ZILCH 02: ...nine!

…nine!
Sir Thompson Cartney
1829

SESEORANG dapat membela dirinya sendiri, berjaga-jaga dari segala macam kemungkinan yang mengancam. Oleh sebab itu ada hukum yang memperbolehkan orang untuk membunuh orang lain jika itu untuk membela diri—dan bukan pembunuhan terencana sama sekali.

Maka, jika manusia diibaratkan seperti seekor kucing yang memiliki sembilan nyawa, bukankah seseorang itu akan mendapatkan kesempatan untuk membela diri berkali-kali—membunuh seseorang dengan antisipasi dan harapan; bahwa dirinya akan selamat?

Ya! Setiap orang berhak membunuh setidak-tidaknya sembilan kali dalam hidup mereka—asalkan hal tersebut adalah pembunuhan yang tidak disengaja atau demi alasan membela diri; setidaknya, itulah teori yang telah diciptakan, dipahami dan diilhami oleh Sir Thompson Cartney—mantan politikus London yang kini beralih menjadi seorang ahli kuliner. Ia merasakan hak istimewanya sebagai seorang manusia dan hukum alamiah seekor kucing.


Ia tidak pernah memakai hak istimewanya dengan sengaja, ia tidak pernah berniat membunuh dan ia tidak mau membunuh! Tetapi, jika suatu saat bahaya mengancam, ia tidak akan segan-segan untuk melakukannya… Karena kepercayaan itu dan angka sembilan. Ia yakin benar bahwa sebenarnya manusia memiliki kesempatan untuk menghabisi nyawa siapapun dalam masa hidupnya—untuk membela diri dari kematian yang tidak semestinya—tanpa harus ada rasa bersalah sedikitpun!

Ya! Ia sungguh-sungguh percaya bahwa manusia ditakdirkan untuk membunuh setidak-tidaknya sembilan kali dalam masa hidup mereka. Setiap jenis manusia…

Mengerti? Sembilan kali…

Dan saat ini, adalah saat dimana Sir Thompson Cartney akan menggunakan hak awalnya dalam keselamatan istimewa itu tanpa disengaja. Ia akan menemukan ide brilian tersebut di malam ini. Inilah… kisah awal mula diketemukannya ‘Hak Sembilan Nyawa’ itu darinya.

Sebuah malam yang penuh dengan suara kabut tipis yang mengiris dan tapak-tapak kuda yang sesayup terdengar.di pinggiran kota Edinburgh, pertengahan Juni 1829. Nuansa kabut malam dan beku yang menusuk ari-ari. Itulah malam dimana Sir Thompson Cartney akan mengalami hari pertama dalam kehidupnya… membunuh demi keselamatan. Nyawa pertamanya yang hilang… Ide brilian yang aman dan efisien…


–––––––––––––––––––––


EDINBURGH sudah diliputi oleh kabut-kabut tipis. Sir Thompson Cartney sedang berjalan-jalan seraya ia memainkan cerutu di tangannya yang bertaburan cincin-cincin perak dan emas yang besar, cerutu Kuba yang ia mainkan di jemari-jemari kuatnya. Mata biru itu menatapi pinggiran kota yang bermandikan lampu-lampu temaram dan para pelacur kota yang sudah mulai kehilangan kecantikan gadis dan keelastikan kulit mereka.

Sir Thompson keluar pada malam kali ini bukan untuk berzinah, ia hanya bosan menunggu di rumah, mencatat semua opini-opininya tentang segala jenis masakan dunia; dari masakan Cina, Itali, bahkan beberapa makanan ikan mentah yang orang-orang  berbaju tebal dan berwajah oriental tajam itu sebut sebagai 'Makanan yang bergizi'.

Ia sudah bosan dengan pena, tinta, meja, lilin, lampu, jendela yang selalu berada di depan mejanya tersebut. Entah mengapa ia merasa tertantang malam ini untuk berjalan-jalan sendirian di kota selarut ini.

Lorong-lorong kota yang sempit, jalanan tengah kota yang lenggang, kabut-kabut itu. Mungkin hanya ada beberapa siluet gapaian tangan-tangan para wanita penghibur dan suara-suara desahan mereka yang dapat membuat keheningan itu memudar di antara kabut-kabut dan mungkin pula, suara serigala-serigala yang entah berada di mana yang memecahkan kesenyapan tersebut. Dan tampaknya, Sir Thompson Cartney menyukai suara-suara tersebut. Karena setidaknya, berkat mereka ia merasa tidak sendirian di jalanan tersebut.

Cerutu itu akhirnya mulai ia bakar. Ia menghisapnya pelan-pelan sembari sesekali melihat merk cerutunya yang coklat. Ia merasa bangga. Ya! Kebanggaan seorang ahli kuliner yang dapat merasakan ketenangan setelah penat yang luar biasa dari rententan lingkup politik yang licin bagaikan belut air yang pernah ia lalui tesebut. Ketenangan itu… ia ibaratkan  bagai menghirup cerutu mahal di malam yang tenang seperti malam ini.

Namun…

Cerutu itu tidak sepenuhnya memberikan ketenangan yang memuaskan karena tiba-tiba––

Di antara kelamnya jalan dan terawang lampu kota, Sir Thompson Cartney tiba-tiba di hadang oleh sekawanan perampok. Tiga orang pengemis berwajah kumel, kotor dan nampak tidak terawat––dengan gigi-gigi kuning yang tidak beraturan, bau anyir dan pesing. Kedua mata Sir Thompson Cartney membelalak, ia tidak dapat berkata apa-apa. Tubuhnya mencoba bergerak namun ia terdiam. Cerutu itu pun terjatuh dari permainan jemarinya.

“Hei! Hei! Orang kaya! Kau punya apa malam ini?” Salah satu pengemis yang berbadan besar maju dan segera merogoh kasar jaket coklat Sir Thompson sembari menatapi kedua mata birunya yang sama sekali tidak dapat berkedip.

“A-a-aku…” Sir Thompson mencoba berujar. Namun dingin dan cekam itu terlalu mencengkram sehingga frasa-frasa itu lenyap dan pikirannya hanya mengharapkan keselamatan.

“A-HA! Ini… Arloji yang bagus Tuan orang kaya! Berapa harganya, Willie?” Si pengemis besar yang merogoh saku Sir Thompson segera mengeluarkan arloji Sir Thompson dengan paksa sembari memberikan arloji tersebut ke salah satu pengemis kurus yang ia panggil 'Wilie' tadi. Mata sang pengemis besar itu masih menatapi kedua mata biru Sir Thompson dengan pandangan jijik dan mengintimidasi.

“Hei! Apa itu saja, Rupertin, cek sekali lagi! Lihat di dalam celana dan baju dalamnya. Wajahnya terlihat seperti orang kaya yang sering pergi ke Opera. Ia tidak mungkin keluar dengan hanya membawa arloji…” Pengemis terakhir yang hampir sebesar si perogoh saku Sir Thompson berujar. Wajahnya nampak sedikit cemas. Sesekali ia menatapi si besar Rupertin yang sedang asyiknya merogoh seluruh bagian baju Sir Thompson dan sesekali ia akan kembali hening dan menatapi sisi-sisi jalan.

Para pelacur itu hanya diam? Mengapa tidak ada yang menolong? Di mana para polisi? Oh sial! Matilah aku malam ini…

Sir Thompson tidak dapat berkata-kata atau berpikir apa-apa lagi. Ia hanya berharap bahwa malam ini akan segera berlalu dan ketiga perampok berkedok pengemis tersebut segera pergi meninggalkannya.

“Ya! Ya! Ini dia, aku tahu… Seharusnya aku lihat sedari tadi, Maxwell! Di jari-jarinya ada banyak sekali har-ta…” Si Pencuri Rupertin mengangkat kedua tangan Sir Thompson yang memang bermandikan cincin-cincin besar mengkilap. Segera saja kedua pencuri itu—Willie yang kecil dan Maxwell yang nampaknya adalah bos dari mereka—segera menyimpan arloji tersebut dan mengambil satu persatu cincin Sir Thompson dari tangannya secara paksa sembari tertawa sinis dan memaparkan bau tidak sedap.

Cepat pergi! Cepat pergi!

“Max! Sudah! Ia sudah 'habis' Mau diapakan?” Willie bertanya.

Oh tidak! Matilah aku sekarang! Oh… Polisi… Pelacur sialan! To-tolong aku! Polisi? A-apa aku membayar pajak selama ini percuma? Pelacur-pelacur sial itu… Apakah kalian lupa…A-aku… a-aku…

Kedua mata biru Sir Thompsn melirik ke beberapa pelacur yang masih berdiam diri di antara gelapnya remang-remang lampu Edinburgh. Para pelacur itupun juga nampak ketakutan. Merapatkan jubah dan merapikan tatanan rambut dan sanggul mereka. Namun––

BRUK! Tiba-tiba saja Willie terjatuh dan kepalanya pun berdarah sangat hebat. Ia pingsan—mungkin mati.

“WILL!!!!” Rupertin dan Maxwell berteriak histeris dan tanpa sadar melepaskan pegangan tangan mereka dari Sir Thompson yang masih terdiam kaku tanpa kata. Mata mereka memaparkan amarah.

“SIAPAYANG MELAKUKANNYA?”

Mereka mencari ke tiap-tiap sudut. Dan perlahan, para pelacur dan pengemis lainnya menghilang dari tataan cahaya dan siluet lampu kota. Mereka berjalan mundur melewati batasan cahaya dan menghilang begitu saja dalam kegelapan.

Seketika itu, Sir Thompson mendengar suara, “CEPAT LARI BODOH!!”

A-apa? Si-apa?

“LARI!!!” Suara itu terdengar keras dan mengema di antara bangunan rumah dan bar-bar yang telah tutup.

Spontan, Sir Thompson Cartney lari dengan langkah seribu. Ia tidak memperdulikan lagi cincin dan arloji mahalnya. Ia hanya memperdulikan nyawanya sekarang. Dan ia bahkan tidak peduli darimana asal suara tadi—suara pria itu, bahkan ia tidak peduli jika para pencuri itu mengejar. Ia hanya… berlari. Entah kemana––

###

“HUFF… .Huff… A-apa sudah hilang? Apa aku selamat?” Sir Thompson Cartney bersembunyi di antara gang-gang kumuh dan hitam. Bau sampah beserta para pengemis yang tertidur acak membuatnya mengambil saputangan suteranya dan menutupi hidungnya dengan ratapan jijik.

Ketegangan itu belum mereda. Hatinya cemas. Para pengemis yang tertidur… Apakah mereka juga… Pencuri seperti mereka? Mereka semua nampak… sama? Ugh…

Pikiran sang kaya itu seakan-akan diserang ribuan pertanyaan yang membuatnya kalut. Ini pertama kalinya ia merasa terancam. Ia tidak pernah dirampok sebelumnya dan ia juga tidak pernah mencoba menyelamatkan dirinya sendiri dengan berlari secepat halilintar menyerang pohon. Ini… pertama kali baginya.

Sir Thompson merasakan sesuatu yang baru; ketegangan dan… entah bagaimana, sesuatu yang menyenangkan. Mungkin pertama kalinya pula ia baru menghargai hidupnya setelah sekian lama. Ia merasa entah bagaimana sekarang dirinya sebagai seorang pria berbudi luhur dan berpendidikan yang spesial. Karena ia sudah tahu apa yang harus dilakukan tadi—dimana ia seharusnya sabar saat pencuri itu merampok dan saat ia tidak menyerang balik dan membiarkan mereka pergi hingga mereka puas dan membiarkan ia hidup, bahkan saat ia berlari dan seketika itu pula tubuh anti olahraganya tiba-tiba menjadi seorang pria atletis dengan kemampuan kuda liar yang super cepat. Sir Thompson Cartey mencoba berpikir satiris dan defensif dari ketakutannya. Ia mencari cara agar ia tak harus memikirkan sisa malam ini dengan sebuah trauma yang akan terngiang-ngiang di otak inteleknya. Dan––

“Hei… hei… Apa kau tidak apa-apa?”

Suara itu… Yang tadi berteriak…

“Si-siapa di sana?” Sir Thompson Cartney berujar sembari berbalik ke arah suara itu berasal.

Ia melihat sebuah sesosok pemuda kurus kering, rambutnya keriting kuning ikal dan terikat rapi. Wajahnya nampak berhiaskan abu dan asap. Baju yang ia pakai terlihat kumel dan celana hitamnya separuh robek. Pria berambut pirang itu berujar dengan pelan sembari berjalan ke arah Sir Thompson, “Anda tidak apa-apa? Kupikir…”

A-apa ia juga sama?

“…kupikir Tuan hampir di tangkap oleh mereka, kau tahu Tuan, Mereka memang suka membuat onar tapi… percayalah, mereka sebenarnya tidak pernah membunuh. Mereka hanya suka menggertak jika berucap tentang menghabisi. Dan satu hal lagi…”

Apa aku harus memukulnya jatuh? Tetapi… Ia tadi menolongku, Hmm…

“Namaku Daniel, tapi Anda dapat memanggilku 'Danny', semua penghuni gang ini memanggilku demikian, Tuan.”

Ada keheningan dari gang kumuh dan hitam tersebut. Danny nampak seperti menunggu jawaban dari wajah si pria Inggris terhormat itu. Sir Thompson Cartney pun hanya menatapnya kosong tanpa senyuman. Sugesti ketenangan nampak buyar dan ia pun mulai menapakkan kakinya perlahan… mundur… dan… Entah mengapa, mungkin karena trauma itu dengan para wajah kumel dan abu pengemis-pengemis sial tersebut.

Otak intelek Sir Thompson Cartney mulai terpengaruh dengan nuansa curiga. Ia mulai membenci semua bentuk wajah-wajah kumel dan bebauan mereka. Gang kumuh Edinburgh dan kata-kata khas mereka. Bahkan Danny yang sebenarnya telah menolongnya…

Ia hanya berucap beberapa kata dalam benaknya;

Lari…

Pergi…

Sialan! Pengemis Sialan…

Di mana para polisi itu? Brengsek!!!

Dan sembari kata-kata tersebut masih berputar di kepalanya, Sir Thompson akhirnya pergi meninggalkan Danny, entah kemana…

###

SIR Thompson terus berlari, kali ini ia sudah mulai melupakan pencopetan dan si pemuda Danny tadi. Ia kemudian berhenti berlari dan menatap pada sebuah lampu kota yang masih menyala dengan kelap-kelip setengah redup. Ia menyandarkan tubuhnya yang berbalut jaket tebal itu dengan lemas di tiang tersebut.

Nafasnya masih terengah-engah. Sir Thompson menghirup nafas dalam-dalam sehingga muncul kabut-kabut kecil dari sanggahan nafasnya. Menatapi lengangnya jalanan Edinburgh membuatnya berpikir heran. Apakah malam hanya teruntuk bagi orang-orang terbuang? Para pelacur tabu, para pengemis sialan, para perampok tadi dan beberapa hewan pengerat dan kucing-kucing liar… lalu gesekan-gesekan suara-suara angin dan serigala… semua pikiran yang tidak masuk akal. Semuanya menjadi satu dalam ingatannya. Perlahan… ingatan tentang perampokan itu telah benar-benar menghilang. Mereda dan hilang seperti desir angin dan suara-suara tapak kuda yang sesayup terdengar entah di mana.

“Mungkin seharusnya hari ini aku tetap di rumah saja.” Ia bergurau sedikit dalam bisikannya. Tapi mungkin ia seharusnya di rumah saja dan melanjutkan artikelnya yang belum kunjung selesai mengenai masakan bernama 'Sushi' tersebut di rumahnya yang megah.

Ketenangan kembali muncul. Ia sudah merelakan koleksi cincin dan arloji emasnya. Ia bahkan baru sadar bahwa berlari dari si pemuda Danny tadi merupakan kesalahan.

Ah! Pemuda tadi, Danny? Ia yang menolongku, tapi… aku malah berlari… Aku tidak enak hati. Sebaiknya aku mencarinya lagi dan berterima kasih…

Sir Thompson Cartney pun berjalan perlahan dan dengan mengikuti angin ia melewati kembali jalur pelariannya tadi.

Sesaat ia berjalan kembali menyusuri jalanan kumel dan gang-gang kecil yang ia hafal tidak begitu jauh dari perempatan jalan tempat ia di rampok tiga orang itu….

Sir Thompson Cartney berhenti sejenak dan ingat bahwa mungkin saja para pencuri itu masih mencainya. Namun, ia segera mengacuhkan ketakutannya saat dari kejauhan kabut tipis dan suara lolongan serigala yang bergema, ia melihat dua tubuh lagi… tergeletak…

Tubuh para pengemis kumel… Dua tubuh yang ia kenali… Tergeletak dengan sangat tidak rapi.

Me-mereka! Pemgemis-pengemis tadi. Perampok-perampok itu?

Sir Thompson segera berlari ke arah tubuh mereka yang tergeletak di jalanan tersebut.

Dan tiba-tiba—

Belum jauh dari dua meter tapakannya ia berlari, Sir Thompson tiba-tiba berhenti dan terkejut kaget.

Danny? Penolong itu? A-apa itu…

Ia melihat Danny. Sir Thompson Cartney melihat sang penolongnya berdiri tepat di hadapan dua tubuh yang tergeletak kotor. Dua tubuh para perampok yang kemudian Sir Thompson sadari telah berlimpah dengan luka tusukan dan darah yang berkesima. Ia mulai menyadari sesuatu…

A-apakah… Danny membunuh mereka?

“Da-danny boy? Apa yang terjadi?” Sir Thompson mencoba mendekatinya dan seraya mencoba tidak peduli dengan bongkahan mayat para perampok dan sebuah pisau yang masih tergenggam di tangan Danny yang bermandikan darah.

Ketakutan dan kebencian nampak berbaur dengan wajah polos pengemis Danny. Ya! Sir Thompson sadar bahwa Danny yang telah menolongnya itu nampaknya telah melakukan sesuatu yang ia sadari salah.

Sir Thompson pun berusaha mendekatinya perlahan—Emosi pria Inggris terhormat itu perlahan tidak dapat merasakan hal lain selain rasa berhutang nyawa.

Danny sadar akan kehadiran pria yang telah ia tolong, ia menatap pelan dan sayu ke wajah Sir Thompson dengan air mata dan mata yang nampak ketakutan. Semakin lama mereka mendekat, maka semakin lama terlihat bahwa tubuh Danny gemetar dan nampak seperti seorang anak kecil yang baru menjatuhkan vas cantik kesayangan ibunya. Ia tidak bisa bergerak dan nampak begitu pasrah.

Da-danny…

Pandangan itu, pandangan yang sama seperti tatapan dan gerakan Sir Thompson ketika ia dirampok oleh orang-orang yang sekarang telah tergeletak kaku bersimbah darah dan mungkin juga… telah mati.

“Danny?“ Sir Thompson Cartney sekali lagi berujar dengan merunduk untuk melihat wajah sayu dan ketakutan si pemuda yang menolongnya itu.

“Tu-Tuan! Oh! Oh! A-apa yang telah aku lakukan? A-aku tidak bermaksud melakukannya! Oh Tuhanku! Oh TUHAN! AKU TELAH MEMNBUNUH! AKU TELAH MEMBUNUHNYA!!!.” Danny segera bersimpuh dan menjatuhkan pisau di tangannya. Ia tiba-tiba menangis terisak-isak.

Sir Thompson Cartney menatap ke sekeliling. Ia tidak melihat siapapun di gang kumuh ini selain dia dan Danny.

Syukurlah,  jadi ia aman… Tidak ada yang melihat.

Lalu Sir Thompson segera mendekatinya dengan senyuman dan menepuk pundak tegap Danny. “Sudahlah Danny boy, tidak apa-apa. Apa kau… tidak apa-apa?"

Danny menatap si pria Inggris terhormat itu dengan mata berairnya. Hidungnya berair. Ia tak percaya bahwa orang yang telah ia tolong telah sedemikian santainya berujar, segera Danny berdiri kembali dengan nada marah padanya, “BAGAIMANA MENURUTMU? A-AKU TELAH MEMBUNUH DUA DAN MUNGKIN SAJA TIGA ORANG MALAM INI! A-aku tidak pernah membunuh! Aku tidak PERNAH MEMBUNUH! Oh Tuhan! Mendiang ibuku pasti marah besar. Tu-tuhan pasti akan menghukumku! Tuhan pasti…”

“Danny boy… Tenanglah! Kau bisa membuat para polisi dan orang-orang berdatangan. Lihatlah!” Sir Thompson menunjuk di sepanjang gang yang kelam, “…tidak ada orang! Danny… tidak akan ada yang tahu!”

“ Ta-tapi Tuhan…“ Danny mencibir pelan.

Sir Thompson Cartney tersenyum sopan, “Sekarang aku bertanya padamu, Danny, mengapa kau membunuh mereka?”

Danny terdiam. Ia nampak ingin mengucapkan sesuatu namun ia kembali terdiam dan menatapi jalanan gang yang memang sepi.

Tak lama kemudian ia benafas lega, “A-aku… aku tidak sengaja, sungguh! Mereka tadi nampaknya tahu bahwa aku telah berusaha menolong Tuan dan, dan mereka mencariku lalu menyeretku ke tempat ini dan mencoba menusukku dengan pisau ini.“ Ia menunjuk ke arah pisau belati berukirkan naga yang bermandikan darah itu.

Jadi, mereka… Ah! Danny boy terancam… kasihan sekali… Ta-tapi… ia berusaha melindungiku dan itu menyebabkannya terancam… Hmm… (mencibir pelan)

Ada keheningan sesaat dan tak lama kemudian, entah mengapa, mereka tiba-tiba terfokus pada sebuah bayangan kecil yang merayap pelan di antara dinding bata berlumut––

Seekor kucing melintasi mereka lalu seketika itu menatapi mereka dengan matanya yang tajam. Ia berhenti bergerak dan kemudian perlahan menjilati ceceran darah dari para korban Danny.

Kucing… Ku-cing… Ah! Danny…

“Danny… lihatlah sisi baiknya! Kau tadi mencoba melindungiku, dan kali ini kau pun membunuh mereka untuk melindungi diri. Kau… Kau tidak bersalah Danny boy! Lagipula, tidak ada yang tahu. (berbisik) Jika kau dan aku diam, dan pergi dari sini seolah kejahatan ini tidak pernah terjadi… Dan satu hal… Lihatlah kucing itu!”

Danny masih tertegun heran akan ucapan dari satu-satunya saksi pembunuhan yang telah ia lakukan itu. Lalu entah mengapa, Danny terpana dan mengikuti kehendaknya lalu segera menatap kucing yang masih mengerang pelan sembari berputar-putar di antara dua mayat perampok tersebut.

“Apakah kau pernah mendengar bahwa kucing memiliki sembilan nyawa?” Danny mengganguk, “Jadi, jika kucing itu terancam atau tiba-tiba terjatuh dari tebing tertinggi maka ia tidak akan mati semudah itu! Apakah… kau tahu mengapa, Danny boy? Karena mereka memilki sembilan nyawa itu!”

“Ma-maksud Tuan.?” Danny berujar lirih. Ia mulai nampak menyimak.

“Maksudku… kau membela diri, anggaplah jika diri kita layaknya seperti seekor kucing yang memiliki sembilan nyawa! Lihatlah! Betapa polosnya kucing itu! Ia sama seperti kau dan aku. Berjalan liar di antara gang-gang ini, mungkin saja ia akan entah bagaimana terlempar dari atap rumah atau mungkin hampir telindas kereta kuda, tetapi kau tahu apa? Kucing itu akan selalu selamat karena ia melakukan penyelamatan diri dengan usahanya sendiri, ia… mencoba membela diri dengan caranya dan setiap saat ia menyelamatkan dirinya—dari situasi apapun—maka nyawanya akan berkurang satu. Ya, Danny boy, Tuhan memberikan kucing sembilan nyawa karena ia memang di takdirkan untuk ‘menyelamatkan dirinya sendiri’ sebanyak sembilan kali!”

“Maksudmu Tuan, a-aku tidak bersalah?”

“Ha ha ha, ya ya! Tenanglah, kali ini kau telah membunuh dua… Ah bukan! Tiga orang bukan? Dan itu semua untuk membelaku dan membela dirimu. Dan dengan tanganmu kau telah menyelamatkan nyawamu sendiri. Kau… telah mengunakannya—kau telah kehilangan tiga nyawa jadi… kau masih memiliki… Uhm… enam lagi! Ya! Enam lagi, Danny boy.”

“Su-sungguh?”

“Ya! Dan, Danny boy… Enam nyawamu itu, simpanlah baik-baik, karena kau tidak akan pernah tahu bahwa mungkin akan ada orang lain yang mengancammu dan kau harus 'membela diri' lagi?”

“Tu-tuan…” Danny mulai memaparkan ketenangan di wajahnya yang sedari tadi nampak sayu, “Seperti kucing? Ya Tuan, Kucing dan aku hampir sama! Ki-kita memang boleh melakukannya; me-membela diri. Ini bukan dosa bukan?”

“Dosa? Ah, Tentu bukan, nak! Kau menyelamatkan hak atas tiga nyawamu malam ini. Jadi kau masih punya hak untuk enam kali kesempatan membela diri, dan aku ingatkan, Danny boy—” Sir Thompson seolah-olah melupakan status bangsawannya dan merangkulkan lengannya ke pundak Danny seraya mencoba bersahabat, “Asalkan kau tidak melebihi batasan hak membela diri sebanyak sembilan kali maka kau tidak akan berdosa. Camkan itu! Jadi, jika kau telah membela diri lebih dari sembilan kali, setelah itu, pasrahlah… Karena jika kau melakukan hal ini lagi maka kau baru berdosa di mata Tuhan kita. Mengerti nak?”

“Su-sungguhkah?” Danny mengusap air mata dan ingusnya. “Sungguhkan aku sekarang tidak berdosa, Tuan?”

Sir Thompson Cartney melepaskan rangkulannya, melebarkan kedua tangannya seolah-olah menunjukkan semesta di rangkulannya itu seraya tersenyum megah, “Ya! Ya! Jadi, pergilah kau karena ini bukan sebuah kejahatan! Kau membela diri. Ingat Danny boy! Pergilah dan camkan bahwa kau tinggal memiliki enam nyawa lagi. Dan Danny…”

“Ya, Tuan…”

“Terima kasih, nak! Kau menyelamatkanku dan mengorbankan sampai tiga nyawamu demi aku, Tuhan… pasti akan memberikanmu hadiah yang luar biasa!”

Danny tiba-tiba merasa bangga bahwa ia sekiranya telah melakukan suatu kebajikan malam ini. Dengan nyawa ketiga perampok tadi dan pisau belati berukirkan naga itu…

Mereka berdua tersenyum. Dan akhirnya—

Danny pun perlahan beranjak pergi dan sekali lagi, setelah tak jauh dari pandangan Sir Thompson Cartney, ia melihat si pria Inggris kaya itu dan tersenyum lebar.

Sir Thompson Cartney menggerakkan mulutnya sembari berucap tanpa suara, “…enam lagi nak…”

Mereka berdua pun akhirnya berpisah di antara kelamnya gang itu dan, semenjak malam itu mereka pun tidak pernah bertemu lagi.

Sesaat setelah Danny pergi dan tak terlihat, Sir Thompson mengambil pisau belati yang Danny tadi gunakan untuk membela diri lalu segera menyimpannya dalam saku. Pisau belati itu ia balut dengan sapu tangan sutera dan ia memilki suatu ide…

Syukurlah… Danny Boy…

###

SIR Thompson Cartney merasakan ketenangan absolut. Ia melihat sekali lagi dua tubuh perampok tadi dan menendang kedua mayat itu sembari tersenyum. Ia tadi sebenarnya hanya asal bicara saja. Ia sendiri juga sebenarnya takut tetapi, demi Danny itu, ia berusaha membuat sebuah aturan hidup yang meracau. Namun… Si kaya itu pun akhirnya nampak menyukai pemikirannya sendiri.

Ia pun pergi sembari kembali meyalakan cerutu baru dan berjalan melewati jalan Edinburgh dan lorong-lorong kusam nan hitam itu dengan ditemani kabut-kabut tipis dan tapak-tapak kuda.

–––––––––––––––––––––


MALAM semakin larut. Cerutu itu telah kembali habis. Ia sudah mau pulang, tetapi, seperti orang-orang Edinburgh kaya lainnya, malam hari adalah malam untuk bersenang-senang. Malam ini adalah malam yang cukup menegangkan. Dengan para perampok, Danny dan…teori gilanya itu.

Aku perlu wanita… Aku ingin bercinta secara liar dan memuaskan sebelum malam ini menjadi kenangan terburuk dalam hidupku.…

Sir Thompson Cartney segera berjalan ke arah perempatan jalan dimana ia tadi melihat para pelacur-pelacur tua itu dan tempat dimana ia kehilangan cincin dan arloji emasnya. Ia tidak takut lagi sekarang.

Kedua mata biru itu menatapi lorong dan temaram lampu kota yang semakin meredup pelan. Bisa di bilang hampir di setiap sudut perempatan ditempati oleh para pelacur itu—dengan dandanan dan sanggul yang berlebih dan ekstrovert.

Ah! Wanita itu nampak tidak terlalu tua. Dia saja…

Segera Sir Thompson mendekati seorang wanita pelacur yang bertaburan dengan make-up tebal, baju krem dan gaun longgarnya yang megah. Memaparkan belahan dada yang berisi dan padat. Bibirnya amat merah bagaikan baru meminun darah dan darah itu ia biarkan menetap di sana. Matanya dihiasi bulu mata yang amat tebal dan aroma itu… Bunga-bunga dapat tersiar kuat di saat semakin lama Sir Thompson mendekatinya seraya tersenyum.

“Halo Nona Muda! Apa kau sibuk malam ini?” Sir Thompson tersenyum.

Wanita itu tersenyum balik dan memainkan tangan mungilnya di antara belahan dadanya yang padat sembari tersenyum manis dan mengedipkan mata, menandakan bahwa ia rela untuk pergi bersamanya malam ini. Tanpa banyak bicara dan tanpa membicarakan harga. Wanita pelacur itu nampak terpesona akan aura misterius yang dipancarkan Sir Thompson.

Akhirnya… Mereka berdua pergi ke sebuah motel kecil dan segera menghilang di bailk kabut tipis perempatan jalan dan reman-remang kota Edinburgh.

###

MOTEL Wichster. Motel lusuh dengan kamar-kamar kayu reot dan sebotol vodka yang tergeletak di meja bundar di pinggiran kamar mereka. Sir Thompson dan sang pelacur malam.

“Jadi, Tuan, apa kau mau aku mulai sekarang?“ Sang pelacur itu perlahan-lahan membuka pakaiannya satu persatu. Sembari memainkan mulutnya––menggigit bibirnya sendiri dan memandangi Sir Thompson.

“Tunggu dulu, aku harus memintamu melakukan sesuatu… Sebuah permainan, Nona Muda?” tegas Sir Thompson Cartney.

“Ah! Permainan liar? Ah, kalian memang seperti anak-anak jika menyangkut hal seperti ini bukan?” Sang pelacur berujar sembari dengan busana setengah terbuka, ia berdiri mendekati Sir Thompson lalu segera memeluknya, “Sekarang, apa yang harus aku lakukan… dan oh ya!… Ini harus membuat kau kehilangan beberapa Pound, Tuan kaya.”

“Ah! Tidak masalah sayang, tidak masalah… Sekarang…” Sir Thompson berjalan mendekati jendela kamar mereka dan menunjukkan jasnya yang ia gantung di gantungan baju dekat pintu kamar tersebut. “Ambilah sebuah bungkusan di dalam saku jaketku dan keluarkanlah…”

Sebelum kliennya berbicara lebih, si pelacur segera berjalan ke arah jas itu dan mengambil bungkusan tersebut.

Ia sempat terkejut saat melihat noda darah yang menempel di bungkusan tersebut, namun Sir Thompson Cartney segera menepis dngan berkata, “Ah! Tenanglah, ini hanyalah sebuah permainan polisi dan penjahat. Aku… akan menjadi si penjahat dan kau Nona Muda (tersenyum) akan menjadi sang polisi. Lalu kau akan berpura-pura seperti hendak menangkapku dan dengan pisau itu kau akan uhm… menyiksaku dengan… naga yang indah itu. Tenanglah! Noda merah itu hanya cat biasa. Kau tahu, darah sepuhan… Aku adalah seorang actor, Nona Muda.”

Pelacur itu sempat terdiam, tapi tanpa pikir panjang ia segera membuka saputangan yang membalut pisau belati tesebut dan tersenyum sembari berucap layaknya seorang polisi angkuh, “Ah! Berhenti di sana, Tuan! Serahkan semua milikmu!”

Ah! Ia percaya! Ia percaya!

“Ah Tuan polisi yang baik, apa yang kumiliki hanyalah tubuh ini, apa kau mau hanya dengan ini?” Sir Thompson memulai drama bodohnya.

"Ah! Itu saja cukup. Sekarang, cepatlah berikan atau… pisau yang telah kau pakai untuk membunuh ini akan kutancapkan kembali ke tubuhmu!” ucap Sang Pelacur.

Ah… I-ini berhasil, seperti inikah rasanya terancam? Keliaran palsu, tetapi, ini cukup. Ya! Cukup.

Pelacur itu segera mendekat sembari kilatan pisau itu tetap mengarah pada Sir Thompson Cartney yang nampak ketakutan. Pria Inggris kaya itu perlahan-lahan membuka kancing bajunya sembari berlagak ketakutan setengah mati…

Ah tidak! Wanita sialan ini mau memperkosaku! A-aku harus membela diri!

“Tunggu Tuan polisi! Tolong hentikanlah!” Sir Thompson berteriak, berlagak dan menunjukkan roman ketakutan.

Akhirnya, setelah mereka berdua mendekat, dengan segera si pelacur itu menempelkan belati itu ke dada sang pria kaya yang sedang panik itu. Wajah Sir Thompson memaparkan kepolosan dan pasrah. Tetapi––

Si pria kaya itu segera melihat peluang di balik ancaman pisau dari sang pelacur tersebut! Tangannya terbuka lebar!

Bodohnya—

Dengan segera, Sir Thompson memegang, lalu melintir lengan sang pelacur yang mengancamnya dan menjatuhkan pisau belati tersebut ke lantai.

“A-ah! Tuan, hentikan! Ini sakit!” Si pelacur berteriak kesakitan.

“KAU! Kau berusaha membunuhku! Ja-jadi… aku ha-harus membela diri! Aku harus––”

A-apa!? Ia gila! Orang ini sudah gila!

“Tuan! Hentikan aku––”

KREK!!!

Wanita pelacur itu akhirnya terdiam saat lehernya yang cantik patah karena diputar dengan paksa oleh Sir Thompson, sang korban.

Tubuhnya terhempas ke lantai. Cantik dan… tidak berucap.

Sang kaya itu hanya terdiam dan bernafas lega––

“AH, syukurlah. Aku selamat hari ini dan, untung saja aku masih punya stok delapan nyawa lagi. Sial! Aku harus hati-hati mempercayai orang mulai saat ini. Tinggal… delapan lagi…”

Pelacur itu mengeluarkan darah kental dari mulutnya. Tubuhnya sudah tak bergerak dan Sir Thompson segera meninggalkan jasad sang pelacur gila yang telah berusaha membunuhnya tersebut di kamar Motel Wichster seraya tersenyum dan berkata, “Ah! Hampir saja.”

###

PEREMPATAN kota…

Sir Thompson Cartney kembali berjalan di antara kabut-kabut tipis. Lolongan pelan serigala dan tapak-tapak kuda yang sesayup masih terdengar di antara ruang-ruang gedung. Malam itu adalah malam yang indah.

Sang pria Inggris itu hanya menatapi alun-alun asap sembari kembali menyalakan cerutu kebanggannya dan berujar dalam hatinya…

Tuhan telah membuat sebuah keadilan yang sebegitu luar biasa tak terduga! Ini adalah keselamatan di antara kabut-kabut dan pencuri emas. Ini adalah nyawa… Kucing… Sama seperti aku… Aku membuat segala sesuatu yang masuk akal hari ini.

Ah! Tinggal delapan nyawa lagi… Aku… harus hati-hati dan, mudah-mudahan aku tidak harus membela diri lagi… 
Ha ha ha…

Danny boy––

Sir Thompson Cartney perlahan lenyap dari perempatan jalan dan barisan lampu-lampu kota Edinburgh yang senyap.

###