ZILCH 03: 01:15 PART 2

(continued)

MATA Akeo masih tersaput cahaya putih dan dengungan masih bersarang di telinganya. Ia masih merasakan getaran ringan itu. Seperti bulu dan suara lonceng yang menggema. Suara-suara yang memanggil namanya tak hendak seperti sebuah syair yang sayu.

Lonceng… Suara angin berbisik dan rumput… Gemericik rumput? Ah! Seperti di Kyoto… A-awan…

“I-bu… A-ayah…” Perlahan-lahan Akeo mulai tersadar dari putih dan dengungan. Matanya perlahan terbuka. Amat sangat perih dan sedikit pusing.

Di-di mana ini? Mengapa semua begitu merah?

Ya! Semua langit-langit seakan-akan… mencerminkan dirinya sudah tidak lagi berada dalam basement yang semestinya. Kini, Akeo merasa bagaikan berada di dalam alam lain; alam di mana angkasa merah bahkan darah adalah tepiannya.


Tubuhnya masih terbaring di tanah yang amat lembek seperti tanah yang baru saja terkena hujan. Dan… Bau itu… amis yang menyengat, seperti amis dari bangkai ikan.

“U…ugh…” Akeo berusaha bangkit. Semakin lama, kesadarannya telah penuh. Ia menggerakkan kepalanya ke samping dan melihat sebuah fakta yang begitu mengerikan! Sebuah alam yang begitu beda, sebuah kuil kuno! Kuil seperti di tempat asalnya, tetapi––

Te-tempat apa ini? Di mana aku sebenarnya? Si-sial, kepalaku…

Beberapa kali ia tertatih, berusaha berjalan sembari memegangi kepalanya yang lepek karena tanah basah tadi. Semakin Akeo tersadar semakin ia mengetahui seluk beluk dari tempat di mana ia berada sekarang; Ini seperti hal yang tidak mungkin tetapi, Akeo kini memang sedang berada di sebuah bukit yang nampaknya amat tinggi sehingga ia bagaikan dapat menyentuh awan yang begitu merah itu dengan tangannya yang mungil. Ya! Ia bahkan dapat meyamaratakan bentuk bulan dengan tinggi tubuhnya… Tetapi tunggu…

A-ada dua bulan! Apakah ini… Apakah ini neraka? Apakah aku sudah mati? Oh tidak! I-ibu…

Hatinya gemetar, jemarinya tidak bisa bergerak konstan. Bibirnya tidak dapat berkata apa-apa. Ia semakin yakin bahwa ia telah mati. Ya! Akeo sangat mempercayai alam neraka itu; Dengan awan yang bercorak darah ini, dengan bau amis seperti mayat, dengan bentuk-bentuk gerbang kuil yang bobrok di sekitar tepi bukit… dan dengan keanehan dua bulan yang besar dan bersinar terang itu…

Ma-mati…

Akeo masih terdiam. Ia tidak dapat mempercayainya, ia baru saja merasa bahwa ia sedang bermain sebuah permainan bersama teman barunya. Jadi, apa penyebab kematianku?

“Apakah aku benar-benar sudah mati?” Ia berkali-kali mengulangi pertanyaan yang sama dan berharap bahwa gemericik suara rerumputan dan desir angin itu berubah menjadi sebuah suara. Namun… semua begitu hening… Hening bagaikan mati. Lagi, matanya memandangi dua bulan di angkasa itu yang begitu putih bersinar. Sinar…
Ah! Bulan itu mulai berubah?

Tiba-tiba, Akeo tersadar bahwa bulan kedua itu ternyata bukanlah sebuah bulan melainkan wajah dari sebuah jam yang amat besar, menunjukkan waktu yang sama dengan jam tangan emasnya—Pukul 22.10.

Dan perlahan-lahan Akeo juga menyadari bahwa sebagian teritori bukit kuil ini memiliki sinar lain yang cukup mistikal; walaupun langit amat merah, tetapi seluruh tubuh dan tanah disekitarnya seakan-akan diterangi oleh sinar hijau yang amat sangat terang, seterang kunang-kunang di malam hari. Angkasa darah dan aura hijau yang menyinari blus gadingnya kini layaknya menyatu dengan tanah lembek beserta atmosfir suram tempat tersebut.

Amis itu… semakin meruak lebar. Mual.

Desir angin, lonceng bel dan suara detak jam sesayup terdengar.

Akeo berusaha beberapa kali memutar pandangannya; mencari orang lain selain dirinya namun, di sini hanya ada ia sendiri. Walaupun semua bangunan begitu familiar tetapi, semua bentuk itu begitu menyiksa baginya, seakan-akan di atas bukit ini adalah tempat peristirahatannya yang terakhir. Aku terjebak di sini. Itulah pemikirannya yang paling ia takuti. Tubuhnya pun kembali gemetar layaknya seorang anak kecil.

Lalu… secara tiba-tiba, terdengar kembali suara-suara tidak nyaman itu, sesayup-sayup munculah suara-suara gesekan rantai dan beberapa derap langkah yang tidak manusiawi. Amis semakin mendekat…

“A-pa kau ta-kut?”

A-apa… Di mana? Akeo panik. Ia ingat suara itu sebelum ia pingsan tadi. Tubuhnya berputar kesana kemari mencari sumber suara parau tersebut.

“Si-siapa kau? Di mana? Tolong…” Akeo berterisk dengan nada gemetar. Tubuhnya semakin lepek karena tanah basah tadi. Sepatu putihnya pun sudah amat terlihat rusak. Satu-satunya yang masih rapi adalah pita kuning yang masih menempel di rambut cokelatnya yang panjang.

Suara nyaring dan bergema itupun kembali berkumandang. Kali ini, nampaknya ada dua orang walau dengan dialog yang sama, “A-apa kau ta-kut! Nona Akeo! Y-a! Ta-kut! Ha ha ha! Ta-kut Akeo?”

Dia tahu namaku?

“Si-siapa kalian? Di mana kalian, tolonglah keluar, aku… aku takut… Kumohon. Tempat apa ini?”

Dan… Suara-suara bergema itu akhirnya menampakan wujudnya—di kejauhan—di antara bayang-bayang gerbang kuil yang bobrok, dengan ornamen-ornamen bendera perang robek mengibari sekitar tubuh mereka yang bagaikan sileut malam. Di antara angkasa merah darah tersebut. Mereka pun berucap, secara bersamaan, “Ka-mi ta-tahu ya! Tahu na-namamu karena kau ter-pilih! Ya! YA! Ter-pilih un-tuk diku-tuk… Ha ha!Ku-tuk!”

Terkutuk! Apa maksud mereka?

“Terku-tuk…” Perlahan-lahan, banyak siluet mulai bermunculah di antara bayang-bayang bangunan kuil yang bobrok tersebut. Di seluruh penjuru bukit ini. Mereka muncul, hilang dan berpindah tempat dengan amat cepat layaknya petir berlalu, sembari mengulang-ulang kata yang sama secara bergantian, “Terkutuk! Terkutuk! Terkutuk!”––

Akeo merinding ngeri.

Ia merinding bukan karena banyaknya bayangan itu, tetapi ia merasakan gejolak teror itu saat ia mendengar suara-suara geretan rantai dan tawa-tawa mereka yang begitu nyata. Seperti suara rintihan saat orang mati terbunuh secara serentak dari kejauhan. Dan lagi, perlahan-lahan, mereka mulai masing-masing menampakan wajah mereka yang tidak manusiawi; Amat sangat buruk dan mengerikan bagaikan mayat yang baru terbangun dari tidurnya.

Ternyata bau busuk dan amis itu adalah mereka! Dan Oh… darah dan daging yang terkelupas, di tubuh mereka––

Ma-makhluk apa mereka? Ja-jadi… apakah aku memang sudah mati?

Akeo berjalan mundur saat ia mendapati para makhluk menjijikan itu mulai mendekatinya. Semakin lama sinar hijau mulai menyinari wajah dan tubuh mereka yang juga sama tak jelasnya––yang terpotong, tercabik, bertangan tiga, berleher panjang layaknya ular, pinggang setengah terputus…!

Krrr… Krrr…

Suara-suara gesekan… suara-suara yang ternyata adalah rantai-rantai yang terikat di antara pinggang-pinggang mereka. Nampaknya makhluk-makhluk itu masing-masing terikat pada tiap sisi gerbang kuil yang tersebar di antara hamparan bukit.

Akeo berusaha mundur sembari menatapi keanehan mereka yang menjijikkan.

“To-tolong hentikan! Tolong!” Akeo terus mundur hingga ia mulai sadar bahwa kakiknya sudah tak dapat bergerak lebih jauh lagi. Ia sudah sampai di tepian bukit.

Ia sudah tidak dapat mundur ataupun maju. Tidak ada yang bisa ia lakukan sama sekali!

Ba-bagaimana ini… Akeo menangis dan tubuhnya gemetar.

Pandangannya beralih, memperhatikan awan merah di atas yang membuat nafasnya sesak. Sinar hijau menyinari bendera-bendera perang yang berkibar layaknya api yang menari-nari di awan.

Ia mencoba acuh pada suara makhluk-makhluk sial tersebut namun… dengan segera, kenyamanan maya yang Akeo buat segera lenyap saat tiba-tiba tepat di depannya muncul sebuah sosok makhluk seperti halnya mereka; tersenyum dengan gigi yang sebagian remuk dan busuk. Bau amis dapat Akeo cium sangat dekat dan anyir. Baju yang kotor seperti tercabik oleh ribuan pisau secara membabi-buta. Makhluk aneh itu mulai berbicara sembari kedua lengannya yang bagai tinggal tulang tersebut menggenggam erat kedua pergelangan Akeo, “Te-nanglah A-keo! Kami tidak akan membu-nuhmu! Karena ki-ta sama… yaa! Ya! Sa-ma. Terkutuk! Terkutuk. Kau sudah di-tandai untuk menetap di-si-ni! Akeo! A-akeo!”

“TI-TIDAK! A-apa maksudmu? Aku tidak paham?” Akeo berteriak kasar sembari melepaskan pegangan sang makhluk setengah tengkorak tersebut.

Akeo berlari ke arah yang berlawanan. Para makhluk pun menyingkir perlahan dari arah gadis belia itu berlari. Mereka… seakan-akan senang dan terhibur akan rasa takut Akeo yang terpampang di wajahnya yang terbias hijau dan merah angkasa.

“Ja-ngan la-ri… Jangan… A-keo! Kita adalah sau-dara di sini! Tempat ba-gi yang Terku-tuk!” Suara-suara itu semakin liar, seperti gema yang menyayat.

Akeo terjatuh, kakinya terkilir. Nampaknya ia tersandung sesuatu di tanah lembek tersebut. Ia terjatuh tepat di tengah-tengah area bukit tersebut.

Dengan segera, ia berusaha bangkit, sembari memegangi kakinya yang terkilir. Dan baru kali ini, ia memperhatikan permukaan bukit mistikal yang sedang ia pijak secara penuh. Pandangannya dapat menyaksikan seluruh keanehan bukit neraka yang membuatnya bergidik ngeri; seluruhnya bagaikan tempat bekas peperangan ala Jepang zaman dahulu—dengan mayat-mayat, bendera-bendera perang, dan amis yang membuat ingin berteriak.

Ada sesuatu yang terasa ganjil… Ia merasakan hal lain selain rasa takut.

Sepertinya ia telah menyerap sesuatu yang bukan miliknya… dalam lubuk hatinya, seperti tekanan yang berat, dalam udara yang amat tebal ini, dengan untaian rasa marah.

Akeo dapat merasakan rasa dengki dan hina itu, ia seakan-akan berempati terhadap perasaan tersebut. Semua rasa benci duniawi… berasal dari seluruh penjuru… seluruh sisi dan sudut gerbang dan… dari mereka… Makhluk yang bagaikan mayat-mayat hidup tersebut.

Perasaan ini? Mengapa aku sangat pedih merasakannya, udara yang sesak… ugh! Aku mual!

“Ah! Kau me-rasakannya? Merasakan penderita-an ka-mi semu-ua! Benar! Benar! Karena kita sama! Terku-tuk. Dan kita bersaudara dalam darah yang menji-jikan itu! Krrkkkk Krr! Karena kita telah di-jua-al Akeo, dijual!”

Suara-suara itu bergema dan para makhluk seakan-akan diam di antara tepian-tepian bukit sembari kembali memperlihatkan diri mereka sebagai siluet-siluet kecil yang mengawasi di antara bendera-bendera perang tersebut.

“A-aku tidak percaya! Aku tidak percaya… aku… mati… dikutuk! Apa yang kau katakan, aku… tidak… AKAN PERCAYA! Kelaurkan aku dari sini! Aku belum mau mati! Kumohon…”

“Ma-ti?” Mereka tertawa, ribuan tawa.

“Kau belum mati A-keo. Ini bukan Neraka! Kau tahu?”

“A-apa? Belum mati? Jadi?” Akeo bertanya pelan. Hatinya sedikit tenang.

Jadi… Tempat apa ini?

Salah satu makhluk menjijikan itu kembali mendekat. Tetapi nampaknya mereka tidak bisa terlalu dekat sebab rantai-rantai itu masih mengikat mereka dengan amat kasar, “Ah! Sa-sakit sekali di sini! Sa-kit!!!” Ia menunjukkan rantai-rantai itu di pinggangnya dan teman-temannya. “Hei! A-apa kau tahu tempat apa ini?” Makhluk itu bertanya balik.

Ma-mana aku tahu? Justru aku…

“Apa kau ta-kut A-keo? Ini bu-kan Nereka, kau tahu? Ini adalah tempat bagi makhluk seperti kita. Kamu… Ya! Kamu pun tak ada be-danya seperti ki-ta. Ter-kutuk!”

“Diam! Aku tidak mau dengar. Kumohon…” Akeo berteriak sembari menutup telinganya.

“Jadi… Kau mau tahu?” Muncul lagi sesosok makhluk dengan pinggang yang terseret layaknya memiliki pinggang hampir terputus, tepat… di belakang Akeo.

Makhluk itu menyeret rantainya seperti berusaha lepas dari rantai tersebut, “Ah! Ini adalah… tempat pembuangan limbah bagi ‘Jiwa yang Terbuang’! Jadi ini bu-kan Neraka! Ini lebih meng-erikan daripada Ne-raka manusia-mu! Ini adalah tem-pat bagi orang-orang buangan yang terku-tuk. Dijual pada Iblis!!!” Makhluk itu tertawa sembari menunjukkan giginya yang kuning dan berliur kental darah.

Dijual?

“Tunggu! Aku tidak pernah bersekutu dengan iblis atau menjual diriku pada iblis manapun. Kalian pa-pasti salah! Ya—” Akeo berucap lirih. Nadanya gemetar.

Makhluk-makhluk itu kembali tertawa. Ribuan gema. Langit merah semakin gelap dan berputar-putar layaknya hendak sebuah halimun mendekat.

“Ka-kau mau tahu… Kita tidak mengatakan bahwa kau-lah yang menjual, A-keo. Tetapi ada yang lain…”

“Yang lain. Ada yang menjual dirku pada iblis? Si-siapa?”

“Yang jelas harus memiliki darah yang sama. Seorang Ikeuchi.”

Si-siapa… Ayah? Ibu? Tidak mungkin?

Mereka kembali bergemuruh dalam tawa, “Ha ha ha! Kau benar. A-ayah! Ayahmu yang sangat kau sayangi telah bersekutu dengan Iblis!!! HA HA HA! De-ngan uang-uang sebagai hasil kemekaran itu. K-kau tahu! Gadis kecil yang Terku-tuk!”

A-ayah! Tetapi, te-tapi tidak mungkin!

“Kau per-ca-ya iblis dan Neraka A-keo?” Salah satu makhluk lainnya mendekat dan berujar sembari tertatih.

“Y-ya! Begitulah…”

“Jadi, percayalah saat kami ber-tahukan kenya-taan ini! AYAHMU TELAH MENJUALMU PADA IBLIS DAN KAU TELAH DITANDAI!!! KAU MEMANG SUDAH SEPANTASNYA DI SINI!!!” Ia berteriak dan bumi seakan bergetar karena kemarahannya. Angin halimun merah itu berputar makin kencang. Bendera-bendera berkibar kasar seperti hendak lepas dari tiang-tiang mereka.

Tetapi…

“Te-tapi kau belum mati! Kami han-ya ingin menunjukkanmu saja… Kau tahu? Kau belum ma-ti? Ma-ti…”

“Su-sungguh?”

“Ya! Kau hanya pingsan di tempat yang memiliki energi negatif… kebetulan saja, jadi ka-mi agak… menjemput-mu untuk membawamu, mengenal-kan dunia barumu… Kelak… nan-ti…”

Menara itu…

“Lupakan Me-na-ra tolol itu, itu hanya ke-be-tulan. Ada yang lebih pen-ting! Sebenarnya A-keo, jika kau mati nanti—kapanpun itu—kau pasti akan terbuang di sini. Bukan Neraka ataupun sur-ga kesayanganmu dan Alkitab itu. Me-ngerti?”

“Nanti? Ditandai? Aku akan tetap di sini? Tunggu! Kalian membohongiku! A-ayah tidak mungkin seperti itu, Ayah—”

“DENGARKANLAH GADIS TOLOL! APA KAU TIDAK SADAR KEKAYAAN MENDADAK KELUARGA IKEUCHI ADA KARENAMU!? KAULAH BAKAL BUAH YANG AKAN DITUAI OLEH IBLIS” Mereka kembali berteriak.

“Krr…Krr… Ma-ri kita perlihat-kan saja… Ya! Ucapan Ayahnya dan Sang Ibu… A-keo… Silakan., si-lakan…” Si makhluk berpinggang miring itu menunjukkan tangannya ke arah langit berhiaskan halimun itu…

Mata Akeo segera tertuju pada pusaran angin tersebut. Ia masih tidak mempercayai sepatah katapun dan seluruh kegilaan di hadapannya.

Sesayup ia mulai menyaksikan sebuah imej, sebuah gambaran kabur yang putih seperti warna asli dunianya.

Perlahan-lahan… Sebuah rumah tua… Rumahnya… di Kyoto… Ia menyaksikan dua pasang bentuk––

Ayah dan Ibunya… Berbicara, dengan amat perlahan… Dalam kelam malam dan gesekan dedaunan…

A-ayah… I-ibu… Tolong Akeo…

“Shhh… Saksikanlah kenyataan hidup-mu A-keo-san!”

Ken-yataan?

###

SANG ibu memakai baju berwarna putih. Di antara kelamnya lampu di kamar tidur kedua orang tua Akeo, Ia menyaksikan percakapan mereka yang sangat rahasia. Bahkan Akeo pun meringis sembari ia semakin tak mempercayai semuanya, mendengar… semua ini.

Sang Ayah merokok sebatang cerutu, sembari menenangkan hati Sang Ibu, ia berkata dengan amat sopan, “Kayo… Aku mohon, ini hanya satu-satunya cara. Bukankah kita telah lelah menghadapi kemiskinan ini?”

Sang Ibu menjawab sembari terisak-isak, “Aku tahu tetapi, apa kau tahu resikonya jika kita membuat perjanjian dengan iblis? Apa kau tahu—anak kita, Akeo? Reiji!! Apa tidak ada cara untuk membatalkan ini? Aku mohon, aku lebih suka jika kita berjualan kue saja dan––”

“Kayo…” Sang Ayah menatap bulan sabit di atasnya, sembari mendengarkan gemerincing bel yang terpasang di atas jendela kamar, “Maafkan aku, sayang. Semua… sudah terjadi, yang harus kita lakukan hanya berusaha agar Akeo pun mengerti. Kita buat ini sebagai rahasia. Lagipula, Kayo… Akeo mungkin hanya akan mengalami sedikit penderitaan. Ini sebanding! Kelak, ia akan berterima kasih kepada kita karena kita telah membuat hidupnya mewah dan bahagia. Benar?”

Sang ibu hanya terdiam, tidak bisa memikirkan sepatah katapun. Entah apakah ia setuju atau tidak, tetapi air matanya tetap mengucur pelan.

Kayo akhirnya mengucapkan sepatah kata dalam bisikan lirihnya, “Akeo… maafkan Ayahmu, Nak? Ini, Ibu rasa demi kebaikan kita…”

Lalu mereka berdua berpelukan dan sang Ayah mencium kening Sang Ibu dengan amat lembut.

“Tidak apa-apa Kayo, sungguh. Kelak Akeo pasti mengerti… Kita hanya membuat dia sebagai jaminan bukan tumbal. Oh Kayo…”

Bayangan indah itu pun menutup di antara gelap dan merah yang berangsur-angsur pelan dan kembali tenang., meninggalkan angin dan dedaunan kering yang berjatuhan—seperti air mata Akeo yang mulai turun secara konstan.

I-ibu…

###

AKEO tidak percaya yang telah ia lihat dan dengar dalam pusaran awan merah darah itu. Ia tak percaya bahwa makhluk-makhluk sial itu ternyata benar apa adanya. Akeo memang sudah dijual oleh Ayahnya. Sang Ayah mempergunakannya sebagai jaminan untuk memperkaya kekayaan Ikeuchi.

Detik-detik jam di awan masih berputar dan semakin lama, waktu pun berputar semakin cepat. Begitu pula, rasa kepercayaanya yang meleleh terhadap Ayahnya.

Ti-tidak mungkin! Ayah? Ternyata? Aku memang telah menjadi tumbal? Oh––

Semua makhluk-makhluk menjijikan itu kembali tertawa layaknya ribuan gema dan menyiratkan pedih yang mengintimidasi Akeo. Kepercayaannya pada Sang Ayah tiba-tiba runtuh. Bahkan Sang Ibu hanya terdiam saat mengetahui jiwa labilnya telah terjual dan menjadi tumbal demi nama Ikeuchi.

Akeo berteriak dalam hatinya! Ia tidak percaya perkataan Sang Ayah yang begitu menjijikan baginya—

Demi diriku? Tumbal? Sial! Sial! Ayah sial! REIJI MANUSIA ANJING!

Apa dia tidak tahu bahwa hal semacam ini sudah ketinggalan jaman? Apakah ia sebegitu malas untuk bekerja? Dan Cih! Demi aku! Apakah aku pernah meminta harta yang meruah? TIDAK REIJI SIAL! Aku selalu puas dengan suasana kita yang dulu! Apa, apa kau tidak punya hati nurani? Apa yang benar-benar kau pikirkan? Ada demi aku? Dan oh Ibu…Ibu… Kayo bodoh! Ti-tidak mungkin… Ti-dak mung-…

Akeo tenggelam dalam rasa marah yang perlahan-lahan reda menjadi lautan tangis. Hatinya bergetar perih. Ia tidak percaya bahwa ia telah dikhianati oleh orang-orang yang paling ia sayangi. Bahkan dirinya telah, benar apa adanya, terkutuk dan, ia memang merasa bahwa tempat ini adalah pemberhentian terakhirnya nanti. Bagi orang-orang terkutuk sepertinya. Jiwa yang terjual. Jemarinya menggenggam keras. Ia mengutuk nama keluarganya beberapa kali. Giginya gemeletuk bertahan dalam kemarahan. Seperti iblis seakan terbelir dalam nadinya. Dadanya sesak. Lebih sesak daripada menahan amis tadi.

Sementara para makhluk itu masih tertawa sinis, dengan ribuan gema dan angin yang menekan rasa damai di awan. Akeo tidak perlu merasakan dengki itu dari udara bukit pembuangan itu, ia sudah mendapatkan inspirasi sial itu sendiri dari Sang Ayah.

Sang makhluk dengan gigi dan liur berdarah itu kembali mendekat, “Meng-er-ti, A-keo-san? Kau memang sudah di-jual! Kau sama seperti kami! Memang terku-tuk! Kami hanya ingin memberitahu-kan kenyataan ini?”

Sial! Mau apa lagi? Mau apa lagi?

“BRENGSEK KALIAN SEMUA! Mau apa sebenarnya dengan semua ini? Apa maksud kalian? Jika… jika kalian ingin membawaku dalam dunia ini, bukankan sekarang aku sudah berada dalam dunia ini jadi… jadi…" Akeo tidak dapat berpikir apa-apa lagi, ia bingung. Keadaannya yang tidak mati, terkutuk dan para iblis-iblis itu yang mengatakan hanya menunjukkan Akeo perumpamaan dunianya kelak.

Apakah aku sudah mati?

“Ah! Kau masih memper-tanyakan itu? A-keo sayangku, justru karena itu, kami menjemputmu. Ya! Ya!” Makhluk itu berucap lirih sembari masih tangannya yang kurus bermain di antara lubang-lubang rantainya yang berkarat.

“Jadi… Katakan  cepat! Aku muak di sini? Aku ingin segera bertemu dengan Ayah dan––”

“Oh! Tunggu dulu Nona Muda! Justru, kita se-ka-rang akan membuat penawaran yang a-dil bagi-mu? Bagaimana?” Mereka muncul lagi perlahan-lahan, dengan siluet hijau dan hitam kelam. Wajah mereka––

Sial! Amis itu lagi…

“Ka-mi ingin membebaskanmu dari kondisimu yang 'Ter-ku-tuk' itu, bagaimana A-keo?”

Sungguh? Tetapi, bagaimana caranya?

“Ka-katakan!” Akeo berteriak menahan heran dan haru.

Mereka kembali bertatap dan memikirkan roman wajah yang gembira. Seakan-akan mereka telah menunggu saat ini. Salah satu makhluk itu bersuara nyaring sembari tertawa, “Krr…Krr… Kami rindu sekali memakan daging manusia yang bodoh, Ya! Seperti Ayahmu! Seperti Ayahmu yang menjijikan itu? Menjual anaknys sendiri. A-keo, mau-kah kau menukar kondisimu agar bebas dari terkutuk dengan… Nyawa Ayahmu?”

Nya-nyawa ayahku… Tidak mungkin, bagaimana aku bisa melakukannya?

“Kau berpikir hal yang tidak perlu Nona Manis. Apa kau lupa? IA TELAH MENJUALMU BODOH!”  Para makhluk sial itu kembali bergema dalam teriakan. Matanya menyala layaknya api dan liur darah kentalnya berjatuhan secara acak di sekitar sepatu Akeo.

“Ah!" Akeo baru teringat alasan yang nampak melegakan agar ia rela menyerahkan Ayahnya pada makhluk-makhluk ini. Ia pun telah dijual oleh Sang Ayah. Dan…

Impas… ini impas!

“Kalian… kalian benar.” Ia tersenyum. Akeo tersenyum sinis. Wajahnya tersaput cahaya hijau yang mencekam, “Kalian benar, ia telah menjualku demi sepotong emas. Dan kini… Aku pun bisa melakukan hal yang sebaliknya. Dan sungguhkah aku bisa bebas dari dunia ini? Sungguhkah aku bisa 'Tak Terkutuk' lagi?”

Para makhluk itu menatap dan berputar-putar kegirangan. “Ya! Ya! Ya! Kau akan bebas, kau tak akan 'terku-tuk'  lagi, Akeo! Sungguh! Ja-di…”

“Tetapi… Mengapa kau tidak melakukannya dari awal? Membunuh Ayahku?” Akeo tiba-tiba teringat satu hal penting.

Sang makhluk itu mendekat sembari membelai pipi lembut Akeo dengan tangan mereka yang amis, “Karena, pengorbanan balik hanya dapat dialihkan oleh Sang Korban sendiri. Seperti medan magnet, No-na Manis, A-keo. Mengerti? Oleh sebab itu, Ka-mi dengan senang hati menarikmu ke dunia ini lebih a-wal. Ka-mi ingin membantumu! Lagipula… HA HA HA! Kami lapar akan daging Manusia bodoh seperti Ayah sialanmu itu! Mengerti? Ja-di No-na Muda? Bagaimana?”

Masuk akal! Baiklah…

“Baiklah, kita lakukan pemanggilan itu. Bagaimana caranya? Apa aku harus kembali ke dunia dan menjemput––”
“Ah! Tidak perlu, teriakanlah nama ayahmu sekali ke atas pusaran angin tadi. Ya! Teriakanlah yang kencang dengan amarah, seakan-akan kau membutuhkannya dan ingin ia hadir.”

“Itu saja?”

“Ya—Kami akan menggunakan hal yang sama padamu—kepadanya; memanggilnya melalui alam mimpi.”

Ah! Jadi ini aku dipanggi melalui mimpi. Aku memang belum mati! Syukurlah…

“Nona A-keo… Lakukanlah!" Suara parau itu membuat Akeo segera berteriak kencang memanggil ayahnya tercinta.


“IKEUCHI REIJI!!!”


“Bagus, A-keo…Sekarang kita hanya tunggu se-di-kit la-gi…

Sungguh…

Dan munculah, seketika, pusaran halimun itu kembali… Kali ini, gambarannya menampakkan Sang Ayah yang tertidur lelap di kamarnya… Bersama sang Ibu tercinta.

“Ya A-keo, Panggilah dia, panggilah dia sekali lagi seakan-akan kau benar-benar mengharapkan ia hadir di sini bersamamu.”

“Ba-baiklah…”

Sekali lagi dengan segenap tenaga, Akeo berteriak lantang. Air matanya keluar. Entah karena sedih, girang atau marah, ia pun tak tahu. Ia hanya mengeluarkan nada sumbang itu sekali lagi…


“IKEUCHI REIJI!!!”


Oh! Aku harap aku melakukan hal yang pantas.

Dan munculah, gambaran jelas Sang Ayah.

Akeo menyaksikan di antara gerbang-gerbang terkutuk itu bersama dengan mereka. Akeo menyaksikan penderitaan mendadak Sang Ayah.

Ya! Sang Ayah tiba-tiba merenggut dadanya. Seakan-akan terkena serangan jantung. Ia berteriak kesakitan. Ibu Akeo langsung terbangun dan berteriak histeris.

Ayah Akeo merenggut dadanya dan semakin lama matanya semakin memutih. Suara parau dan perih dapat tersiar, menggema bagai ratusan suara itu berputar-putar di angkasa merah.

“I-ni dia… Ayahmu yang kau cintai A-keo…” Makhluk itu tertawa girang… Cekikkannya membuat Akeo berpikir dan sedikit menyesal.

A-apa aku benar-benar seharusnya begini? Apa aku boleh membalas Ayah?

“A-ada apa A-keo? Apa kau mau mundur dari permainan ini?”

Ah! Akeo sadar akan konsekuensi Sang Ayah dan perjanjian terkutuknya. Ia baru ingat bahwa Sang Ayah pun telah 'menjual' dirinya yang suci.

“Pah! Tidak! Ia pantas! Ia amat sangat pantas!”

“Ba-gus!” Makhluk itu berbisik.

Halimun itu perlahan-lahan kembali menutup. Begitu pula mata Akeo saat ia menyaksikan tubuh Sang Ayah seakan-akan tertarik ke dalam dunia yang sama dengannya. Ia mulai melihat Sang Ayah yang bagaikan siluet kasat mata menjadi semakin lama terbang menuju ke tanah basah, tepat di bawah kakinya. Dengan wajah pedih…

###

AKHIRNYA, Sang Ayah pun telah sampai sepenuhnya dalam keadaan sadar. Matanya yang sipit membelalak saat melihat dunia itu. Sama seperti saat Akeo baru menyadari situasi bukit pembuangan tersebut.

Akeo tersenyum dan bersimpuh pada Sang Ayah.

Sang Ayah tertegun heran, mulutnya tidak dapat berkata-kata.

“Halo, Ayah!” Akeo berujar pelan. Tangannya yang halus membelai lembut rambut Sang Ayah dan mencium keningnya. Seakan-akan ia memberi penghormatan kepada yang telah mati.

Sang Ayah, dengan ucapan yang terbata-bata membalas sembari tangannya berusaha meraih Akeo yang muncul perlahan tak lama setelah itu, Akeo menjauh dengan perasaan jijik. “A-akeo, di mana i-ini? Apa yang terjadi? A-keo? A-ayah?”

BUKKK!— Akeo segera menendang Sang Ayah tepat di wajahnya sehingga pria itu tersungkur.

“Ha! Kau sebut dirimu Ayah? Apa kau pikir Akeo tidak tahu perbuatanmu pada Akeo?”

“Per-perbuatan? Perbuatan apa, Nak?”

“Perbuatan apa? Oh tolol sekali! Apa kau pikir Akeo senang dengan kekayaan yang TAK PERNAH AKEO MINTA! APA AKEO PERNAH MEMINTA AGAR KITA MENJADI ORANG KAYA?”

“A-akeo…”

“Ya!” Akeo memalingkan wajahnya ke langit-langit merah. Para makhluk itu mendekat dengan amat perlahan. Sementara Sang Ayah merasakan teror dan amis itu semakin mendekat. Sesuatu yang asing.

“Ya! Ayah! Kau membuatku sebagai jaminan? Apa kau tahu karena itu kau telah membuat Akeo menjadi sama sialnya dengan makhluk-makhluk yang kau lihat ini!?”

“Makhluk-makhluk… Makhluk apa mereka?”

“Entahlah! Mana aku tahu brengsek! Yang aku tahu hanyalah karena kau, Aku telah menjadi sama terkutuknya! Mengerti TERKUTUK!”

"Tetapi—”

“Cih! Simpan ucapannmu bagi mereka––”

Me-mereka… Maksudmu…

“A-akeo sayang, bolehkan kami menolongmu? Bo-lehkan kami membebaskanmu dari rasa terkutuk itu?” Salah satu makhluk itu berucap lirih sembari giginya yang berliur menampakkan minat yang amat pada Sang Ayah.

Akeo menatap Sang Ayah terakhir kali, Ia tersenyum sinis dan jijik, “Ayah… Aku bisa bebas dari kutukan sialmu.Ya! Akeo baru tahu, Akeo bisa membalik keadaan. Pah! Akeo akan membuatmu yang menjadi sesat dan menjual jiwamu pada makhluk-makhluk ini. Karena dengan ini…”

Makhluk-makhluk itu semakin mendekat, suara-suara rantai merenggang.

“…dengan ini, dengan matinya kau, Reiji… Akeo akan bebas dari kutukan sial itu. Jadi… Sekarang—”

Membalikkan keadaan, Akeo… tidak… Jangan… A-ayah tidak bermaksud…

"Selamat tinggal… Ayah!” Akeo segera tersenyum pada mereka dan menggangguk layaknya wajahnya amat bijak.

Para makhluk itu menyerang dengan amat liar. Cabikan dan gigitan mereka. Liur yang bermandikan darah. Entah darah siapa, tetapi Akeo tahu bahwa daging-daging yang tercecer kasar dan potongan-potongan kulit itu adalah kebebasannya.

Sang Ayah berteriak, mencoba bangkit, namun usahanya sia-sia. Para makhluk itu mengikat Sang Ayah dalam rantai-rantai mereka. Mengikat mereka hingga tubuhnya tergencet puluhan rantai berkarat. Teriakan Sang Ayah––

Oh! Ini pasti amat sakit…Tetapi… Akeo lakukan ini demi kebebasan Akeo! Hanya pertukaran yang adil, Ayah.

Akeo sama sekali tidak berkedip saat makhluk-makhluk itu terus mencakar mati Sang Ayah dengan cakaran mereka yang semakin menggila. Suara-suara perih dan teriakan menggema mereka menyiratkan kematian.

Air mata Akeo keluar. Ia akhirnya menutup mata saat ia menyadari Sang Ayah sudah tak berusaha lagi. Ia hanya memalingkan wajah dan menatapi gerbang-gerbang kuil tersebut. Telinganya hanya menangkap suara-suara seperti singa yang sedang mencicipi bangkai mati; suara menjilat, gerombolan taring dan syair mengerang bagi para paus. Rantai-rantai itu––

A-ayah… Oh Ayahku…

Akeo terus terdiam di antara kabut merah itu. Dan Nona Muda itu terus menunggu hingga ia yakin benar bahwa mereka telah selesai ‘menghabiskannya'.

Aku tidak mau melihatnya. Aku tidak mau melihatnya!

“Tolonglah, habiskan dia hingga tak ada sisa!” Akeo berucap lirih. Berpura-pura berani. Padahal ada segelintir rasa takut untuk melihat darah dan daging yang mengucur liar.

Suara decak lidah… Amis, amis sekali. Detak jam semakin tersiar keras dan cepat.

###

“AKEO! Akeo!” Salah satu makhluk itu mendekatinya. Akeo menatap wajah sang makhluk yang berlumuran darah segar. Lidahnya yang panjang masih menjilati sisa-sisa darah dan daging tersebut. “Sudah… Sudah selesai.”

Ah! Akhirnya…Jadi…

“Syukurlah, jadi sekarang… Apakah aku bisa kembali? Aku sudah tak terkutuk lagi bukan?” Akeo tertawa secara terpaksa. Ia tak mau terkesan menyesal di hadapan mereka.

“Kem-bali? Hm… Coba aku pikir dulu, A-keo sayangku!” Sang Makhluk tertatih dan agak tertawa.

“Ya—” Akeo mulai merasakan hal yang tidak menyenangkan. Entah mengapa ia mulai berinisiatif untuk mencari jalan keluar.

“Apa kau ingat ucapan kami? Ucapan bahwa kami tak memakanmu karena kau sama dengan kami— Terku-tuk?”

“Y-ya… lalu?”

“Sekarang, kami hanya ingin memangsa manusia yang bodoh! Dan tidak terkutuk!”

A-apa! Oh tidak! Ini tidak mungkin! Jadi aku––

“Oh A-keo. Kau sudah sangat murni! Murni sekali sayangku… Krrrrkk”

Akeo menyadari kebodohannya. Ia menyadari segala pengorbanan suci daripada dirinya telah membuatnya sebagai mangsa yang empuk bagi mereka.

Makhluk tidak ternoda…

“Ka-kalian! Kalian menipuku? Ja-jangan…” Akeo mundur, ia berusaha mencari jalan keluar.

“Kenapa? Apa kami menipumu? Ti-dak? Kami hanya membantumu. Membebaskanmu dari rasa 'terkutuk' itu bu-kan? Sekarang, kamu pun tidak dapat pergi dari dunia ini karena kami TIDAK MENGIJINKANNYA BODOH!” Wajah-wajah makhluk itu masih menampakkan kelaparan dengan roman wajah rasa ingin yang berlebih. Rantai-rantai di tubuh mereka seakan-akan merenggang.

Oh! Mereka lepas! Mereka lepas!

“Jadi, A-keo… Selamat datang, Kau bi-lang… Kau percaya Neraka bu-kan? Jadi…”

Akeo langsung berlari, ia mencari kesana-kemari; di tiap sudut tebing dan akhirnya, ia terus berlari hingga mulai membuatnya lemah. Para makhluk itu hanya berjalan pelan sembari tertawa dan bergema riuh. Menyaksikan ketakutan Akeo.

“Krr…Krr… Bodoh sekali… Tidak a-da jalan lagi Akeo… terima sajalah… kami sangat laaaa-paaar…”

Pe-pergi dariku!

“Ah! Ku-kumohon…”

Akeo hampir terjatuh di sisi tebing, tangannya membentur gerbang kuil dan jam tangan emas kesayangannya terjatuh.

Hampir saja—Akeo tidak percaya tetapi ia berpikir bahwa sebaiknya ia mengalami hal yang serupa dengan jam tangan kesayanganya itu. Namun—

“Ter-lam-bat, A-keo sa-yang!”

GRRRKK! GRRK!—

Suara-suara makhluk itu melaju dengan pesat. Mencengkram tubuh Akeo dan mencabik-cabiknya dengan penuh kegembiraan.

“ Krr…Krr…”

Bergema.

Mereka bergema liar, mendesis di antara awan darah. Simfoni penaklukan manusia murni.

Akeo hanya bisa berteriak dalam kebisuan, matanya hanya bisa memandangi bulan besar dan bulatan jam tadi yang masih berdetak. Ia melihat jam telah menunjukkan jam 01:15.

Namun itu semua tak berarti lagi karena, ia sadar ia telah dibodohi, telah bersih, telah murni dan telah mati.
Krrrt… Krrrt… Krrrt…


———————————


SEKARANG masih pukul 22.30. Permainan telah usai. A Fang dan anggota panitia yang lain telah mengumpulkan para peserta di lingkaran sekitar api unggun. Namun ia menyadari satu hal; Akeo, teman barunya sama sekali tak terlihat. Ia segera bertanya pada salah seorang panitia yang mengurusi bagian teka-teki. Ia mengatakan bahwa tadi Akeo mendapatkan giliran pertama dalam menara.

Dengan segera A Fang dan beberapa temannya mencari ke menara. A Fang begitu cemas, karena permainan ini ia perkirakan hanya akan butuh waktu sejam saja.

Namun…

A Fang tidak menemukan siapa pun di dalam menara sama sekali. Tetapi ia menemukan satu hal… Sebuah jam tangan emas, statik mati tepat pada pukul 01:15. Entah apa maksudnya…

Ah! Aku ingat! Ini bukankah…

A Fang baru ingat bahwa jam tangan emas yang tergeletak tepat di hadapan pintu reot basement yang masih terkunci rapat itu adalah milik Ikeuchi Akeo.

“Ah! Segera cari seluruh penjuru—”

A Fang berteriak dan memerintahkan pencarian, ia mengerahkan seluruh panitia.

###

TETAPI… Beberapa jam kemudian, A Fang pun pasrah dan meminta polisi untuk datang.

Polisi pun mulai melakukan pencarian, hingga hampir pagi menjelang.

Namun––

Jejak Akeo tidak pernah diketemukan. Seperti ia telah hilang ditelan bumi. Dan yang tersisa dari si murid baru pendiam itu hanyalah jam tangan emas dan teka-teki jam yang mati statik pada pukul 01:15.

Oh… Akeo… Seharusnya aku tidak mengajak kau dalam permainan ini… A-keo…

###