ZILCH 03: 01:15 PART 1

01:15
Ikeuchi Akeo
1986

PART 1

DI depan jendela kelasnya, Ikeuchi Akeo hanya termenung menatapi dedauan yang jatuh. Matanya hampa, ia tidak bermaksud menatapi dedauan itu dengan sengaja, ia hanya bosan. Merasa tidak betah dengan lingkungan barunya. Ia… lebih suka kuil-kuil di Kyoto kampung asalnya. Kuil-kuil yang teman-teman kotanya sering sebut sebgai reruntuhan kampungan. Tetapi, itulah yang ia rindukan saat itu juga. Saat menatapi dedauan jatuh, ia akan ingat kala itu saat ia berteduh di bawah sebuah pohon besar tak jauh dari sekolahnya yang dulu—hal umum yang biasa ia lakukan setelah pulang sekolah. Hal yang wajar bagi gadis muda seusianya. Seperti saat ia menyaksikan awan-awan berarak dari kejauhan. Rindangnya pepohonan dan hangatnya mentari yang tidak sebegitu menyilaukan mata. Harum aroma matahari, sungai di tepi jalan, hio dan bunga-bunga, beserta suara gemericik lonceng kecil.


Si gadis muda ini sama sekali tidak betah dengan London dan kebisingannya. Ia lebih suka mendengar gesekan-gesekan daun di siang hari, ditemani dengan teh bunga dan kue manis. Hanya tertegun menatapi biasan mentari di antara dedaunan hijau.

Tetapi di sini, tidak ada hal semacam itu lagi. Bahkan rumahnya yang sekarang sama sekali tidak memiliki struktur yang menyatakan bahwa yang tinggal di sana adalah orang keturunan Jepang. Ayah dan Ibunya adalah para individu yang super kebarat-baratan. Mereka nampaknya tidak mau memakai budaya akar mereka sebegitu kentaranya.

Entahlah… Akeo pun tidak begitu mempedulikannya sebgitu berat, ia hanya menganggap kebosanan ini cepat atau lambat akan berlalu dan lambat laun ia akan betah dan mungkin saja, akan merasa nyaman di sini. Lagipula, sekolahnya yang sekarang adalah sekolah bagi orang-orang sepertinya, anak-anak dari petinggi negara di penjuru dunia. Sekolah Internasional istimewa. St. Vanalecca. Sekolah Kristen yang begitu beradab dan santun. Bahkan bagi para murid yang wanita diharuskan memakai seragam rok di bawah selutut. Ya! Begitulah St.Vanalecca, hampir sama seperti sebuah biara di banding sekolah umum.

Entah berapa lama Akeo menghabiskan berjam-jam menatapi dedaunan itu dan…

Tak beberapa lama, seorang gadis mendekatinya…

“Hei! Boleh saya duduk di sini?” Gadis tersebut berujar sembari tersenyum manis. Wajahnya menyiratkan tampang oriental, rona yang agak kemerahan dan rambutnya hitam panjang tergerai.

Siapa? Uhm…

“Ah! Silakan.” Akeo hanya tersenyum sekenanya dan kembali menatapi dedauan yang masih jatuh melambai tersebut di dekat jendelanya. Ia tidak mau berbicara dan mungkin ia tidak berpikir untuk berbicara pada siapapun semenjak ia pindah ke London sebulan yang lalu. Jangan salah paham, bahasa Inggrisnya lancar. Jadi bukan itu masalahnya. Ya! Itulah dia, ia hanya… tidak betah… tidak bisa, tidak nyaman.

“Uhm…” Si gadis berambut hitam yang nampaknya juga keturunan Asia itu mencoba tersenyum dan menawarkan sesuatu padanya––sebuah selembaran.

Hm? Apa ini? Akeo segera menatapi selembaran kucek di mejanya—selembaran merah bercorak menara dan gambar sebuah jam . Ia melihat sebentar lalu menatap wajah si gadis.

 Ah! Orang Asia? Hm… Apakah orang Jepang?

“Maaf,  tetapi… apakah kau orang Jepang?” Akeo bertanya.

Sang gadis berambut hitam itu agak terkejut dan senang. Ia nampaknya senang bahwa Akeo merespon ucapannya. Ia pun langsung menjawab dengan nada memelas, "Ah! Sayang sekali. Aku dari Kowloon. Ah! Jadi kau orang Jepang? Sou desu ne? Hi hi…”

Akeo tersenyum dan kembali melihat selembaran merah di mejanya, “Ah begitulah. Maaf, bukannya aku rasis atau apa. Hm… Namaku Akeo… Ikeuchi Akeo. Dan kau?”

"Margaku Sie. Namaku Lou Fang. Tapi, anak-anak biasa memanggilku A Fang. Senang akhirnya bisa melihatmu bicara.” A Fang nampak begitu gembira.

“Ah! Jadi kau perhatikan. Ya! Aku… agak belum terbiasa saja. Entahlah, hei… apakah kau lahir di sini atau…”

“Di sana!” A Fang berujar girang, “Ya! Aku asli Kowloon. Jadi… Uhm… Kurasa aku tahu perasaanmu. Kau tahu, awal-awal juga aku sepertimu, menatapi… dedaunan di pohon itu bukan?” A Fang menunjuk ke arah pohon yang memang sedang sedari tadi dilihat Akeo. Ia tersenyum dan kembali berujar, “Tenanglah Akeo-san. Lambat laun kau akan melihat hal lain yang menarik di London. Tak perlu jauh-jauh. Di St.Vanalecca ada berbagai macam kegiatan, kau bisa menanyakan padaku dan mulai menyibukkan dirimu sendiri. Ya! Anggaplah sebagai ajang mencari teman baru.”

Teman… Ya! Kurasa aku butuh orang-orang baru di sini.

“Dan lagi…” A Fang berucap sembari kembali mengangkat selembaran merah tadi. “A-pa kau tertarik untuk hal semacam ini?”

Ah! Yang tadi… Apa ini…

Akeo menatapi selembaran tadi yang sebenarnya tidak begitu ia minati. Namun… akhirnya ada sesuatu yang membuatnya tertarik. Ia melihat selembaran yang hanya nampak seperti hasil cetakan murahan seorang pria iseng.


PESTA HALLOWEN
MENARA PSYCHO TEN
31 OKTOBER 1986
Pukul 21.00


Sekarang tanggal 31 Oktober bukan?

Akeo langsung bertanya, “Ah! Jadi malam ini? Di mana ini?” Ia mengambil selembaran tersebut dari tangan A Fang, “Menara Jam Psycho Ten? Di mana itu? Aku memang baru di sini, tetapi aku tahu nama-nama jalan dan bangunan… Uhm… apakah ini gedung baru? Tetapi––”

"Uhm… Kau tahu Menara jam tua di dekat bukit sekolah kita? Yang kadang sering berdentang sendiri setiap malam, kau tahu, Si Menara Hantu Wilson?” A Fang menaikkan nada memberi kesan misteri yang kekanak-kanakan.

Menara Wilson? Ah Jadi nama keren Menara bobrok itu adalah 'Pscyho Ten'?

“Jadi bagaimana, lumayan bukan? Maksudku hitung-hitung kita mencari pria si St.Vanalecca. Ah ha ha… Kau butuh seorang pria kurasa sekarang Akeo-san. Hontou?”  A Fang tertawa .

Akeo mengangguk.

Seketika itu pula A Fang merasa bahwa sudah saatnya bagi teman barunya untuk beradaptasi dan akhirnya…

“Akeo, ayo! Ikut aku!”

A-apa? Hei… Pandangan kosong Akeo perlahan buyar di wajahnya yang manis. Ia hanya memperhatikan sekilas di luaran, imej bayangan sebuah menara yang tinggi— “H-hei! Mau kemana kita, A Fang?” Akeo bertanya heran.

“Hi hi! Memperkenalkanmu. Ayo!”

Ah—itu…

A Fang langsung membawa Akeo berdiri, berjalan cepat dan mulai memperkenalkan Akeo ke teman-temannya yang sekiranya sama bersahabat dan riangnya seperti A Fang.

###

HARI itu adalah sebuah gebrakan baru bagi Akeo. Ia mulai berkenalan dengan beberapa murid; si anak yang paling keran, si jago piano, si anak pendiam hingga anak yang paling malas. Akeo masih belum merasa begitu nyaman, tetapi setidaknya siang itu cukup baginya untuk tidak merasa bosan dan juga setidaknya, pada malam hari saat ia bertemu dengan kedua orangtuanya di meja makan, ia akan ada sebuah bahan obrolan yang menarik.

Akeo pun tersenyum dan segera melupakan dedaunan gugur di jendela dekat mejanya.


–––––––––––––––––––––


BEL pun berbunyi. Akeo pulang dengan perasaan yang agak lega. Ia setidaknya tersenyum hari ini.

Mobil jemputannya sudah menunggu di depan gerbang. Ya! Ikeuchi Akeo memang orang kaya; Ayahnya adalah seorang pengusaha minyak yang berada. Namun justru itulah yang membuat Akeo menderita.

Ia tidak suka dengan kekayann yang meruah itu. Ia lebih suka dulu sewaktu ayahnya masih hanyalah seorang pedagang kue-kue—membuka toko mereka di pinggiran kawasan kuil-kuil Kyoto. Di mana ia akan membantu sang Ayah. Dan Ibu akan menghitung keuangan dan juga kadang, di kala istirahat, Akeo akan berjalan-jalan dengan sepedanya dan kembali menatapi awan yang biru bercampur kapas di kuil-kuil yang tinggi, hampir setinggi menyentuh angkasa.

Akeo selalu rindu tentang hal-hal dimana ia tertidur pulas dan kadang berpura-pura menyentuh langit dengan tangan putihnya dan mengambil beberapa lembaran awan untuk ia bentuk menjadi gula-gula manis. Baju seragamnya yang selalu berbau matahari dan wangi setengah sejuk. Suara gemericik rerumputan yang terseret angin.

Ah! Hampir sama. Ya! Kurasa ini hampir sama.

Ia berujar sendiri, sembari menatapi sang supir yang tersenyum, Akeo merasa puas bahwa hari ini ia baru saja menemukan 'obat' bagi kebebasannya. Ia… hanya butuh teman yang mengerti dirinya. Atau setidaknya… paham benar bagaimana membuat ia merasa bertahan di sini.Di lingkungan yang bukan adatnya.

“Mari Akeo-sama. Silakan.” Sang supir berujar. Sang supir yang berperawakan agak tua dengan senyuman yang selalu membuat matanya tidak terlihat.

“Bagaimana hari anda, Nona?” Ia kembali berbasa-basi.

“Akeo hanya tersenyum dan masuk sembari berucap sedikit kata, “Ya! Begitulah Paman. Akeo… agak… senang—”

Sang supir itu hanya tersenyum dan menutup pintu di belakang Akeo. Sembari ia berjalan ke arah pintu depan, ia hanya berbisik kecil, "Syukurlah Nona senang.”

Sang supir itu menatap mentari senja sekali lagi dan kemudian masuk ke dalam mobil sedan hitam yang bersih dan gemilang tersebut.

Sore itu Akeo pulang dengan membawa banyak kisah yang akan di ceritakan pada kedua orangtuanya. Ia tidak sabar. Ia sudah mulai tersenyum damai.

###

DI RUMAH kediaman Ikeuchi…

“Ayah! Ibu! Akeo akhirnya mendapatkan teman di sini. Syukurlah. Akeo kira mereka hanyalah anak-anak kaya yang menyebalkan,. ternyata tidak!” Akeo berujar dengan nada girang di meja makan bersama sang Ayah dan Ibu. Ia memasang wajah senang sekaligus berharap bahwa obrolan ini dapat menenangkan kedua orangtuanya sejenak dari beban kerja yang terlalu. Ia tidak suka melihat Ayah dan Ibunya bekerja terlalu giat. Untuk rumah ini, untuk kekayaan mereka, dan… untuk Akeo sendiri. Ia merasa bersalah karena ia terlalu membebani. Oleh sebab itu, walupun Akeo pada awal-awal minggu merasa tidak betah, ia tetap tersenyum saat mereka pulang dan menyatakan bahwa hari-harinya biasa-biasa saja dan lumayan menyenangkan. Itu… hanyalah agar membuat kedua orangtuanya yang terlalu sibuk tidak terlalu mengkhawatirkan dirinya.

“Ayah! Ibu! Hei Hei! Ada apa?” Akeo agak kesal saat mereka berdua hanya tertegun seperti nampak sedang masing-masing memikirkan sebuah beban di kepala mereka dan berusaha menyelesaikannya.

“I-ibu! Ha-lo?” Akeo menyodorkan kepalaya yang dihiasi pita kuning ke arah mangkok sup sang Ibu. “Ibu? Apa ada masalah di kantor?”

Ah! Tidak lagi. Masalah kerjaan. Ah! Aku yakin sekali–– Akeo mulai gusar.

“I-buuu… A-yaah… Ah! Membosankan!” Akeo menaikkan suara.

Akhirnya, nampaknya mereka berdua mulai menyadari kebosanan anak tunggal mereka.

“Ah! Maaf Akeo sayang. Ibu masih memikirkan tentang Tender di Panama besok. Ibu harap…" Sang Ibu berusaha tersenyum dengan wajah yang masih menampakkan kebingungan yang sama.

“Ah! Tender! Tender! Selalu saja Bisnis! Ayah juga?”

“Hm? Nampaknya begitu, Nak? Tetapi yang harus pergi ke Panama besok hanya Ibu. Ayah tetap di sini. Ayah… harus bertemu dengan klien dari…” Sang Ayah pun berusaha menenangkan amarah kecil putri kesayangannya dengan sedikit senyuman di balik kumis kecilnya.

“AH! Membo-san-kan! Ayolah! Ini makan malam keluarga! Huh! Kadang Akeo harap kita miskin saja! Ya! Kita seharusnya tetap berjualan kue di Kyoto. Ini membosankan!” Akeo berujar marah.

“Akeo! Jaga sikapmu, Nak. Kita sedang berada di meja makan.” Sang Ibu membalas pelan.

“Ju-justru itu karena kita sedang di meja makan, kita bukankah sebaiknya membicarakan tentang kita dan bukan bisnis? Akeo tahu bisnis itu penting karena jika tidak kita tidak berada di sini bukan? Tetapi lihatlah! Besok Ibu pun harus ke luar negeri, dan lagi, tunggu saja, pasti dua atau tiga hari lagi, Ayah akan menyusul dan Akeo harus tinggal di rumah ini sendirian lagi! Aw, ayolah Ibu! Ayah! Ini sudah sebulan lebih dan kita belum pernah menghabiskan waktu luang bersama. Akeo juga ingin menikmati London dengan keluarga.”

Sang Ayah dan Ibu hanya saling bertatapan. Mereka berdua nampaknya mulai sadar kesalahan mereka. Sang Ayah pun akhirnya berucap dengan nada yang terdengar bijaksana, “Hm, kau sudah semakin dewasa, Akeo anakku. Baiklah, Ayah berjanji. Setelah tender Ibumu beres, kita bertiga—hanya bertiga, akan pergi berkeliling di kota ini! Dan Ayah janji, tidak akan ada bisnis! Betul begitu, Kayo?”

“Ah, benar. Ibu juga minta maaf. Ibu tahu kami begitu sibuk. Baiklah, setelah tender ini selesai, kita akan berlibur. Bukan hanya berkeliling kota, sebutlah kemana, kita akan pergi…”

Sang Ibu berbisik pelan kepada sang Ayah, “Reiji, kau yakin minggu depan kita akan meyelesaikan bisnis investasi si Benzaid itu?”

Sang ayah pun mengangguk dan memberi isyarat yang melegakan. Ia tersenyum. Mereka berdua tersenyum. Dan akhirnya… Malam itu terjadi makan malam ala keluarga Ikeuchi yang normal.

Syukurlah—

“Nah… sekarang teman-temanmu…” Sang Ibu akhirnya merespon hal yang tadi hendak dibincangkan Akeo.

Akeo tersenyum. Bukan karena akhirnya kedua orang tuanya menanggapi pembicaraannya, tetapi ia tersenyum karena makan malam kali ini adalah makan malam yang benar-benar normal—tanpa bisnis. Seperti keluarga normal lainnya.

Mereka berbicara dan tertawa. Seperti saat di Kyoto; di meja makan yang kecil, dengan sumpit dan mangkok, duduk di atas futon yang hangat sembari menonton acara quiz di TV kecil mereka.

Ah! Seperti di Kyoto—


–––––––––––––––––––––


SETELAH makan malam berakhir, Akeo pun segera berangkat ke pesta Halloween yang berada tak jauh dari sekolahnya itu.

Menara Pscyho Ten.

Ia sudah meminta izin kepada kedua orangtuanya.

Pada awalnya, Akeo takut mereka tidak akan setuju. Tetapi sebaliknya, Sang Ayah sangat setuju tentang ini. Ia malah berkata bahwa ini memang adalah salah satu cara orang-orang London menghabiskan waktu—Berpesta. Lagipula Ibunya pun juga nampak setuju, ia beranggapan bahwa ini mungkin satu-satunya cara agar Akeo dapat lebih rileks jika ia mempunyai teman baru.

Akeo pergi kesana di antar dengan Tuan Hideki, supir tua yang sama dengan yang tadi mengantarkan pulang.

“Akeo-sama, pukul berapa saya harus menjemput Nona?” Sopir Hideki bertanya sesaat ia merasa telah sampai di dekat Menara Tua tersebut. Sempat mereka terdiam—melihatnya…

Wow! Jadi ini Menara itu?

Mereka berdua terpana melihat Menara tua yang seharusnya adalah menara tua yang bobrok dan usang, dan kini, telah disulap menjadi sebuah tempat pesta yang meriah dan super riuh.

Akeo menjawab sembari keluar dari mobil, “Hm… Sebaiknya Paman datang sekitar pukul 12 malam lewat. Akeo tidak tahu kapan pesta ini selesai. Mungkin lebih lama, apa Paman tidak apa-apa?”

“Aha ha ha! Tentu tidak apa-apa! Paman juga khawatir membiarkan gadis cantik seperti Nona Akeo nanti berjalan sendirian di tempat seperti ini. Baiklah! Paman akan kembali pukul 12 malam. Dan… nikmati saja pestamu, Nona Muda! Paman akan menunggu di tempat yang sama—di sini, hingga pestamu usai. Mungkin Paman akan tertidur, jadi jika sudah Nona Muda mau pulang, bangunkan saja Paman, oke?”

“Ah! Ok! Terima kasih. Akeo pergi dulu!” Ia pun berlalu. Dan tak lama, Sang sopir dan begitu pula mobil mewahnya.

Akeo segera mendatangi lokasi pesta tersebut dengan roman keheranan dan takjub.

Sudah agak ramai… Di mana dia?

Lalu, Akeo segera dikejutkan oleh A Fang dan beberapa teman kelasnya yang tadi, “Hei! Kau datang. Syukurlah! Ayo, kita bergabung dengan yang lain!” A Fang mengajak Akeo ke sebuah lokasi tepat di bawah menara tua tersebut.

Sembari ia ditarik pelan oleh gerombolan teman barunya, ia mendapati bahwa yang lain sudah berkumpul mengelilingi sebuah api unggun besar. Ia memperhatikan ornamen-ornamen pesta yang bertemakan horror, namun itu semua nampak sangat kekanak-kanakkan.

“Hei, apakah ada acara setelah ini?” Akeo bertanya kepada A Fang yang masih menarik Akeo ke barisan lingkaran tesebut.

“Hm? Ya! Begitulah, Hei… apa sekarang sudah pukul 21.30?” A Fang berbisik sembari mengajak teman-teman yang lain merapikan lingkaran.

“Ah, sebentar…”  Akeo melirik jam tangan emasnya, “Oh! Sedikit lagi, lima menit, bukan, enam menit lagi. Kurasa…”

“Baguslah. Inilah puncak cara Hallowen St. Vanalecca, Akeo. Pemburuan harta Karun si Tua Wilson.” A Fang berujar dengan nada girang.

Lalu seorang pria yang baru dikenalnya berujar, “Jangan sampai tampang polos Cinanya menipumu, dialah yang mengatur seluruh pesta aneh ini. Ya… bisa dibilang dialah otak detektif dalam pembuatan skenario pesta sesat ini.”

A Fang menyenggol lengan pemuda berwajah pucat tersebut, “Hei, kau datang, Mike! Mana Pierre dan Alberto?”

Mike mengangkat alisnya dan kembali merapikan baju kemeja birunya yang elegan, Ia mengenakan baju yang tidak mencerminkan horor sama sekali, “Mana aku tahu! Memangnya aku pacar mereka?”

“Huh! Maaf, lagipula biasanya kalian selalu bertiga,” A Fang mencibir dan kembali ke Akeo. “Hei! Akeo-chan, apa kau siap ikut dalam permainan?”

“Hm? Tentu saja, kurasa… tetapi aku baru sadar, temanmu Mike, bahkan yang lain, mengapa pesta Halloween kita tidak memakai kostum? Tetapi… syukurlah, karena kupikir tadi hanya aku yang tidak akan memakai kostum seram.”

“Kos-tum? Ah! Benar juga!”

A-apa? Ia belum memikirkannya?

“Waa—tentu saja aku sudah memikirkannya A-keo-chan! He he, tetapi, tema kali ini adalah Menara ini bukan? Apa kau tahu sejarahnya dan mengapa kita sekarang hanya berpakaian biasa saja?” A Fang bertanya dengan lagi, memberi kesan mistik yang kekanak-kanakan.

“Ya, tentu tidak! Aku baru sebulan di sini, kau tahu bukan?”

“Justru itu, begini Akeo… Menara Wilson ini… Diberi nama sesuai dengan nama pembunuh kenamaan, Pscyho Ten. Wilson hanyalah nama arsitek menara ini. Dan kau tahu… banyak rumor mengatakan bahwa Pscyho Ten suka sekali mengadakan ritual aneh dan ia amat gemar sekali membuang mayat-mayat, yang kebetulan adalah orang-orang biasa seperti kita, ke dalam lubang bawah tanah di bawah menara terkutuk ini.”

“Hantu?” Akeo menimpal heran.

“Ya! Aku juga dengar, dan banyak rumor mengatakan. Tetapi, tema kita adalah detektif!” A Fang berucap bangga. “Tema kita adalah mencari harta karun yang hilang—sebuah kalung mutiara hitam. He he he, anggaplah kita semua adalah para polisi yang mencari bukti dari sisa pembunuhan terakhir Pscyho Ten. Kalung itu… Ha ha ha…”

Aneh. Memangnya ada? Aku sepertinya pernah diceritakan oleh Ibu, tentang pembunuh ini tapi bukan seperti ini. Bukankah Pscyho Ten tidak pernah membuang mayat? Apa ini benar-benar ada?

“Ada apa?” A Fang bertanya.

“Hm, aku pernah mendengarnya dari seseorang, tetapi maaf, bukankah Pscyho Ten bukanlah sama sekali yang seperti yang kau katakan, A Fang?”

“He he he. Tentu bukan. Aku… hanya meminjam nama sang legenda. Kau tahu… agar telihat keren. Sudahlah… Ikuti saja acaranya! Lagipula, yang menang, yang menemukan kalung itu, boleh mendapatkannya. Oh ya! Kalung tersebut bukan imitasi!” A Fang berujar sembari menatapi barisan yang lain.

“Ah, nampaknya kita harus memulai…” A Fang segera memalingkan wajah ke arah api unggun besar.

Seorang MC hadir dengan pakaian serba hitam, ia mengumumkan pesta telah di mulai dan pemburuan pun akan segera di laksanakan. Akeo mendengarkan ocehan sang MC dengan sangat hati-hati.

Ia hanya berpikir bahwa malam ini adalah malam bagi anak-anak seusianya menikmati permainan kreatif seperti ini.

Ya! Di banding membicarakan bisnis di rumahnya yang besar dan hampa; ia lebih baik bermain detektif bersama teman seusianya dan siapa tahu, ia bisa memenangkan kalung Mutaira Hitam yang A Fang katakan tadi.

Akhirnya––

“––mengerti?” sang MC berteriak.

Semua khalayak berteriak, “YA––!”

MC pun telah selesai mengumumkan. Suara letusan pistol angin telah berbunyi nyaring.

“Ayo! Semoga berhasil?” A Fang berteriak kepada seluruh kontestan.

Ah! Sudah saatnya. Hm? Secara individual? Baiklah, ini akan semakin menarik… Petunjuk pertama?

“Hei! Akeo! Semoga kau menang ya?” A Fang tersenyum dari kejauhan. Akeo pun membalas sembari membaca sebuah carikan kertas yang telah diberikan oleh sang MC kepada masing-masing peserta.

Di kertas lecek itu tertulis,


“Dalam misteri di mana dentingan besar mengakhiri hidup dan kembali ke asal tulang rusuk Adam.”


Hm––

Akeo merasa tertantang. Dan selama beberapa menit ia tertegun sambil menatapi bulan yang agak berkabut.

Semua peserta sudah menyebar. Nampaknya mereka masing-masing mendapatkan petunjuk yang berbeda-beda. Ia melihat petunjuk itu sekali lagi.

Ah! Aku tahu…

Akeo akhirnya tahu bahwa sebenarnya istilah-istilah itu ternyata terkait pada sang menara Wilson.

Mudah sekali, 'Misteri, Dentingan  besar,' artinya pasti jam di Menara Wilson, pasti ada di dalam menara. Lalu… "mengakhiri hidup' dan 'ke asal tulang rusuk Adam'… Hm… tulang rusuk Adam? Bukankah berasal dari tanah. Ah! Berada di antara tanah atau di dalamnya. Aku tahu! Baiklah Akeo, kita pergi sekarang!

Akeo merasa telah tahu jawabannya, dan ia bergegas untuk mengambil petunjuk berikutnya karena sang MC mengatakan bahwa ada 10 petunjuk yang harus di selesaikan. Ya! Sepuluh! Sesuai dengan tema hari ini, 'Psycho Ten'.

Ia pun bergegas seraya menghiraukan angin malam yang semakin dingin dan larut.

###

DI dalam menara tua Wilson, permainan 'Pscyho Ten' ini mulai menarik minat sang Nona Muda tersebut. Ia mulai nampak dengan sangat hati-hati dan seakan-akan ia telah menjadi detektif sungguhan. Menelaah setiap jengkal tanah, ubin kayu, ornamen-ornamen aneh (yang entah sebenarnya memang sudah ada disana atau A Fang dan teman-temannya baru meletakkan mereka).

“Tanah… Tanah… Di dalam tanah?” Akeo berujar pelan sendiri. Ia sesekali menatapi lampu neon kecil yang hanya menyinari lantai pertama menara tua tersebut. Ia tidak begitu berani naik ke atas ataupun ke bawah––jauh ke dalam basement yang banyak teman-temannya katakan tadi di mana Pscyho Ten gemar membuang mayat.

Tentu saja, Akeo tidak begitu percaya, tetapi ia berpikir lebih baik untuk berjaga-jaga.

Cukup seram juga… Ia berpikir sejenak sembari mulai menggali tanah yang agak lembek dengan sepatu putihnya. Ia enggan menyentuh tanah kotor. Dan ia terlebih-lebih tidak mau mengotori blus gadingnya yang amat ia sayangi itu.

Setelah tak beberapa lama––

“Oh tidak! Tidak ada di mana-mana!” Sudah hampir beberapa menit ia mencari di sekitar tanah dan berusaha menggali tiap inci, namun petunjuk berikutnya tidak pernah nampak. Ia mulai berpikir bahwa sebenarnya petunujuk itu mengarah pada tempat yang lebih dalam—

Tanah? Apa mungkin maksudnya basement menara ini? Ah sial! Kenapa harus aku dulu yang mendapatkan petunjuk ini?

Akeo kembali menggerutu. Seraya ia mengumpulkan tenaga dan keberanian untuk turun, perlahan-lahan ia mengambil sebuah lampu minyak yang menjadi salah satu ornamen dalam menara tersebut. Lalu, ia pun mendekati pintu reot berwarna biru yang bertuliskan 'Basement' tersebut––ia mendorongnya dengan perlahan… KREETTT…

Ah, pintu basement tidak terkunci? Sudah kuduga. Oh A Fang…

Nampaknya lampu minyak dan pintu basement yang reot itu memang sengaja A Fang persiapkan agar memberi kesan tua dan klasikal horror ala film 70-an.

Akeo segera masuk secara perlahan. Sempat ia mencium bau tidak sedap dan ada sedikit perasaan mual. Namun semua itu segera ia tak gubris dan ia pun kembali melanjutkan langkah kecilnya yang enggan.

“Baiklah, ini dia. Mari… kita… mencari petunjuk!” Akeo bergurau sendiri. Ia mulai perlahan-lahan menanamkan keberanian. Ia berpikir bahwa banyak orang di atas sana, jadi jika ia bertemu hal-hal yang tidak diinginkan (apapun itu) maka, yang harus ia lakukan hanyalah… berteriak.

Ya… Berteriak… Oh kuharap aku tidak perlu berteriak…

Akeo turun dengan sangat perlahan. Berkali-kali ia meringis kecil saat mendengar suara derit tangga kayu yang ia injak satu per satu.  Ia kadang merasa jijik dengan dinding berlumut tersebut—dan terlebih… bau amis yang amat menyengat.

Uh! Tempat ini baunya lebih cocok pada bangkai ikan daripada bangkai manusia. Cih––

Tak beberapa lama ia berjalan, tiba-tiba Aeko dikejutkan dengan suara derit-derit kecil dan suara angin yang berhembus dari bawah sana.

“Ah! Apa itu? Umph! Hampir saja. Tunggu, ada… angin? Ah, sudahlah?” Akeo mencoba melanjutkan langkahnya. Walaupun tubuh mungilnya agak gemetar dan dirinya keheranan akan kehadiran angin dari bawah sana. Sepengetahuannya di dalam basement manapun, tidak pernah ada angin yang dapat bertiup. Tetapi bagaimanapun juga, hari ini ia berjalan ke bawah sana bukan untuk mentelaah angin melainkan mentelaah petunjuk dalam secarik kertas tersebut.

Nampaknya tangga ini masih panjang… Sial! Kapan sampainya?

Akeo menggerutu. Ia beberapa kali merasa jijik dengan bau amis dan dinding lengket yang masih menghiasi seluruh aura tangga itu, dan tiba-tiba––

BRAAKKK!

“A-AAH!”

Akeo berteriak kaget, ia melihat segerombolan tikus melewati kedua kakinya di antara anak-anak tangga tersebut. Ia melompat, berteriak dan secara tak sengaja menjatuhkan lampu minyak tersebut hingga padam.

Badannya menjadi tak seimbang, nampaknya kekalutan karena tikus-tikus itu membuat dirinya semakin bertambah panik. Berkali-kali ia bergerak hingga hampir terjatuh. Ditambah lagi, kegelapan ini membuat sang Nona Muda itu semakin panik. Ia hanya berharap bahwa tikus-tikus itu untuk segera cepat pergi dari hadapannya. Akeo amat sangat ngeri dengan suara-suara mereka yang berbaris dengan sangat cepat dan bergerombol ramai—layaknya gempa-gempa kecil di antara kedua kakinya.

Dan beberapa detik kemudian…

Akhirnya…

Suara para gerombolan tikus-tikus itu pun pelahan menghilang.

Ah! Syukurlah… Sial!! Ok… Tenang… Tenang saja, Akeo…

Setelah semuanya mulai menjadi senyap dan agak tenang, Akeo mencoba mengambil nafas dalam-dalam––mencoba rileks.  Lalu, ia pun memutuskan untuk sebaiknya kembali, berusaha naik ke atas dalam kegelapan.  Ia sudah enggan mencari lampu minyak yang jatuh ke bawah itu, ia berpikir lebih baik kembali lagi ke atas dan menghentikan permainannya sampai di sini saja. Ya! Akeo memilih mundur dan menunggu di antara perapian yang hangat di atas sana.

Akeo pun kembali melangkah secara perlahan ke atas…

Namun––

TAK! Salah satu anak tangga yang diinjaknya tiba-tiba patah!

Akeo terjatuh dan terjerembab ke tempat yang ia enggan kunjungi itu. Tubuhnya terhempas, berputar-putar dan menggelinding seperti bola yang jatuh. Ia menyadari saat perlahan-lahan tubuhnya membentur anak-anak tangga dan dinding. Matanya pun mulai berkunang-kunang. Telinganya menjadi penggang dan tubuhnya semakin lama menuturkan rasa layaknya melayang di awan.

Ah! Ti-tidak, to-tolong! Siapapun…

Akeo berusaha berteriak, tetapi nampaknya suara kecil itu sudah tenggelam dalam alam tak sadarnya. Menjadi bulu yang rapuh. Seakan-akan jatuh dirinya dalam gerakan lambat dan suara-suara benturan itu menjadi seperti denting lonceng kuil yang biasa ia dengar—sangat… perlahan… dan menghibur.

Ah, cahaya putih?

Kepanikannya mulai mereda, walaupun tubuhnya masih terhempas tanpa tujuan ke bawah sana.

Ayah… Ibu… Di mana ini?

Dan––

BUKK! Akeo akhirnya telah berhenti terguling.

Ugh…

Ia mendarat dalam kegelapan. Tidak ada apa-apa selain gelap dan amis. Namun… Ia sesayup mendengar suara… Denting lonceng kuil seperti di Kyoto, suara desir angin yang berhembus dan… suara-suara tawa yang membuat bulu kuduknya merinding ngeri… Ya! Ada suara-suara yang tak menyenangkan beserta geretan-geretan rantai… dan ucapan itu––

“Ah! Dia da-tang! Dia da-tang! Apakah su-dah wak-tunya?”

~a-ah… siapa yang…

Sang Nona Muda akhirnya terlelap dalam putih dan ketenangan. Tubuhnya kotor dan amis. Kesadarannya hilang dan suara lonceng beserta angin terus mengitarinya. Langit-langit di tubuhnya berubah warna seperti merah darah dan suram…

###

SEMENTARA itu…

“Hei! Apakah sudah menyebar? Oh ya! Stu… apa kau yakin sudah memasang larangan untuk tidak pergi ke basement Menara?” A Fang bertanya di dekat lingkaran api unggun kepada beberapa teman sekelas Akeo yang nampaknya adalah panitia-panitia dari acara detektif ini.

Si Stu langsung menepuk kepalanya dan berlagak meminta maaf, “Ah! Tidak! Aku lupa. Tapi… Aku sudah periksa tadi pagi, pintu itu memang tidak pernah terbuka. Selalu terkunci. Penjaga taman berkata padaku bawah memang di dalam sana hanyalah situs bekas para nelayan menaruh hasil jualannya, itu saja. Oleh sebab itu ruangan tersebut sangat tidak perlu dikhawatirkan. Benar, terkunci?”

A Fang menghela nafas, “Ah! Sudahlah, Yang penting tidak ada yang pergi kesana. Hei, petunjuk yang berada di menara hanya berada di dalam gundukan tanah dekat pintu masuk bukan, Sasha? Kau jangan lupa untuk membiarknnya agak lebih…”

Segera, seorang wanita berkacamata tebal yang A Fang ajak bicara itu segera memotong ucapannya sembari merapikan kacamata di hidungnya yang pesek, “Ah! Tentu saja, agak lebih terlihat? Tinggi? Berwarna lebih beda? Ya! Aku tahu, agar mereka lebih cepat selesai bukan? Tenanglah, setiap pos, semuanya sudah… be-res, Nona A Fang. Semuanya mudah, benar bukan?”

A Fang tersenyum. Mereka akhirnya menunggu di antara gugusan bintang dan cahaya berkabut tipis.

Api unggun pun semakin meredup.


—————————————

PART 2
(to be continued)

.................. either this afternoon or tomorrow! :D