lullaby eve
Juno Puzzini
1995
JUNO Pizzini memainkan senter di wajahnya yang sayu, menatapi bulatan lampu kuning yang terang, membiarkan dirinya malas tak berkehendak.
“Hangat… hangat…” Nona muda itu melirih pelan. Berbisik sembari tetap tak bergeming pada fokus sinar tersebut.
Inilah… yang sekurang-kurangnya ia lakukan setiap hari dalam kamar flatnya yang sumpek. Kertas dinding bermotif bunga yang hampir terkelupas, lampu neon yang kadang menyala-mati sesuka hati, beserta suara-suara tangisan bayi di kamar atasnya.
Tetapi… Itu semua bukanlah sebab utama dalam rasa ketidaknyaman yang ia rasakan setiap hari. Ia… merasakan hal lain––
Kekalutan.
Ya! Kekalutan karena penampakan seorang gadis cilik yang datang setiap malam dalam keadaan setengah lelapnya.
Juno Pizzini selalu mendapatkan gambaran, bukan… Ini adalah nyata! Gaun putih dengan renda bunga anggrek. Gadis cilik manis berwajah pucat lirih dan memelas keji. Setiap saat ia muncul maka jantung wanita muda itu akan terenyuh dan berdebar. Ia tak pernah bisa bicara atau bergerak layaknya seorang tertuduh yang tertangkap basah. Lalu, kedua bola mata hitamnya hanya akan berusaha menyangkal––berputar-putar menatapi lumut, kerak dan celah di dinding––mencari pandangan lain yang sekiranya menyenangkan.
Degup jantungnya amat berdetak kencang seiring getaran irama pipa pemanas dan baling-baling kipas.
Ia dan kesendiriannya. Suara-suara tangisan. Gadis kecil mengerikan itu, suara-suara klakson dan dengungan orang-orang di luaran sana yang bersahutan menyambut malam.
Dari takut, cemas, hingga amarah sudah ia lampiaskan dengan guratan-guratan tajam di sekujur lengannya. Mencoba membunuh diri. Dengan penuh ketenangan.
Steker TV ataupun macam rupa peralatan elektronik yang masih panas sering sengaja ia tancapkan secara brutal di belakang tengkuk lehernya hanya sekedar untuk meyadarkan dirinya sendiri. Membiarkan dirinya berfoya-foya dengan cabikan-cabikan kecil.
Semuanya yang ia alami dan lakukan adalah sungguh sebuah ajar penyiksaan yang menenangkan.
###
DAN dia… Gadis cilik pucat pasi. Setiap malam. Saat tengah malam telah menjelang, sebuah fatamorgana dalam kelembaban kamar. Gadis cilik itu, dengan boneka kain usang dalam pelukannya dan, wajah memelasnya yang sungguh sebenarnya bukanlah sebegitu mengerikan melainkan iba.
Juno Pizzini selalu mengacuhkannya. Ia mencoba menutup kedua matanya setiap malam. Menyangkal.
Kesendiriannya pun dapat terobati dengan 'obat' pembunuh rasa sakit beserta guratan-guratan kasar di kedua lengannya––tanda-tanda perjuangan hidup! Kewarasan dan pembuktian. Semua hal menyatu dalam performa siksaan fisik lainnya yang ia lakukan… untuk bertahan, Ya… bertahan….
Oh, Sungguh malang nasib wanita muda ini! Ia sengaja mengurung diri dalam kamar dengan penuh rasa tertekan karena keinginannya untuk menyendiri namun, nampaknya tidak ada yang peduli bahwa kesendirian itu hanyalah satu-satunya cara agar Nona muda ini terbebas dari rasa cemasnya. Sungguh! Yang ia inginkan adalah benar-benar sebuah ketenangan absolut tetapi, nampaknya khalayak ramai akan datang berarak-arak lalu akan membebaninya dengan simpati fana. Mereka; para tetangga dari kamar-kamar sebelah, para pelanggan dari pasar swalayan tempat ia bekerja, bahkan teman-teman 'gila'nya yang selalu menawarkan 'obat' pembunuh rasa sakit tersebut. Mereka akan selalu datang–– walaupun ia tak pernah mengundang mereka.
Juno tidak pernah mau mereka datang dan mengasihani. Membuatnya jijik.
Munafik!
Ia selalu menggangap semua bentuk simpati fana mereka adalah tak lebih dari bentuk penyesalan yang terlambat. Entah apa dosa mereka tetapi, Sang Nona penyendiri selalu mencari-cari alasan agar ia tahan dengan kunjungan-kunjungan sial mereka.
Mereka harus pergi! Apa mereka tidak mengerti bahwa yang aku inginkan hanyalah gelap dan suram ini? Apakah mereka tidak cukup puas melihatku menahan tawa dan bahagia dan seolah-olah berkata bahwa, 'Aku baik-baik saja.' dan 'Dunia adalah indah.'?
Itulah perasaannya yang terdalam. Sebuah konklusi yang menyedihkan.
Juno Pizzini dan pemikiran telaknya akan alam yang ia hidupi.
Oh… Tuhanku… A-aku lelah.
###
MALAM yang entah kesekian kalinya ia bertahan dalam kubah maya itu. Juno Pizinni akhirnya berani mengambil langkah ke depan; menghadapi sang gadis cilik yang selalu duduk termenung menatapinya dengan pandangan kosong dan sedih.
Gadis cilik yang bukanlah manusia itu dan, gadis cilik yang selalu membawa suasana teror beserta haru dalam irama degup jantung kecil tak berperasaan Nona muda Pizzini. Sebuah rasa iba tercuat yang membuat bulu kuduk Nona penyendiri itu merinding dan terpana heran.
“Datanglah…” Suara parau Juno Pizzini dengan senter yang masih menyinari wajahnya yang sayu. Di ranjang yang lembut dan agak dingin. Bermain-main dengan selimut putih bernoda. Menggeliat malam dan menatapi pojokan dinding atap yang bocor…
Kotor, dinding tebal, rapuh karena air yang sebegitu lembut…Apakah aku sebegitu lemahnya?
Oh––
“Datanglah kau sekarang gadis cilik… Aku ingin manyampaikan sebuah lagu nina bobo untukmu. Kau… pasti kesepian bukan? Bosan dan lelah? Setiap malam hanya menatapiku di pojokan sana. Tidak ada orang yang membawamu tertidur lelap–– sepertiku? Ya! Aku tahu rasanya sulit tidur. Jadi… sekarang, datanglah dan kakak akan nyayikan sebuah lagu lembut tentang bintang dan malam untukmu.”
Juno Pizzini berkata dengan pasrah. Bisikan-bisikannya terhadap sang gadis cilik yang ia undang. Bisikan-bisikan yang masih terpengaruh oleh 'obat' tersebut. Di ranjangnya. Setengah telanjang. Rambut cokelat ikalnya membuyar di sekujur ranjangnya yang lapuk. Menyinsing ombak kasur layaknya angin menggerakan arus pasang.
Ia tidak menganggap gadis cilik itu hantu. Walau sering kali sang cilik itu datang dengan pandangan kosong layaknya mata itu memberi isyarat ingin membunuhnya, dengan gaun putihnya yang kadang berlumuran darah.
Ah! Darah itu…
Semakin lama Juno Pizzini perhatikan, darah itu akan semakin melebar dan mengkontaminasi keindahan wajah sayu sang gadis cilik. Seakan-akan setiap ia bertemu kembali dengannya, sang gadis cilik itu akan semakin kotor; bermandikan darah sedikit demi sedikit. .Di pojokan kamarnya yang sumpek. Di kamarnya yang berada tak jauh dari lantai dasar Flat 'mistik'- nya ini.
Aku enggan pergi kali ini. Aku memang tidak pernah bisa pergi darinya! Dari matanya! Tetapi… aku ingin… walaupun kini semakin lama dapat kugerakkan tubuhku yang kaku… Aku ingin menenangkannya. Oh Tuhan, sudah sekian lama ia menatapiku selama ini. Aku mengasihaninya. Darah itu––sudahlah nak, datanglah pada Kakak! Kakak tidak akan berteriak ataupun berusaha mengacuhkanmu…
Dan––
Sang gadis cilik itu pun akhirnya muncul layaknya gambaran tipis berkabut.
Sesuai dengan dugaan Juno Pizzini, semakin lama sang cilik terendam dalam darahnya yang pekat. Mata putih nan polos semakin menatapinya dengan penuh pertimbangan. Dengan pandangan mata itu, Juno merasa di adili dengan seksama. Sekali lagi, degup jantungnya berdetak kencang.
Hampir saja buyar…
Tatapan itu. Sang gadis cilik dengan boneka––
“Lagu ini… untukmu… nak!” Juno Pizzini mulai melantunkan lagu 'Selamat Tidur' dengan nada yang sayu. Ia masih memainkan senter itu ke arah langit-langit kamar yang kelam. Seakan-akan ia mencoba meminta dan mengajak sang gadis cilik yang bermandikan darah itu meratapi langit-langit itu pula. Layaknya mereka sedang menyaksikan angkasa di luaran sana yang bertaburan bintang dan sabit tajam yang indah.
“Apa, kau menyukainya?” Juno Pizzini tersenyum padanya.
Sang cilik masih menungguinya. Menatap dengan pandangan mengadili.
Oh… Aku tidak membuatnya berpindah pandangan. Aku tetap semenarik dulu. Ia menyukaiku? Apakah ia ingin mengutarakan sesuatu? Biasanya hantu seperti––
Juno Pizzini tidak percaya apa yang baru ia katakan dalam otak bodohnya. Ia baru menyama-ratakan gadis cilik itu dengan 'hantu'. Padahal, ia tahu sebenarnya siapa gadis cilik dengan darah di sekujur tubuh itu. Ia pun tahu, siapa yang sekarang berada di pojokan kamarnya yang sumpek itu. Memandanginya dengan penuh pengharapan dan kesadaran.
“Kau menunggu?” Juno Pizzini sekali lagi berhenti sejenak dalam nyanyiannya dan berucap lirih. Ia memeluk bantal dengan penuh kelembutan dan, balik menatapnya seperti menatapi langit pagi layaknya yang ia biasa lakukan pada saat baru bangun dari tidur.
Lagi, sang gadis cilik tertegun. Dan…
Sesaat Juno Pizzini melanjutkan lagunya, perlahan pula sang cilik bermandikan darah itu menghilang. Matanya perlahan menutup damai dan, malam itu sang gadis cilik menghilang dari pandangan sang penyendiri. Dan juga, baru kali ini Juno Pizzini sadar bahwa sesungguhnya lagu itu adalah penenang tidur yang cocok bukan hanya bagi sang gadis cilik tetapi juga baginya.
##
~SELAMAT malam………
Lagu itu pun habis.
Ah! Syukurlah. Kini aku bisa tidur nyenyak.
Juno Pizzini tersenyum dan menatapi langit sembari berucap, “Akhirnya, malam di mana aku bisa tertidur pulas tanpa harus memejamkan mata secara paksa. Ah… Malam di mana aku akhirnya tahu hal apa yang dapat membuatnya tenang. Tetapi, Oh Tuhanku! Apa aku harus mulai membiasakan diri menyanyikan lagu ini setiap malam untuknya?”
Air mata Juno Pizzini pun keluar. Tetesannya jatuh perlahan––sedikit demi sedikit––membasahi permukaan selimut usang yang ia regup dengan sangat halus dan membiarkan dirinya terenyuh dalam hangatnya udara kamar.
“Maafkan … gadis cilikku! Kakak tidak pernah bermaksud membuatmu menderita seperti ini! Kakak…”
Juno Pizzini terdiam sejenak dan menahan haru. Pandangannya penuh dengan iba dan sesal––
Ia merenggut selimut semakin keras dan berujar kembali dengan ragu, “Bukan… maksudku… Ma… Ya! Mama tidak bermaksud membuatmu sebegitu pedihnya. Mama tahu… Mama tahu ini adalah amarahmu yang tak terucap; mendatangi Mama setiap malam dan membiarkanmu tumbuh dalam lingkup neraka dari bayi hingga dewasa, Oh Tuhan! Mama telah mengacuhkanmu dan dada Mama sesak, sungguh! Melihatmu dalam pelukan darah…” Air matanya kian deras.
Juno Pizzini menatapi sebuah pita merah di meja samping tempat tidurnya, “Seharusnya Mama tidak melakukan hal bodoh itu. Kala itu Mama terlalu bodoh dan berpikir bahwa dengan tidak membiarkanmu lahir adalah satu-satunya cara! Oh anakku… Seharusnya Mama membiarkan kau hidup… Dan jika bukan karena pria sialan itu… Ya! Jangan kau salahkan Mama… tetapi––”
Ia segera bangkit dari tempat tidurnya lalu, mematikan seluruh lampu dan peralatan listik. Membuat seluruh kamar hening senyap dan gelap gulita. Membuat seluruh khalayak di luaran sana tidak bisa melihat apa yang akan ia lakukan.
“Mama akan membuatmu lahir! Ya! Mungkin Mama tidak akan sanggup meninabobokan seorang anak yang selalu bermandikan darah…”
Ia mengambil sebuah gulungan kawat tipis dan sebuah tang. Sang penyendiri tersenyum lega lalu segera pula ia kembali berlari ke arah ranjangnya yang lembab. Posisi tidur yang nyaman bagiku dan baginya.
“Asal kau tahu anakku, kesendirian ini, seharusnya sudah menjadi hukuman Mama yang setimpal. Kau lihat sendiri bukan bagaimana cara Mama menebus dosa selama ini nak?”
Dengan cepat dan tanpa pikir panjang, ia menancapkan kawat-kawat itu di sekujur lapisan perutnya dan… Layaknya menjahit kain, ia menjahit lapisan perutnya dengan kawat. Keluar dan masuk, jelujur, perlahan, darah dan daging-daging kecil. Perih yang sewajarnya. Lebih nikmat daripada steker panas dan guratan-guratan pisau.
Jahitan kawat itu sengaja ia bentuk seperti sebuah lingkaran di sekitar area permukan perutnya.
Kemudian, Juno Pizzini yang meringis pelan, mengambil tang itu, tersenyum bangga, lalu, menarik salah satu ujung kawat yang keluar kecil––
“Mama akan membuat sebuah cara, membiarkanmu masuk dalam rahim malam ini juga! Mama tidak mau meninabobokanmu di luaran sana. Membiarkanmu tumbuh dengan kotor dan dengki. Mama akan––”
Juno Pizzini menarik tuas itu! Mengangkatnya tinggi-tinggi hingga ia pun bisa melihat darah, daging dan kulitnya yang mengucur, bercampur dan menempel acak di antara lapisan kawat-kawat kecil tersebut.
Ah! Si-sial…Sial!
Merongga perih dan darah mengucur liar. Denyut jantung Juno Pizzini berdegup kencang. Sembari terengah-engah menahan sakit ia berkata, “Ma-marilah, Mama akan tidur sejenak malam ini. Dan selama Mama ti-dur, Ma-mama mohon, masuklah kau dalam rahim ini! Mama… ingin… melahirkan kau kem-bali malam ini… Agar… kau Nak… Dengarkan-lah… Ma-ma…
“Ma-ma ingin kau kembali polos dan tak mengekang den…dam pada Mama, hidup normal layaknya a-anak seusia…mu yang… Nak… Mama i-ngin…”
Juno Pizzini tidak dapat berkata apa-apa lagi. Tubuhnya lemah, darah mengucur terlalu banyak. Matanya perlahan menutup, namun rongga besar merah di antara perut dan dadanya meruak lebar seperti menunggu sesuatu untuk masuk dan bersarang.
Dan sesungguhnya, sungguh! Gadis cilik itu nampaknya memang tidak pernah ada. Layaknya penyesalan Juno Pizzini terjadi hanya karena pengaruh 'obat' tersebut. Efek paranoid. Dengan campuran rasa sesal yang luar biasa. Ia telah membunuh kewarasannya sendiri dengan percuma.
Ya! Sang cilik itu… adalah fana! Karena sampai detik ia menghembuskan kata penawaran terakhir. Sang gadis cilik tetap kukuh; tidak pernah nampak dan, memasukkan dirinya sendiri ke dalam rahim Juno Pizzini yang terbuka lebar. Tidak! Tidak akan ada yang mau naik bus terakhir yang tidak pernah jelas arah tujuannya. Bahkan hantupun tahu filsafat kuno tersebut!
Oh Juno…
Apakah kau layak menyesal?
Sungguh.
###
RENTETAN bising kota mulai membaur pelan dan menghilang.
Senter di tangan Juno Pizzini pun perlahan meredup pelan. Meredup dan akhirnya mati.
###