ZILCH 01: deadly sweet mother

deadly sweet mother
Cassandra Lewis
2006

CASSANDRA Lewis nampak menikmati udara sore di atas gedung itu. Udara dingin dan senjata magnum di tangan putihnya. Tubuhnya tak memakai sehelai kainpun. Hanyalah sepasang sepatu hak tinggi merah yang masih ia anggap pantas untuk menemani tubuhnya yang fana dalam aksi kecilnya

###

“Kau… menikmatinya gadis kecil?” Cassandra mendekatkan kokang pistol itu ke wajah seorang gadis kecil berumur belasan tahun.

“Apa… kau menyukai dada mama barumu ini? Kau tahu… (ia menyuruh menaruh tangan sang gadis kecil itu ke dada Cassandra yang molek) Apa… kau ingin memiliki dada seperti ini jika kau dewasa?”


Sang gadis kecil nampak ketakutan, mata dan hidungnya berair. Wajahnya terlihat kotor dan tubuhnya seperti bau selokan.

“JAWAB SIALAN! DASAR ANAK BODOH! SIAL! SIAL! SIAL!!”

PLAKK!

Segera, ia menampar pipi gembul sang gadis kecil itu dengan ujung pistol magnum hitam tersebut.

“Hik! Hik! A-aku i-ingin pu-pulang… Tolong kak…” Sang gadis kecil nampak memelas.

“Hmm… Aku… sangat suka wajah memelas… Tunjuklah lagi atau… aku akan memasukkan pistol ini ke daerah mungilmu itu lagi gadis kecil?” Cassandra menunjuk ke arah kemaluan sang gadis malang tersebut yang tersingkap lebar.

“A-ah… A-aku… tidak ma-mau… to-tolong…”

“Aha ha ha, Ya! Ya! Lakukan lagi… Ah ! Lakukan lagi… Ssh… tenanglah.” Cassandra memeluk erat tubuh kotor dan dekil itu dan meremasnya dengan dadanya yang kencang, “Ah! Rasakan denyut nadi dada  mama barumu ini,. Kau ingin minum? Apa kau haus, anakku?”

“A-ah? Maksud… ka-kak?” Ia nampak benar-benar ketakutan dan memberikan geliat tubuh yang menandakan bahwa ia sama sekali tidak mau dipeluk oleh wanita bugil sinting yang berada di depannya itu.

“Ah… Dada mama ini berisi keindahan alami, sumber tenaga yang baik untuk seorang anak yang baru tumbuh sepertimu… Anak gadis yang baik! Baik! Baik… BAIK!! BAIIIKKK!”

Cassandra segera membuka dengan paksa mulut sang gadis kecil itu. menyeret mulutnya yang mungil dan menempelkannya ke salah satu sisi payudaranya yang nampak putih dan segar. “MAKAN INI! MAKAN!! AH HA HA HA!!! BA-BAGUS…”

“U-ugh… he-hentikan…”

“Ya! Ya! Nikmatilah… oh, anak kecilku yang malang… Kau pasti sangat kelaparan… Ugh… Me-mengapa kau menolak, mendorong? SIAL!!!”

Kakak ini sinting!!! Oh Tuhan…

”AKU BILANG MAKAN!!! HISAP! HISAP DADA INI BRENGSEK! APA AKU HARUS MEMAKAI BAHASA ANJING!!!?”

Cassandra menamparnya sekali lagi, perlahan ia mundur dan memperhatikan selangkangan paha sang gadis cilik yang bernoda darah.

Da-darah? A-apa aku melukainya? Oh, a-aku tidak bermaksud…

“Ka-kakak… A-aku mohon, lepaskan aaa…” Sang gadis merintih kesakitan memohon ampun atas nyawanya dalam lebam dan ikatan kencang tambang berbau amis dan anyir.

Apa yang telah aku lakukan? Oh… a-aku harus menenangkannya… Aku tidak mau membuat anakku sendiri takut akan ibunya… Oh anakku… Gadis kecilku…

“Oh sayangku…” Cassandra mendekat sembari tersenyum dan memberikan sinar mata haru.

“Ugh… Ja-jangan!!!” Sang gadis mencoba menolak dan merundukkan kepalanya, ia terlihat takut dan gemetar. Wajahnya semakin terlihat penuh lebam, darah dan keringat kotor. “Kumohon! Kumohon kak! Ja-jangan lagi! A-aku…”

“Ssssh! Tenanglah… Mama tidak bermaksud menakutimu… Mama hanya rindu akan pelukanmu itu… Mama rindu saat kau masih tidak enggan untuk menyusui dada mama ini. Oh, anakku yang manis… Mama rindu…” Cassandra melirik dan menatapi mata sang gadis yang nampak keheranan, “Mama ingin kita seperti dulu… memeluk mesra, hangat tubuh mama; apa… kau tidak ingin merasakannya lagi, Nak?”

“……” Sang gadis nampak pucat dan terdiam. Entah apa lagi yang dapat ia katakan. Tubuhnya tidak lagi terengah-engah, dan dirinya nampak heran sekaligus berpikir.

Gi-gila! Wanita ini gila! GILA! GILA!!!

“Marilah…” Cassandra kembali memeluk sang gadis cilik itu, dan kali ini gerakannya amat sangat pelan dan lembut. Dadanya yang padat memberikan kehangatan yang bahkan sang gadis itu tidak lagi menolaknya. Sang gadis tidak merasakan rasa takut dan ngeri pada pelukan sang wanita sinting itu.

Ia hanya menangis.

Cassandra merasakan air mata sang gadis yang patuh di pundaknya.

Ah! Ada apa…

Sang wanita sinting itu melepaskan pelukannya dan menatap sang gadis dengan heran, “Apa kau menangis?”

Anak kecil itu menahan isakannya dan sama sekali tidak berbicara. Ia berusaha nampak tidak takut dan menunjukkan wajah yang entah bagaimana terlihat akan segera meledak dan hendak menyerang wanita sinting itu.

Si-sial! SIALAN! WANITA ANJING! SIAL!!!

“Anakku! Apa kau tidak rindu bertemu Ma—”

“CUIH!!!” Sang gadis meludah dengan nada marah ke tubuh wanita polos tersebut. Lalu dengan kakinya yang tidak terikat ia berusaha menendang apapun dengan yang kaki kecilnya bisa raih, “SIAL! SIAL! Wanita gila! GILA! Kau… Kau bukan ibuku! Ibuku sudah mati, dasar wanita sial! Lepas! Lepaskan aku sekarang juga! Lepaskan dasar wanita tidak tahu malu… Apa kau tidak punya anak sebenarnya? Apa kau sudah mau mati?”

A-a-ah! Anakku? Apa yang kau katakan… Ma-mati? Ma… Ma-ti… Mati? Mati? Mati? Mati? MATI? MATI? MATI? MATI!! MATI!

“SIALAN! ANAK TIDAK TAHU DIUNTUNG!!!”

BRAKK!

Cassandra mendorong jatuh sang anak kecil itu dengan keras ke lantai semen atap gedung kosong tersebut…

Burung-burung berterbangan di langit siang yang terik dan kering.

“Ka-kau menghina ibumu sendiri! Masuk neraka! Kau… Kau akan masuk neraka! Sial! Aku tahu seharusnya aku tidak membawamu kesini! Aku seharusnya menitipkanmu di Panti Asuhan! Oh tidak! A-aku seharusnya menaruhnya di pinggir jalan agar kau mati dilindas mobil! Diinjak-injak orang, di cabik oleh sekawanan anjing liar, a-aku seharusnya membiarkan kau mati kedinginan dan mencair, membeku, mati! MATI! MATI! SIAL!”

DUKK! Cassandra dengan amat sangat marah menendang perut sang gadis cilik yang masih menahan sakit di lantai dengan ujung sepatu hak tingginya yang merah.

K-KREKK

“A-AAAH!!!” Sang gadis berteriak kesakitan; menahan dan menggigit bibirnya tak lama kemudian sesaat Cassandra menginjakkan kaki kanannya ke jemari kecil sang gadis dengan ujung sol sepatu merah kebanggannya itu.

Sa-sakit… A…AH! A…ayah… tolong… Siapapun…

“Apa… kau… merasakan sakit?” Nada Cassandra nampak mengintimidasi sang gadis, melirik hina dan menatapnya seakan-akan hendak membalas ludahannya tadi.

“Ini adalah hukuman bagi anak yang melanggar keberadaan ibunya… Seharusnya aku memukul pantatmu, menenggelamknmu ke dalam bak mandi, menampar pipimu berkali-kali hingga merah, membakar rambutmu, memotong kuku-kukumu hingga darah-darah itu… Ah! Seharusnya aku membiarkan kau mati saja, anak sial!”

Gi-gila… wanita gila…

Hentikan… aku mohon…

“A-aku mohon, hentikan… Le-lepaskan aku, ku-mohon?” Sang gadis mencoba sekali lagi memelas sedih sembari bibirnya terkatup menahan amarah yang dapat membuatnya lebih jauh disiksa dalam rangkulan sang wanita bugil sinting itu.

“Oh! Apa ini? Kau… memohon?” Cassandra mendekatkan wajah merah meronanya, lalu menarik wajah sang gadis ke arah sinar mentari yang terik, “Oh! Kau memohon atas nyawamu? Akhirnya kau sadar siapa yang seharusnya berkuasa di sini bukan?”

“I-iya…” Sang gadis itu menutup mata karena silau dan terik, terlebih ia tak mau melihat sang sinting itu, ia tahu bahwa sang wanita itu cantik, namun semua nampak sekejap menghilang jika ia mengingat sedikit saja tentang remuk jemari kecil dan lebam di sekujur tubuhya.

A-aku harus menurut… ya—

###

KEHENINGAN itu terjadi sekejap, sang gadis cilik menatapi Cassandra dengan bisu. Ia mau berucap sesuatu tetapi tiba-tiba ia berhenti sesaat ia mulai memperhatikan Cassandra dengan luwesnya memainkan pistol magnum itu melalui selangkangan si gadis cilik dan mulai menekan dengan paksa kembali, kedua dadanya yang ia akui kini semakin membuatnya terlihat bergairah.

“A-ah…” Cassandra mendesah walau ujung pistol magnum itu bermain-main liar dan pelan di selangkangan sang gadis cilik yang mencoba menahan sakit dan takut.

Si gadis sungguh benar-benar ingin mati. Ia sudah merasa bahwa berteriak akan sia-sia, entah apakah karena Cassandra… tetapi ia mulai membenci dirinya yang kecil; tubuhnya, suaranya, tangannya, kakinya, dadanya. Entah bagaimana, namun nampaknya pistol itu mulai membuat dirinya menjadi sebal akan dirinya yang tidak berdaya.

Ugh… Se-seandainya saja ka-kau bukan wanita dewasa dan, dan aku bukan gadis kecil…

—se-seandainya kau… Kaulah gadis kecil dan akulah kau… Seandainya sialan!

“Si-sial!” Si gadis cilik menggeram lirih dengan perlahan.

Se-seandainya… A-aku… aku akan menciummu dengan darah, aku akan memotong dan merobek seperti aku membenci boneka lama yang usang. A-akan kuremuk dan kubakar rambutmu… Akan kubuat kau menderita sebagaimana kau menunjukkan ini semua… Ka-kau wanita bugil sinting! Sinting… Aku… A-aku…Aku—

Tiba-tiba…

DORRR!!!

“Cassandra Lewis!!!” Suara seorang pria terdengar dan suara letusan yang amat nyaring.

            “A-AAAH!!!” Sang gadis cilik berteriak kencang sesaat ia melihat darah di kaki ibu palsunya itu. Ia bergetar dan ketakutan. Ia tidak pernah melihat darah sebegitu banyaknya.

            “Si-sial! A…aha ha ha ha! Rupanya aku su-sudah ketahuan ya, Bapak Inspektur?” Cassandra masih memaparkan tawanya yang cantik, tubuhnya semakin indah dengan darah yang tercemar di kaki putihnya yang langsing. Ia mulai melakukan sesuatu pada pistol dan alat kelaminnya.

     “Lalu… kau ingin melihat darah lebih banyak? Oh, anakku?” Ia bertanya sembari mulai mendekati kembali si gadis cilik. Ia bergerak tertatih dan darah itu masih membuatnya terlihat cantik. “Ra-rasakan ini…”

     Tiba-tiba Cassandra telah mengacungkan pistolnya ke dahi si gadis cilik, “Ji-jika aku tidak bisa bermain dengan anakku sendiri maka, tidak akan ada orang lain yang akan…”

DORRR!!!

Sekali lagi letusan kencang dan kali ini si gadis cilik sama sekali tidak berteriak. Ia mulai menikmati wajah kesakitan ibu palsunya. Lalu ia berkata sesuatu, berbisik di antara darah yang mengalir di tangan kanan Cassandra yang baru tertembak,

“ma…ma… Aku ingin bermain, tapi, aku ingin mama mati dulu, ya? Ya? Mama…”

A-APA?  Cassandra segera menoleh ke wajah sang gadis cilik.

“TOLONG! WANITA INI MENCOBA MENCEKIK! EARRGH!!!” Sang gadis cilik berteriak dan berbalas dengan dua letusan besar.

DORR!!! DORR!!!

Namun…

Sang gadis cilik dan, kemungkinan Cassandra mendengarnya seperti mendengar kesenyapan dan perlahan-lahan terik beserta angin di gedung itu memaparkan alunan Chopin yang lembut membahagiakan. Lembut bagaikan kematian Cassandra dan darah-darah yang mencemari tubuh putihnya yang polos.

“Merah… mama memang cocok memakai warna merah, ya? Mama?” Sang gadis tersenyum sesaat Cassandra ambruk dalam pelukannya dengan sang gadis yang terisak dan nampak ketakutan.

Wajahnya yang rupawan tertutup oleh rambut, pundaknya bercorak darah dan dua lubang yang meruak darah-darah tersebut, air mata sang gadis bercampur dalam kematian Cassandra.

“Hik…hik…hik… To-tolong…” Si gadis bergetar dan masih menangis walau sudah terlihat mereda.

“Ah! Ya, tenanglah anak kecil, sudah selesai… Ya… Semua sudah selesai.” Dengan segera sang pria Inspektur tadi dan beberapa orang yang entah datang darimana muncul dari segala penjuru. Semua orang-orang itu berseragam polisi.

A-ah, syukurlah aku selamat…

“Kau tidak apa-apa? Apa wanita itu melukaimu?” Si Inspektur berkumis tebal dan berambut hitam kelimis itu bertanya dan segera menengadahkan kepalanya ke salah satu polisi, “Hei! Kau! Cepat panggil paramedic ke sini!”

Polisi tersebut segera berlari menuruni tangga semen.

Si Inspektur kembali ke sang gadis tadi, “Uhm, luka kecil ya? Tenanglah semua sudah berlalu. Oh ya, boleh Paman tahu namamu siapa?”

Sang gadis sempat terdiam, ia tidak tahu harus berkata apa, apakah ia harus berterima kasih, menangis, tertawa senang atau sedih dan marah karena si Inspektur telah ia rasakan mengganggu dirinya siang itu, namun akhirnya ia berucap, dalam posisi kepalanya yang masih merunduk ke bawah, menatapi tubuh Cassandra yang sudah terjatuh dari pelukannya,

“Nina… Nina Armwell…”

Sang Inspektur hanya terdiam dan nampak kasihan menatapi korban Cassandra tersebut. Ia mengerti benar bahwa setelah ini Nina Armwell akan mengalami trauma hebat. Namun, ia sekali lagi mencoba bersahabat sembari melepaskan tali ikatan anyir tersebut dengan hati-hati,

“Nah, Nina… Sekarang, kita turun, ya?”

Nina Armwell menggangguk. Lalu ia memegang tangan sang Inspektur dan mulai pergi meninggalkan ibu palsunya yang tergeletak mati di lantai semen. Wajahnya memelas pasi, dan sembari angin melewati rambut Nina, sang gadis cilik itu hanya berbisik seperti menyesal,

“Sayang sekali, mama… Nina baru mulai… menyukai ma…ma…”

“Uhm, kau berkata sesuatu, Nina?” Si Inspektur bertanya.

Nina segera menatap wajah kekar sang Inspektur dan berusaha tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

Kasus Cassandra Lewis dinyatakan selesai sesaat Cassandra benar-benar dinyatakan mati hari itu juga…


—————————————


18 tahun kemudian…

     Sekolah Umum Madison High di sebuah kota yang lenggang; dengan pepohonan di tiap dua meter jalan dan suara burung-burung Robin mengitari sekolahan yang terlihat wajar dan terdominasi warna merah bata dan semen yang kokoh.

Nina Armwell sudah menjadi seorang wanita yang nampak cantik dan mempesona, ia sedang memarkirkan Lexusnya di sekitar jalanan tak jauh dari lapangan baseball Madison High.

Ia mendengar bel berbunyi dan tak lama kemudian ia mendengar sahutan hingar-bingar suara tapak-tapak kecil dan suara-suara anak-anak dari kejauhan.

Ia membelai pelan rambutnya yang hitam dan panjang. Nina Armwell sebenarnya seorang wanita berumur 29 tahun dengan rambut brunette yang ikal, namun entah mengapa, kemarin ia meluruskan rambutnya dan mulai mengecat rambutnya hitam. Ia berpikir bahwa hitam lebih berkesan elegan.

Tak lama setelah ia memperhatikan anak-anak kecil berumur belasan tahun berjalan dan berlari liar, dan dengan segera ia keluar dari mobil dan menghampiri salah satu anak gadis yang berbaju biru dan memakai bando putih. Wajah si gadis cilik memiliki bintik-bintik merah dan matanya begitu biru.

“Hi!” Sapa Nina sembari menutup Auto Keylock mobilnya.

Siapa? Eh…

Si gadis cilik itu tertegun. Lalu ia mulai bertanya, “Uhm… Kakak siapa?”

“Ah! Kakak teman Mama-mu, ia sekarang ada rapat, jadi aku diminta mengantarmu ke kantornya, Kakak juga bekerja di kantor yang sama dengan Mama-mu, Heather…” Nina tersenyum, ia tersenyum karena ia sudah menyelidiki anak ini; nama, usia, makanan favorit, acara favorit, sereal, semuanya.

“Ah! Teman Mama. Baiklah, Kakak! Ayo kita pergi, Heather ingin segera memberitahukan Mama tentang nilai Heather!” Heather nampak bersemangat. Dan begitu pula Nina.

Mereka berdua segera berjalan, Nina membuka kembali mobilnya dan mempersilahkan Heather ke dalam mobilnya dan mereka mulai berbicara tentang apapun.

###

Setibanya di dalam mobil—

“Uhm…” Heather nampak tiba-tiba ingin bertanya sesuatu.

“Ya… Apa apa sayang?” Nina merespon sembari merapikan kaca spionnya. Ia menstarter Lexusnya.

“Nama Kakak siapa?” Heather bertanya dengan nada manis, lalu duduk ke posisi diam sembari memakai sabuk pengamannya.

Ah… Akhirnya… Saat-saat…

Mobil sudah mulai berjalan.

“Lewis, Cassandra Lewis… Nona Heather Loore…” Wanita itu tersenyum saat ia merasakan kekuatan atas Heather.

Heather dengan santai memperhatikan dashboard dan kaki wanita yang baru dikenalnya itu… Sepatunya… sepatu hak tinggi yang mengkilat—merah dan cemerlang…

“Ah! Manis sekali! Heather suka sepatu kakak, merah warna kesukaan Heather!” Ujar Heather.

“Benarkah sayang? Sama dong…” Mereka berdua tersenyum.

Mobil itupun berlalu dan…

Heather Loore memang tidak pernah muncul di kantor ibunya atau di manapun sama sekali semenjak hari itu.

###