ZILCH 05: a tribute to grief

a tribute to grief
Orson Callahan
1988

ORSON Callahan terkejut saat ia melihat sekilas, kilatan bayangan semu di depan sebuah gedung tua yang tak terpakai. Bayangan antah-berantah yang membuatnya bergidik sekaligus semringai senang. Bayangan yang memetakan rasa ketakutan dan sedikit campuran alkohol borjuis yang menusuk-nusuk di kepalanya. Seperti migran ala postmoderisn. Seperti sex dengan sentilan foreplay yang mematikan di sekujur tengkuk lehernya. Seperti venus fly merekah dan hendak menelan ratusan bahkan ribuan lalat. Ya! Ya! Orson tahu sensasi itu! Migran dengan sedikit teror tetapi, Viola! Ia menyukainya! Orson menyukainya!

Orson Callahan memang masih terbilang muda. Dan, jika ia merasa tertantang dengan kilatan hitam menusuk itu, itupun karena ia ingin tahu. Ia ingin bisa mengerti sensasi tersebut dan… ia juga ingin lebih berkuasa, menang, mengalahkan di atas segala tahta mahkota ketakutan dari hal supranatural bedebah yang tidak ia percayai sama sekali. Ia ingin menang atas bayangan yang sekiranya ia anggap hantu itu. Well! Setidaknya, di kepalanya yang masih memiliki rambut burgundy tersebut, ia masih memikirkan hantu. Setidaknya…


Oke! Mungkin ia percaya hantu, mungkin tidak! Alas! Siapa yang peduli? Sekarang memang sudah malam, nuansa supranatural memang sudah sepatutnya terekam di sekitarnya. Di antaranya. Di sekujur tubuh kurusnya.

Di sini hanya ada dia, dengan setelan jaket denim hitam dan celana jeans abu-abu yang usang. Ditemani sang gedung yang sekira-kiranya 20 tingkat, menjulang tinggi ke atas. Sangat tinggi sampai-sampai kalau kepalanya yang panjang berusaha menengadah menghadap ke lantai paling atas lebih jauh lagi, maka ia akan terpelanting ke belakang.

Orson tidak melakukannya. Ia tidak bodoh. Ia adalah seorang lulusan ahli filsafat, demi Tuhan!

Tidak ada segi manapun yang membuatnya terlihat bodoh. Ya, ada pancaran karisma mematikan yang membuat setiap wanita tertegun menatapinya–dari lekuk wajah hingga… lekukan di celananya.

Well, semua orang boleh berfantasi, kan?

Alas! Lupakan keindahan maskulin dari Orson Callahan! Lupakan tentang matanya yang sama manisnya dengan lekukan wajah dan hidungnya. Lupakan alisnya yang tajam, lupakan semua hal tentang harum tubuhnya yang membuat semua wanita di Quebec rela membuka baju mereka dan menggeliat layaknya cacing kepanasan yang butuh cinta. Lupakan!

###

SEKARANG Orson sudah mulai memasuki gedung terkutuk tersebut. Gedung 20 tingkat dengan bayangan yang membuatnya terpancing itu. Bayangan yang telah menantangnya.

Sisi jalan Doughwood lenggang layaknya baru saja ada yang mati di sana dan tidak ada yang mau mendekati. Begitu senyap. Begitupun, arak-arak tirai busuk di sekujur gedung tua tersebut terdengar sayup-sayup saat mereka melambai kepada Orson.

“Datanglah, datanglah kemari!” Orson seperti mendengar mereka memanggil. Mengutuknya dengan rasa penasaran.

Seperti anak kecil yang kegirangan. Ia mengepulkan asap hangat di kepalan tangannya. Berjalan tegas. Dan memeluk, menguasai rasa penasaran itu sesaat ia telah sepenuhnya masuk ke dalam lantai pertama gedung tua tersebut.

Lobi… lobi usang… ternyata gedung tersebut adalah sebuah hotel yang telah lama diabaikan. Well, seluruh pelosok utara Doughwood memang sudah mati. Tidak ada yang kesini lagi semenjak insiden kebakaran kimia 27 Juli 1985 tersebut.

Orson masih mengingat saat ia masih belasan tahun dan membaca surat kabar yang biasa ayahnya letakkan di meja makan sebelum ia berangkat patroli.

Oh ya… Ayahnya adalah seorang opsir. Jangan berharap banyak, Matthew Callahan hanyalah seorang opsir biasa, menjaga satu sisi jalan ke sisi jalan lainnya setiap minggu. Tidak ada yang spesial. Senjata kecil di sisi kanan perut besar Matthew hanyalah sebuah hiasan. Orson masih yakin sampai sekarang kalau ayahnya sama sekali belum pernah menembakkan peluru keluar dari senjata hutan itu.

Dan… satu lagi, lain ayah lain ibu, jika Matthew Callahan sebegitu pengecutnya sehingga ia tidak pernah sama sekali (diberi penekanan ratusan kali di bagian ini), maka Dolly Callahan, sang ibu lain lagi. Boleh dibilang peluru kata-kata umpatan seperti, “Sialan!”, “Bededah tengkik!”, “Anak neraka!”, “Suami tolol!” sudah sering ditembakkan secara membabi buta setiap hari. Orson kadang berharap ayahnya menembak sang ibu sehingga ia bisa diam untuk sesaat–mungkin permanen. Waktu muda dulu, ia sudah tak peduli.

Rumahnya sudah seperti hotel murahan. Dengan celana dalam usang dan piring kotor separuh berlumut berserakan. Ia hanya butuh tempat untuk tidur.

Ya… sebuah hotel murahan. Mungkin seperti inilah rumahnya sekarang. Metaforikal sempurna dari prototipe rumahnya dulu. Kosong, tak berjiwa, berdebu dan berbau anyir separuh najis.

Pasti banyak yang mati di sini. Pikir Orson.

Well, tidak ada yang dapat menyalahkannya. Sesaat Orson menginjakkan kakinya di lobi utama (atau setidaknya yang seharusnya pernah menjadi lobi utama), ia merasakan bau busuk menyerang seluruh indera penciumannya.

Dulu di rumahnya, ia sering mencium bau bangkai tikus di kolong-kolong tempat tidurnya. Satu saja sudah cukup untuk membuatnya enggan makan, sekarang, di sini… seakan-akan ratusan bahkan ribuan bangkai tikus nampak berserakan namun, hanya baunya saja yang terasa. Mereka tak bertubuh, hanya berasa saja. Seperti angin nista.

Orson menutup hidung mancungnya dengan kedua jari kanannya.

###

MALAM semakin larut. Dan tak ada satu cahayapun yang dapat membuatnya awas akan keadaan sekitar. Sial! Bahkan bulan pun tidak muncul. Orson pun bergelut dengan sisi-sisi tembok berdebu dan usang.

Beberapa kali Orson terbatuk-batuk. Antara debu dan bangkai. Mana yang lebih buruk?

“Sial! Siapa yang buang hajat dan lupa di siram, sih?” gusar Orson sembari menaiki tangga ke lantai dua. Tangga berputar, nampak tinggi, tapi juga nampak rapuh. Orson sangat berhati-hati menapaki satu persatu anak tangga tembaga hitam tersebut. Ada bunyi berdenyit dari setiap tapakan yang Orson lakukan.

Setiap kali ia menghirup ‘bangkai’.—

Oh, sial, jika ia mengingat kata-kata yang berhubungan dengan ‘sampah’ dan ‘bangkai’, ia akan ingat kedua orangtuanya. Yang tak berguna, yang tak bermaksud, dan tak mendidik. Untung saja mereka berdua telah mati. Orson tidak tahu harus berucap syukur atau bersedih. Pikiran sial itu sudah ia buang jauh-jauh sekarang.

Ia mencoba melupakan bau busuk tersebut dengan memikirkan fantasi alam dengan siraman wangi jeruk limau dan sari mawar. Ia menahan nafas dan berusaha seakan-akan sedang menghirup secarik tissue basah dari dalam tengkup jemari kanannya.

Tidak berhasil!

Ya, tentu saja tidak berhasil. Ia bahkan tidak tahu bagaimana bau jeruk limau dan sari mawar. Pun, di rumahnya hanyalah bau anyir ketiak dan kemaluan ayahnya, beserta sang ibu yang beraroma asap sapi panggang dan kadang sedikit aroma vodka yang menyengat dari gigi-giginya yang tidak rata. Oke, kemaluan dan bahkan seluruh tubuh ibunya pun sangat beraroma menyengat. Tidak ada yang bagus-bagusnya dari rumah keluarga Callahan. Alhasil, sekarang sang ibu sudah mati (konon karena dibunuh dan sampai sekarang tidak jelas siapa pembunuhnya), sedangkan sang ayah menjadi gila, karena ia menyesal tidak bisa menolongnya. Orson? Orson tidak peduli. Kadang Orson hanya ingin membakar hidup-hidup mereka.

Membakar. Ya! Fantasi kecil itu beberapa kali terwujud, tapi… hanya berkisar pada tanaman atau hewan-hewan peliharaan tetangga mereka. Ia merasa hebat ketika beberapa anak anjing nampak kesakitan, meraung-raung saat tubuhnya diliputi api-api hasil karyanya. Luar biasa. Well… itu masa lalu.

###

KEMBALI ke Orson dan langkah kecilnya menuju ke lorong-lorong hotel di lantai dua tersebut.

Orson merasakan sensasi aneh sesaat ia mulai menaiki tangga menuju ke lantai dua. Lorong-lorong usang sudah menyambutnya dengan keheningan. Lampu-lampu sama sekali absen di antara kehadiran bau anyir dan karpet usang yang tergelar di hamparan kaki kurusnya.

Di tiap sisi lorong ada sepuluh kamar. Masing-masing bertuliskan nomor-nomor kamar yang terbuat dari kuningan yang sudah mulai mengelupas. Pintu-pintu tersebut sama abu-abunya dengan hamparan dinding-dinding kelam yang mengitarinya. Sepertinya Orson telah memasuki dunia film hitam-putih dan hanyalah dirinya yang memiliki warna, memiliki kekuatan dan kreatifitas di lingkup hotel bobrok tersebut.

Hanya dialah warna yang membuat kekelaman dunia; cerah dan signifikan hidup bernafas.

”Seharusnya aku tidak meletakkannya di sini…” ujarnya sembari wajahnya memaparkan seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. ”Di kamar yang mana ya?”

Ia mencoba meraba setiap pintu dan membuka pelan.

Beberapa pintu terkunci dan beberapa lagi terbuka begitu saja dengan derit meresahkan. Bahkan ada dua kamar yang sama sekali tidak memiliki pintu.

Ah! Di sebelah kamar tidak berpintu bukan? Pikirnya.

Dengan segera Orson bergegas menuju ke sebuah kamar, kamar 206. Ia segera mengeluarkan sebuah pisau swiss serbaguna, ia mengeluarkan sebilah pisau kecil. Ia mengutak-atik kunci pintu tersebut dan setelah yakin tidak terkunci, ia segera mendorongnya dengan pisau tersebut dengan amat sangat hati-hati.

KREEEET— suara pintu kamar terbuka.

”Di sini kau rupanya… sudah lama ya?” ujar Orson sembari masuk ke ruangan yang terlihat agak gelap. Di dalam, lilin-lilin nampak tersebar, 26 lilin merah sepertinya, mereka tersebar rapi dan simetris di hamparan koran-koran yang berserakan tak beraturan. Orson menaruh pisau tersebut di sebuah meja kecil lalu, mengambil sebuah pemantik api dari dalam jaket hitamnya dan menyalakan semua lilin tersebut satu persatu.

Setelah semua lilin terang dan hidup, Orson menaruh kembali pemantik tersebut ke dalam kantongnya.

Mata Orson akhirnya dapat dengan jelas melihat seluruh ruangan yang tersamar nuansa oranye kemerahan yang sensual. Banyak serakan koran-koran (seperti figur kandang hamster nan besar) beserta pita-pita berwarna merah (entah berwarna apa, karena nuansa kamar ini memang terlihat merah). Lalu ia mendekati sebuah tempat tidur dan menatapi sang gadis yang sedang terlelap di atasnya. Orson naik ke tempat tidur itu dan menciumi kening dan leher sang gadis dengan amat sangat perlahan.

Sang gadis hanya terdiam, tak bergeming. Tetapi ia tidak mati. Ia tidak terlihat mati. Ia nampak menangis namun ia tidak hidup, dan ia tidak mati.

Orson segera bangkit dari tempat tidur sang gadis dan menuju pintu kamar, menutupnya rapat, mengunci kedua kunci gembok dan kembali mengambil pisau swiss yang tadi ia letakkan di meja. Ia kembali menatap sang gadis yang sedang terlelap itu.

Rambutnya panjang kehitaman, kulitnya seputih ubin gading dan baju putih yang ia kenakan seakan-akan menyatu dengan tubuhnya sehingga sang gadis terlihat hampir separuh telanjang. Keringat menempel di kulit baju sehingga baju putih selutut tersebut seakan-akan telah menjadi kulit kedua sang gadis yang sangat menggiurkan untuk Orson sobek dengan liar.

Kebusukan dunia mulai berfluktuasi di antara genggaman tangan dan pandangan tajam Orson terhadap sang gadis. Ia memang terlihat agak gila namun… Entahlah, pandangannya bukan nafsu. Mata itu tidak memancarkan kegilaan birahial, ataupun kegilaan mental. Ia hanya memaparkan… kekosongan. Kekosongan yang sama terlihat ketika engkau menatapi para pengemis, para penjaga toko yang sedang menunggu pelanggan, para pelamar kerja, para pelacur, dan orang-orang yang merasa dirinya kosong, tak berguna dan seakan-akan dianggap sebuah tetes aib di antara gelombang pasang manusia dan trend yang acap kali berubah-ubah. Orson menatapnya dengan kekosongan seseorang yang sama sekali tak bisa dianggap indah.

Namun, dirinya tidak bisa dianggap remeh, ia seringkali tidak diacuhkan, dianggap aib dan tidak berguna, namun kali ini, gilirannyalah untuk menjadi yang sempurna. Ia kini berkuasa atas tubuh, jiwa dan nasib sang gadis yang terlelap tersebut.

Apa engkau merindukanku, sayang?

Orson mendekati sang gadis dengan amat sangat hati-hati. Ia tidak mau salah menendang salah satu lilin-lillin merah tersebut sehingga gedung ini mengalami kebakaran kembali. Tidak! Orson tidak ingin gadis itu mati karena api.

Gadis itu… ia mempunyai rencana spesial untuknya. Sebuah rencana yang berbuah dari kehidupan busuknya di rumah bobrok Callahan, perilaku teman-temannya terhadapnya, kebencian dunia dan… musik hardcore yang dulu (mungkin sekarang masih) ia dengarkan dalam kegalauan dan kegeraman.

###

ORSON pertama-tama menarik rambut panjang sang gadis dengan tangan kanannya hingga wajahnya yang pucat nampak tersenyum tanpa ekpresi yang menyenangkan. Lalu tangan kiri Orson, dengan pisau swiss tersebut, membuat beberapa luka sayatan pada pahanya yang mulus. Orson sengaja mengukir kata-kata seperti; ’PELACUR’, ’MURAHAN’, ’SAMPAH’, ’SIAL’, dan segala macam kata-kata umpatan yang dapat ia ingat, dan selama paha mulus itu masih muat, Orson terus menerus mengukir kata-kata tersebut. Mungkin pisau itu mengukir sendiri sebab, Orson nampak terhasut dengan gairah yang kosong. Ia seakan-akan sudah menjadi boneka yang digerakkan pisau tersebut. Wajahnya sesekali memaparkan keterkejutan, entah mengapa. Ia mencoba nampak tidak tega namun, wajah itu terlalu payah untuk berpura-pura.

Sang gadis masih tersenyum. Rambutnya yang masih tertarik mulai rontok tak beraturan.

Tak lama, nampaknya Orson belum puas. Ia dengan segera mencabik-cabik baju sang gadis. Tangannya sudah tak merenggut rambut sang gadis lagi. Ia kini malah mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah kantong plastik kecil berisi bubuk abu-abu.

Orson mengigit ujung kantong tersebut dengan giginya yang kuat dan, segera menuangkan bubuk abu-abu tersebut ke seluruh penjuru luka yang telah dibuatnya. Di saat itulah… sang gadis mulai terbangun. Dengan teriakan yang parau namun, ia tak berteriak—mungkin lebih tepatnya, ia mengerang! Nampaknya kemampuan bicara sang gadis sudah lama mati.

”Akhirnya kau bangun. Kau mungkin bisa tahan rassa akit digurah dengan pisauku tetapi, aku yakin benar kau tidak bisa tahan sakit dari abu jenazah ini bukan? Lihat ini?” Orson merenggut kepala sang gadis dan memaksa ia melihat saat tangannya masih menaburkan pelan butiran-butiran halus abu jenazah tersebut. ”Kau tahu ini apa? Ini adalah abu jenazah kedua orangtuamu! Khusus untukmu. Huh, lagipula, mana asyik, bermain seorang gadis yang sudah mati!”

Sang gadis mencoba berbicara namun ia tidak bisa. Ia baru menyadari rasa pedih yang sangat di dalam mulutnya. Ia merasa ada yang mengganjal di dalam mulut dan giginya, seperti mati rasa, kelu, namun perih itu muncul seperti cakaran kuku jari yang tertanam di antara lidah dan dinding mulutnya. Ia sadar bahwa sesuatu telah hilang…

”Mau bicara apa, sih? Cerewet. Untung aku sudah memotong lidahmu…” Orson akhrinya memindahkan kantong abu tersebut ke arah dada dan leher sang gadis dan, tak lama kemudian, ”Cerewet! Kau mengingatkan aku pada ibuku. Ini, makan ini, ibu! Ibu! Ibu! IBU!” Abu tersebut dijejali ke mulut sang gadis hingga habis.

Orson menjejalinya dengan cinta dan senyuman. Tangannya mencengkram payudara sang gadis dan menekannya sebegitu dalam hingga kuku-kukunya terlihat masuk ke bongkahan daging yang montok tersebut.

Sang gadis mengerang dengan liar tetapi, Orson menahannya. Orson mengekangnya dengan kuasa yang lebih hebat daripada kebodohan para Callahan; kedua orangtuanya, para saudara-saudari keluarga orangtuanya, yang ribut dengan harta warisan di saat Orson baru kehilangan ibunya, di saat ayahnya menjadi gila, mereka hanya peduli uang, uang, uang! Orson lebih hebat daripada tikus-tikus bedabah tersebut!

”Inikah dunia yang masih ingin kau tinggali? Percayalah, aku sedang menolongmu. Dunia ini terlalu busuk untuk wanita secantik dan senaif engkau, sayangku.” Orson akhirnya berhenti menjejali abu jenazah tersebut.

Sang gadis masih mengerang kesakitan, seperti hewan kurban yang biasa disembelih pada hari raya, ia tak punya kuasa, ia menangis tetapi Orson tidak tahu kalau itu adalah sebuah tangisan untuk memintanya berhenti. Ia tidak tahu, Orson hanya berasumsi bahwa sang gadis sangat bersyukur karena sudah menjadi sembelih yang sempurna. Bahwa ia adalah kurban yang pas dan, di saat ia meninggalkan dunia ini, ia akan di terima di sisi Tuhan!

”Bersyukurlah brengsek! Kau aku kurbankan atas nama dunia! Tempatmu akan berada di surga, bersama Tuhan kita!” Orson lalu menciumnya, dengan abu jenazah yang juga masuk ke lidah dan liur Orson, Orson mencumbuinya dengan gila, mencengkram leher sang gadis hingga memerah. Tubuh sang gadis seakan-akan coba membanting ke kiri dan kanan. Sangat kuat. Orson semakin gila dengan cumbuannya hingga ia menampar sang gadis dan segera menancapkan ujung pisau swiss itu ke tangan kiri sang gadis.

!!!!!! Sang gadis mebelalakkan matanya, ia ingin berteriak dengan mata itu, kedua mata yang nampak hendak keluar seperti botol anggur yang terbuka kencang. Ia ingin berteriak, memberontak berkali-kali namun…

Sang gadis mulai semakin melemah. Ia tidak bisa lagi memberontak. Ia mulai pasrah. Ia sudah mulai mati rasa.

Entahlah…

Sang gadis mulai menikmati seks pra-kematiannya.

Mengapa kau lakukan ini, Orson…

Ia menangis, ingusnya keluar tak beraturan. Orson tidak peduli. Ia tetap menciuminya… liur, ingus, abu jenazah dan darah menyatu dalam ritual sakral penyembelihan sang gadis.

”Orson bersenggama dengan hewan sembelihannya.” Mungkin itu metafora yang tepat.

AKHIRNYA, ritual itu mencapai titik puncaknya, tingkat tertinggi dari surga! Orgasme terakhir! Penyembelihan yang terkasih atas nama pembebasan jiwa! Kemunafikan yang polos…

Orson menutup jiwa sang gadis dengan sayatan terakhirnya, membebaskan sang gadis dari dunia busuk yang telah merawat Orson dengan sangat bejat. Sebuah sayatan panjang melalui leher sang gadis nan putih.

Kini… sang gadis tersenyum, senyuman itu ada di lehernya. Berwarna merah, lebar dan memuntahkan cairan merah pekat yang Orson mulai jilati dengan membabi-buta.

Malam itu kemudian telah berhenti bagi sang gadis. Sedangkan Orson… terus menerus menggilai sang gadis yang ia sembelih dengan nafsunya yang kosong. Ia bercinta dengannya bukan karena nafsu tetapi, Orson merasakan kepedihan yang amat. Ah! Dalam tiap hujamannya yang maha dahsyat, Orson akhrinya menangis. Terus menerus menangis sambil mengutuk setiap nama yang ia ingat.

Dan di dalam gedung tua itu, Orson akhirnya berhenti mengutuk setiap nama dan dunia karena ia sendiri akhirnya lelah dan terdiam di sisi dinding nan merah.

Orson tersenyum karena ia telah membantu gadis yang dicintainya, gadis yang ia temui setahun lalu dan menjalin cinta selama tujuh bulan. Gadis yang telah ia persembahkan keperjakaannya, dunianya dan uangnya. Orson ingin membebaskan gadisnya dari kebusukan dunia. Dan tepat pada malam ini, Orson sudah berhasil membebaskannya… dengan senyuman berdarah dan ritual sembelih tersebut.

”Aku… mencintaimu, sayangku…” Orson berucap lirih.


————————


MALAM semakin larut di sekitar Doughwood. Tak ada yang tahu karena memang tidak pernah ada yang ke sini semenjak insiden kebakaran kimia 27 Juli 1985 tersebut. Tetapi cinta memang misteri. Di sebuah gedung tua berlantai 20, ada sepasang kekasih yang mati mengenaskan di sebuah kamar merah dengan 26 lilin merah yang sudah meleleh mati pula. Pasangan tersebut nampak telah melakukan bunuh diri bersama-sama dan mereka nampaknya bahagia.

Mengapa bahagia? Ya… karena mereka tersenyum… Ya… senyuman mereka berdua terpampang di leher mereka masing-masing dengan amat sangat merah, lebar, dan tentram.

###