yang penuh dengan pink dan aroma coriander yang rupawan. Aku… memilikinya! Luar biasa. Aku yang hanya seorang jurnalis biasa, yang selalu di kejar-kejar deadline dan layout yang tak kunjung habis. Tetapi sekarang, semuanya terbalaskan pada malam ini, setelah reuni kecil yang diadakan Sally, Cogsy dan si gendut Tim yang kini nampaknya sudah mengetahui bahwa kelebihan berat memang beresiko.


Baiklah, jadi aku memang merindukan teman-teman kampus lamaku, tetapi hari ini, di apartemennya yang memiliki dua kamar kecil yang tak begitu luas; Aku bersamanya—hanya berdua! Kenikmatan yang sesaat lagi. Mungkin sex, entahlah… Aku belum sebegitu berani mendramatisir dan berharap lebih. Lagipula, aku tahu bahwa Regina adalah seorang superstar. Ia harus menjaga dengan siapa ia harus berinteraksi.

Oh Regina

Wajahnya acap kali muncul di televisi, di tempa berbagai gossip. Tidak mengherankan—apalagi jika ayahnya seorang bintang rock dan Regina sendiri adalah seorang model yang cukup menjanjikan.

Sialan! Hari istimewa. Yes!

“Damien, sebaiknya kau gunakan kamar ini,” Ia menunjuk ke arah kamar dengan pintu putih di sebelah kamarnya.

A ha ha! Alasan mobilku mogok dan aku perlu tumpangan pulang membawaku lebih daripada ini…

“Damien… Apa kau mendengarkan?”

“Uhm… Ah! Ya Regina! Baiklah, apa kau…”

Ia tersenyum sersaya mengibaskan rambut hitam panjangnya ke arahku, “Sebaiknya cepat kau mandi… mungkin aku akan memberimu sesuatu—”

Aku seperti orang bodoh! Aku seperti orang bodoh!

 Ia pun berlalu dan segera menutup pintu kamarnya.

Aku pun segera masuk dan anehnya, aku segera mengunci kamarku… Yang ada dalam pikiranku hanyalah—Aku harus bersiap-siap dan rapi…

Gila! Memangnya apa yang mau aku lakukan dengannya? Aku hanya ingin bermalam dengan teman lamaku!

Mungkin bercinta!

Ini luar biasa! Tidak! Ini melebihi dari 'luar biasa' itu. Ini sungguh-sungguh gila! Aw Man! Aku sangat ingat ketika dulu aku masih memandanginya dari kejauhan. Dan aku pun tertegun mengingat semua itu. Beberapa tahun yang silam…

###

SEPERTI biasa, aku hanya memandangi rerumputan sekitar dan kacamata bergagang hitamku yang tergeletak di atas tumpukan fail-fail gambarku. Si kutu buku Damein Fuller, dengan tampang bodohnya, termenung di salah satu atap gedung penjurusan yang paling tinggi. Semua keindahan yang setiap pagi ia tunggu.

Ah! Tetapi semua hasrat untuk mengguratkan pensil hitam itu selalu terhenti saat aku melihat ke arah kebun di sekitar kampus yang penuh dengan hijau dan kealamian, dan… Regina Schunder, atau orang lebih mempredikatkannya sebagai, “Si pacar Willy Garson yang super sexy!”

Aku membenci ungkapan itu! Membuatnya nampak murahan! Padahal tidak!…

Well! Aku tidak begitu mengenalnya, tetapi aku yakin Regina bukan gadis semacam itu. Mata dan rambutnya… Oh, pesona ratu muda perawan dan pelukan madu murni…

Sialan! Apa yang sedang aku katakan?

Aku pun hanya kembali termenung, diam dan kadang menghayalkan saat ia bersamaku kini di atap gedung ini; bersama angin, ia akan mendukung dan merangkulkan lengannya yang selalu terbalut cardigan putih ke arah lenganku sembari merayu kecil. Memuji gambarku—

Terpana. Impian itu perlahan kembali memudar saat ia sudah pergi, perlahan menghilang dari penglihatan.

Semua tujuan hidupku tiba-tiba kembali terantuk kenyataan hampa dan aku kembali terfokus pada gambaran menara jam dan mentari yang tertutup awan mendung…

###

SESAAT setelah aku mandi dan mengenang segala hal tentang Regina kala itu, aku pun samar-samar mendengar suaranya di balik dinding kamar yang semuanya bernuansa pink dan putih, “Ah! Damien, apa kau mau melihat sesuatu?”

Apa? Sesuatu… Mungkinkah?

“Ya! Apa Reg…?”

“Uhm, kalau tak salah ada di antara tumpukan rak bawah di mana televisi berada… Di kamarmu! Sebuah rekaman video buatanku!” Ia berteriak agak lantang seraya tertawa kecil dan menggoda.

Aku dapat mengilhami tiap gerakan yang ia buat bersama dengan gelembung-gelembung itu dalam baknya yang kuyakini juga pink. Oh Tuhan… Aku dapat melihat senyumannya yang kuyakini amatlah basah, agak berminyak dan begitu wangi bunga…

Aw Man! Aku harap akulah yang bersamanya dalam bak itu! Merangkulnya, bermain-main dengan jari-jariku di antara lapisan kulit dan dadanya… Membuat ia tersenyum geli dan menatapku dengan mata itu.

“Damien?”

“Ya?”

“Cepatlah kau lihat hasil karyaku dan aku ingin menanyakan pendapatmu tentangku yang sekarang ini, ok?”

Maksudnya?

“Ok Reg!”

###

SETELAH selang hampir sejam, kami berdua pun keluar dari kamar masing-masing dan menuju ke ruang tamu.

Di sana ada sebuah TV flat besar dengan segala macam speaker flat yang tinggi, hampir melebihi televisi itu sendiri.

Tapi aku tidak begitu peduli dengan itu. Aku penasaran; Mengapa di apartemen kecil… Ya! Terlampau kecil, bagi seorang model dan anak dari seorang bintang rock kenamaan… Apa ini tidak terlalu… kurang?

“Reg, apa… ini benar-benar tempatmu?”

Aw Man! Bodoh! Kenapa kau tanyakan itu?

Regina kembali tertawa kecil sembari mengeringkan rambut hitamnya—yang sedari dulu selalu panjang dan mengkilat—dengan handuk putihnya. Ia memakai sebuah piyama mandi yang pink terang. “Ah! Kau pikir ini terlalu mewah, D?”

“A ha ha, sebaliknya Reg, ini… terlampau sedkit bagi seorang model…”

“Oh! Model…”

Oh tidak, aku menyinggungnya…

Aku melihat tatapan hening dari Regina, sembari ia berhenti mengeringkan rambutnya dan dengan tatapan merenung, lengan mulusnya mengambil remote di sebelah meja kecil yang berada di sofa yang baru ia duduki.

“Justru, inilah rumahku yang sesungguhnya, D.”

Sesungguhnya? Oh, aku mengerti. Melarikan diri dari ketenaran.

“Kau ingin bebas?”

“Ah! Begitulah! Aku senang kau mengerti! Kau ternyata tidak berubah. Aku tahu aku dapat mengandalkanmu tentang hatiku, D. Seperti kala itu ketika kau…”

Segera, aku mengambil kesempatan dan sembari tersenyum, aku duduk di sofa berbalut beludru tersebut. Bersamanya.

Regina menyalakan televsi flat tersebut sembari memainkan jarinya yang lentik dan masih agak basah ke kaus kutangku yang sebenarnya adalah baju dalam dari pesta tadi. Aku tidak memiliki baju lain! dan Regina juga tidak…

Oh, ia menyentuhku… Akhirnya, saat itu… Yang aku tunggu…

 Seraya televisi itu menyala, Regina ku yang manis masih memandangiku. Jarinya masih memutari dadaku dan membuatku sama sekali terpana akan dirinya. Mata yang begitu tajam, bulat dan bercahaya. Keindahan dari wanita yang selalu menjadi bagaikan mimpi. Realitaku.

Perlahan-lahan, ia pun mendekat. Aura kehangatan. Ia mulai semakin mendekatkan tubuhnya yang masih lembab dan wangi. Aku merasakan dadanya yang padat menekan dadaku yang masih berdegup kencang. Pesona ini… Regina yang mutlak. Sang tenar berada dalam pelukanku. Dan… dan…

Terjadilah saat itu. Setelah bertahun-tahun.

Sebuah ciuman… Kehangatan—basah dan licin. Getaran-getaran dan ingin terus menikmatinya hingga tetes terakhir dari bibir itu.

Teruskanlah Reg, terserah kau! Aku kini milikmu! Milikmu!!!

Mimpi ini tidak seperti dulu di mana biasanya aku hanya akan berakhir puas hanya dengan rental video porno dan tangan. Tidak seperti saat aku masih bergaul dengan si Gendut Timmy dan Leslie Forge. Masa muda yang penuh pengharapan. Dan ciuman itu terus nampak tiada hentinya, bertubi-tubi membasahi mutlak bukan hanya fisik tetapi memoriku. Sebuah sejarah. Event ternama… Kenangan masa muda itu…

###

SABTU pagi seharusnya adalah saat paling menyenangkan bagi kami bertiga; aku, beserta Timmy yang selalu menghabiskan sisa makanan kami semua, dan si Leslie yang mungkin satu-satunya pemuda 'keren' yang masih mau bergaul dengan kami berdua—si gemuk dan si kutu buku. Walau aku pun tidak pernah mengerti mengapa ia masih mau bergaul bersama kami selama ini. Entahlah!

Timmy dan Leslie seharusnya sudah berada di depan asramaku saat  ini. Tetapi, mobil Ford merah Leslie nampaknya masih belum nampak. Maka sembari menunggu, aku berjalan kaki mengitari kampusku di hangatnya mentari Vancouver ini sembari menenteng fail-fail artbook-ku. Ya, siapa tahu aku mendapatkan inspirasi lagi dari suasana sungai dan gunung…

Saat aku berjalan mengitari kampus beserta gedung-gedungnya yang bernuansa oranye dan hangat, aku melihat seorang wanita menangis terisak-isak. Memang, Sabtu adalah hari di mana tidak begitu banyak mahasiswa yang memiliki jadwal kuliah. Paling-paling hanya kegiatan ekstrakulikuler dan beberapa organisasi yang sedang mengadakan rapat—mencoba menjadi sok sibuk layakanya orang kantoran.

Regina…

Aku tidak percaya ini. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan aku mengharapkannya, kini ia berada tepat di hadapanku dan bukan di bawah lagi—di mana aku harus memicingkan mata untuk melihatnya. Aku kini dapat melihat wajahnya dengan amat jelas. Putih dan sayu. Walau kini ia begitu… sedih.

Apa yang harus kulakukan? Ah! Lari saja! Aku tidak tahu harus bicara apa.

Aku pun mendekat perlahan sembari memberi tanda bahwa aku ada, “Uhm,… ehem…!”

Apa! Bodoh sekali, bicaralah Damien!

Mulutku terkunci, kepalaku mengangguk bodoh dan tersenyum kecil sembari mengangkat tangan kananku setengah menyapa.

Ia tersenyum balik dan nampaknya agak terhibur. Pertanda yang baik, D!

Lalu Regina tiba-tiba berucap seraya mencoba menahan isakannya, “Oh! Kau, D! Se-sebaiknya kau pergi saja… Maaf, bukannya aku tidak sopan tetapi, sebaiknya kau tidak melihat si Regina yang kau tahu seperti ini sekarang—Begitu bodoh! Perempuan yang amat bodoh!”

“A-ah! Aku…” Saat itu juga aku merasa harus menurutinya. Yup! Aku memang tak mau melihat si Regina yang selalu dinamis dan ceria itu menjadi nampak muram. Mungkin dapat merusak citra 'sempurna' dari benakku.

Baiklah aku pergi, tetapi…

“Ah! Kau tidak bodoh Regina! Aku… aku tidak tahu ada apa tetapi, aku siap menjadi temanmu dan, dan jika ada yang menyakitimu. Aku akan membelamu. Siapa pun itu…”

A-apa yang aku katakan…

Sekali lagi, aku melihatnya menatapku. Terdiam beberapa saat. Aku pun tidak dapat mengulangi hari dan berharap tidak mengucapkan kata-kata tadi.

Gila! Itu sama saja mengungkapkan perasaanku padanya selama ini. Oh Damien!

“D! Terima kasih.”

Regina segera berdiri dan mendekatiku seraya menggandeng tanganku. A-ah…

“Aku memang sedang membutuhkan seorang teman bicara. Kau pun dapat mengetahuinya… Kurasa, siapa pun nanti yang menjadi wanitamu, D… ia pasti akan sangat merasa nyaman dan bahagia. Aku… yakin itu.”

Regina menggandeng tanganku, tersenyum dan mengajakku jalan bersama. Ini… ini sudah menjadi satu paket 'Hari yang Sempurna'. Sabtu yang luar biasa! Sudahlah Damien, lupakan Timmy, Leslie dan memancing. Ini adalah hari besarmu. Ia bahkan tahu namaku!

Aku harus realistis, ia tak mungkin… Aku berharap terlalu… Mungkin sebaiknya aku hanya berteman, Ya… Dimulai dari persahabatan saja!

“Baiklah! Kau mau kemana Reg, ter-se-rah kau!”

“Sungguh! Ini pertama kalinya seorang pria menanyakan pendapatku, Oh, D!”

“Aw! Sudahlah Reg,”

Kami berdua tertawa. Begitu riang.

Dan semenjak itu kami bersahabat. Bahkan Regina pun dapat dengan mudahnya akrab saat Timmy gemuk dan si atletis Leslie datang dan membawa kami ke danau itu. Regina menjadi layaknya gadis biasa yang amat cantik. Bunga di antara kumbang. Dan sungguh, aku ingat Sabtu sore itu, Regina bahkan tidak bergeming kepada Leslie dan tampang rupawan nan atletis beserta rambut pirangnya. Tetapi, ia malah terus bersamaku dan tersenyum, berbicara amat wajar. Aku tidak begitu ingat kami bicara apa, tetapi hari itu aku terus mengingat lengkungan senyuman dan binar matanya yang memantulkan cahaya danau sore.

Di saat itulah aku mengetahui bahwa ia kini sendiri karena, Willy Garson, sudah pergi meninggalkan kota dengan gadis lain karena gadis tersebut hamil.

Luar biasa! Terima kasih Willy!

Tetapi ia tidak pernah menciumku…

Malam pun berlalu, dan kami semua kini adalah sahabat hingga kata 'kelulusan' memisahkan kami semua dari kesibukan dan jarak kota.

###

TETAPI, malam ini ia menciumku. Setelah hampir lima tahun kami berpisah. Mata itu tidak berubah, tetapi kini bibirnya melekat di antara bibirku, bahkan tengkuk leher dan seluruh dadaku yang bidang. Sekilas aku memperhatikan ada tatto cawan bersayap di bagian tengah dada atasnya. Wow! Keren! Regina bertatto?

Setelah itu, ia pun melepaskan seluruh keindahan bibirnya seraya tersenyum, dan luar biasa! Ia berkata kata-kata yang sebelumnya tidak pernah kudengar sebelumnya, “Aku memintamu tinggal hari ini karena aku sungguh ingin bersamamu malam ini. Karena kau teman yang jujur. Aku ingin kau, D! Sungguh!”

Benarkah! Tunggu, sebaiknya jangan…

“Uhm, Reg! Apa kau bercanda! Hei tentang video rekamanmu yang kau bilang?” Aku segera mundur beberapa saat dari posisi tadi dan segera mengubah alur romantisme liar tadi. Entah mengapa aku menjadi agak canggung. Heran sekali karena, bukanlah sedari dulu ini yang aku inginkan? Entahlah! Mungkin saja kali ini Regina yang memintaku dan bukan aku yang sekehendaknya meminta. Nampak begitu… murahan—

Ah! Tidak! Maafkan aku, Reg… Aku tidak bermaksud…

“D! Apa kau tidak apa-apa?”

“Ah! Maaf Reg, jadi, tentang tadi?”

“A ha ha! kau masih polos seperti biasa. Maafkan aku, D. Baiklah, Rekaman itu sudah kau temukan?”

“Sudah,” aku memyerahkan tape hitam yang bertuliskan, “Tiga”.

“Apa ini?”

“Nanti kau akan tahu, untuk sementara ini. Aku harus memberitahumu bahwa ini mungkin terlihat menjijikan tetapi, inilah kejujuranku dan aku harap… kau dapat menerimaku setelah ini, D. Sebagai teman…”

Oh kejujuran sebagai teman. Jadi ciuman tadi… Aw! Sialan!

Tape itu pun mulai. Sebuah layar biru pertama kali muncul dan segera berganti dengan gambar kamar tadi yang aku pakai untuk berganti pakaian.

Pertama-tama aku melihat Regina yang tersenyum manis dan… ia membuka bajunya—helai demi helai!!!

A-apa ini! Apa maksud dari semua ini? Regina?

Aku segera menatapnya dan mengerenyitkan dahi sembari hendak berkata, tetapi Regina segera menyuruhku diam dengan isyarat senyuman dan menengadahkan kepalanya, memberi tanda untuk terus menyaksikan rekaman tersebut.

Maka aku kembali menatapi Regina-ku yang polos membuka satu persatu pakaiannya bagaikan sebuah film porno murahan. Seperti pelacur! Oh Tuhan ! Regina-ku…

Akhirnya, ia pun benar-benar telanjang dan masih tersenyum manis, memainkan jari-jari lentik itu di sekujur tubuhnya. Lalu, tiba-tiba muncul pria yang sama 'polos'nya dengan Regina-ku sayang, dan ia segera menciumi tubuh Regina dari kaki hingga leher seraya terus… mereka berdua mengeluarkan kata-kata umpatan yang begitu… liar dan jujur.

Tatto cawan sayap itu…

Aku mencoba menyangkal kegilaan ini. Aku mencoba tidak memperhatikan sama sekali tentang kegilaan pergumulan itu. Tatto! Itu saja sudah cukup. Aku tidak mau melihatnya lagi…

Dan saat itulah, saat ketika aku hendak berpaling dan beranjak pergi dari sofa… Mataku terpana saat perlahan-lahan aku memperhatikan di antara kegiatan sexual dan intim itu, di antara organ keintiman mereka terdapat darah kental!

A-apa ini! Siapa yang berdarah? Regina?

Spontan saja aku langsung bereaksi dengan lantang, “Reg! Apa maksudmu? Apa itu? Darah? Tunggu dulu,”

“Shhh, lihat saja hingga habis, aku… amat menyukai adegan sesudah ini.”

“Ta-tapi…”

“Hmm… Aku sebagai tuan rumah yang buruk. Baiklah, tunggu sebentar, aku akan mengambilkan minuman dan beberapa snack, ok?”

Regina berlalu sembari tersenyum, ia menyerahkan remote itu ke tanganku.

Seharusnya aku matikan saja acara sial itu sekarang, tetapi entah mengapa aku jadi penasaran; sebuah kenyatan baru—hidup Regina yang sesungguhnya. Ia menawarkan kejujuran.

Mengapa ia menunjukkan ini padaku?

Adegan darah intim itu terus berlalu, dengan desahan dan kegilaan murtad!

Lalu adegan itu terpotong dan berganti dengan gambar sekilas penis yang berdarah kental lalu berubah kembali menjadi adegan dimana Regina-ku—sendirian di tempat tidur—yang memainkan selangkangannya sembari mengeluarkan darah-darah itu secara liar. Oh Tuhan, ia nampak menikmatinya. A-aku mual…

Regina berucap di balik dinding dapurnya, “Oh ya, D… Apa kau menyukai karya baruku? Aku sudah melakukannya tiga kali.”

Ah! Tape itu yang bertuliskan 'tiga'…

“Tapi Reg, mengapa kau… dan ada apa dengan darah lengket itu? Apakah kau yang membuatnya? Apakah ini sekedar permainan fetish biasa? Reg… aku mual melihatnya?” Aku memainkan nada bicaraku layaknya bergurau, terhibur dan setengah tertawa kecil. Aku tidak mau terlihat canggung dan nampak aneh dengan kegiatan sexualitas ini. Aku bukan Damien yang dulu sebegitu bodoh dan mudah dipermainkan!

“Ah! Darah itu… Aku… menamakannya 'Darah Sempit' Damien, luar biasa bukan?”

Seraya ia terus berbicara, pendengaranku hanya menangkap frasa, 'Darah Sempit' itu dan ia pun datang sambil membawa dua kaleng diet coke dan sebungkus potato chip.

“Ya, D! Aku menemukannya baru-baru ini. Well! Pertama-tama memang agak sakit tetapi, sesudah itu… Aku… seperti yang kau lihat, aku sang-at menikmatinya, D!”

Darah Sempit? Apa itu?

“Aku tahu ini terlihat aneh, D, tetapi aku begitu bosan dengan kehidupanku yang polos dan begitu jujur. Aku ingin sekali-kali menembus batasan itu.”

Batasan… Ini batasannya?

“Kau pasti pernah bosan menjadi personalitas yang orang-orang inginkan; Si 'Regina yang baik'. Si 'Regina yang jujur'. Oh D, aku sudah bosan dengan melayani mereka atas kebohongan itu. Aku ingin menjadi liar sesekali dalam hidupku. Well… mungkin tiga atau empat kali?”

“Tapi Reg, darah itu? Oh Tuhan Reg, apa yang…”

“Apa, kau masih dapat menerimaku sebagai teman?”

Teman? Tentu Reg, kurasa aku paham tujuanmu memberitahuku semua ini. Kau ingin jujur padaku dan kau teramat percaya padaku daripada pria-pria itu bukan?

“Kurasa begitu, baiklah…” Aku berusaha tertawa dan menggangap kebiasaan Regina-ku itu wajar dan layaknya kami berdua menyaksikan film porno sewaan murahan.

Semua dialog heran pun berdalih menjadi konsentrasi penuh saat aku menyadari wajah pria yang berada dalam rekaman 'Tiga' tersebut… Nampak familiar?

“Hei, Coke-mu habis! Apa kau mau lagi?”

Huh! Habis?

Tanpa sadar aku telah menghabiskan coke itu, mungkin karena sebegitu tegangnya? Entahlah.

Regina pun kembali berlalu ke dapur, kali ini, Aku tidak kuasa dan segera mematikan tape itu.

Masih ada dua tape lagi di laci itu. Ah! Sudahlah! Tetapi… pria itu, Sialan! Sepertinya aku pernah melihatnya… Siapa ya?

Tak mau berlama-lama lagi aku memikirkan hal yang percuma, akhirnya kunyalakan program kabel biasa. Suaranya aku kecilkan karena speaker flat itu terlalu riuh bagi telinga perawanku. Sembari aku berkutik dengan angka channel televisi, mataku tiba-tiba berhenti pada satu channel berita infotaiment dan gossip,


“Bagaimana hubungan Anda dengan Maxwell Lothos, Nona Regina?”


Sebuah mike tiba-tiba berada di depan wajahnya yang terpampang di program tersebut. Begitu cantik dan mengenakan gaun biru yang apik beserta hiasan bunga di sekitar pinggangnya.


“Ah,maaf, kami hanya teman biasa, kami memang pernah bertemu pada suatu malam di konser, itu saja. Dan ia juga teman dari ayahku… itu saja.”


Maxwell Lothos… Ah! Si anak boss perusahaan oli mobil yang pernah digosipkan bersama dengan Reg! Penyangkalan.

Aku sadar bahwa Regina dan dunia glamour memaksanya untuk selalu berbohong. Kami hanya teman biasa…  Pah! Bohong! Aku baru melihat mereka berdua melakukan dosa liar yang gila! Kegilaan 'Darah Sempit', pria itu pun juga pembohong! Pembohong!

Segera saja aku mematikan televisi itu dan berlari ke arah kamarku yang tadi aku pakai untuk berganti pakaian. Mengapa Reg…?

###

AKU begitu tidak kuasanya melihat 'kejujuran' Regina kali ini. Begitu sakit.

Tak lama, Regina segera memasuki kamarku dan menaruh kaleng Coke yang seharusnya untukku.

Ia menatapku dengan sebuah tatapan yang benar-benar tidak biasa. Nafsu? Seperti sebuah keinginan atas tubuhku ini.

Regina…

“D, apa kau mau tahu apa itu 'Darah Sempit'?”

“A-ah! Itu… Aku…”

“Tapi, apa kau mau melakukannya… Aku sungguh percaya padamu, D.”

“Tapi ini bukan sekedar senang-senang saja, Reg! A-aku… aku ingin hal semacam ini menjadi sesuatu yang sakral bagiku. Terutama… Kau…”

Selintas aku mengucapkan hal yang sedari dulu amat kupendam, dan kali ini Regina-lah yang memancing. Seperti imajinasiku setiap saat kala itu.

“D…”

Ia mendekat, Oh Tuhan! Saat bersejarah…

Perlahan-lahan ia membuka helai-demi-helai bajunya.

Seperti video tadi…

“Ah! Apa kau mau melakukan rekaman yang keempat, Reg?”

“Hm? Ah D, khusus untukmu, tidak! Aku ingin malam ini menjadi cinta yang umum; biasa dan tanpa ada 'Darah Sempit' itu.”

Sungguhkah! Ini adalah percintaan murni tanpa rasa fetish itu, Reg? Aku yang kau pilih untuk mengetahui kejujuranmu?

“Reg… A-aku… aku mencintaimu…”

“Aku juga… D…”

Malam itu pun mulai larut dan kami hanya mulai menelusuri tiap inci dari tubuh kami berdua di ranjang putih itu dengan seksama dan perlahan—mengilhami kejujuran yang selama ini terpendam. Dan sungguh! Regina tak melakukan 'hal' itu layaknya terhadap pria-pria lain. Ya! Hatiku tetap sakit mengingat kejadian dalam tape tersebut. Tubuhnya, seluruh permukaan kulitnya di sentuh dan dinikmati oleh orang-orang biadad. Regina-ku ynag manis menjadi liar bukan karena kehendaknya… Pelarian—

Reg… Oh Regina-ku yang manis.

Saat hening dan penelusuran itu tiba-tiba terhenti dan membuatku terpana saat Regina mulai mengumpat kasar! Aku menatap matanya yang selalu menatap ke langit-langit dinding. Ia menikmati setiap hujaman tubuhku! Ia menikmatinya bagai binal liar! Ia mulai merasuki alam kebebasn itu…

Reg… Apa yang kau…

###

REG! Reg! Hentikan! Kau membohongiku! Kenikmatan ini…

“Damien… biarkanlah aku membuatmu merasakan cinta… Dalam pelukan darah kental yang kukeluarkan atas…”

Reg… Regina…

Hentikanlah Perempuan sialan!

“Damien… Inilah saatnya…!”

Aku merasakannya, saat ia mulai mengeluarkan darah dari tempat aku menghujamkan tubuh ini. Regina-ku… Sialan! Ia menipuku dengan ucapan manis! Aku bukan yang ia mau, ia hanya ingin melampiaskan! Aku hanya bahan pelampiasan. Regina pelacur! Sial! Sial! Sial!

“Ah! Damien, inilah saatnya…”

Aku tidak mau jadi 'keempat'-mu!!!

“Tidak! Tidak akan pelacur sialan!”

Matilah kau…

Aku hanya dapat menatap matanya sekali lagi, dan dalam gerakan menghujam liar itu yang kontinus, aku segera merengkuh kepalanya dengan kedua tanganku dan menyeret seluruh tubuhnya ke dekat dinding…

Mata itu, tatto itu… Regina-ku yang manis…

Dengan kedua tangan ini, dalam kenikmatan yang terus berjalan… Aku segera membentur-benturkan beberapa kali kepala Regina sampai ia berteriak kesakitan.

Darah. Darah. Pelacur! Penipu!

Ha ha ha! Biarkanlah 'Darah Sempit' mu itu melaju bukan dari vaginamu melainkan dari kepalamu pelacur penipu!

“Regina… Maafkan a-aku…‘”

Aku terus menghantamkan kepalanya sehingga hampir seluruhnya lunak dan setengah remuk. Dan… dan saat semua teriakan, umpatan, serta merta suara parau Regina berhenti, maka pergerakan binal itu juga berhenti.

Aku… hampir saja terkena secara menyeluruh dari 'Darah Sempit' itu. Aku hampir di tipunya. Regina…

Oh sayangku…

Terdiam dalam keheningan. Menatapi kepala Regina yang remuk, darah yang mengalir melalui kepala dan alat vitalnya…

Terdiam dan tak bergeming.

###

KEESOKAN paginya…

Aku segera mandi dan berpakaian kembali dengan bajuku yang semalam. Aku harus membersihkan seluruh tubuh ini dari kenistaannya.

…aku menyukai 'Darah Sempit' itu. Aku harus menunjukannya padamu sayangku.

Oh Regina-ku. Apa yang telah kau perbuat pada kenangan kita?

Penyesalan itu akhirnya datang dan aku berteriak dari kesadaran penuh. Penyesalan atas kemunafikan yang terkuak. Aku… ditipu oleh cinta sejatiku. Aku harus membebaskannya dari dosanya tersebut. Dosa yang membuatnya tidak dinamis dan ceria seperti gadis polos yang seharusnya aku perkirakan. Regina sang model yang polos dan suci.

Aku… Aku harus menemukan ketiga orang yang telah merasakan 'Darah Sempit' Regina! Aku tidak boleh membiarkan mereka menyebar fitnah atas tubuh Regina tersayangku!

Aku harus membinasakan mereka agar mereka tak mengotori nama Regina…

“Baiklah, Video itu… Aku harus melihat semuanya. Walaupun aku jijik—Tubuhnya yang diperalat—”

Hanya tiga pria, aku yakin tidak akan memjadi soal yang sulit.

Tenanglah Regina, Aku akan membebaskanmu dari perasaan bersalah itu.

Damien… akan membersihkan namamu…

Mereka akan mati!!! Mereka akan mati!!!

“Sekarang mana video-video tadi…”

###